RI Tetapkan Produksi Komponen Lokal 30 Persen
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Pemerintah Republik Indonesia telah menetapkan aturan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) sebesar 30 persen kepada setiap perusahaan yang menjual smartphone dan tablet di Indonesia untuk menggunakan komponen lokal, yaitu komponen yang diproduksi di dalam negeri Indonesia.
Menteri Kementerian Komunikasi dan Informatika RI (Kominfo), Rudiantara, mengatakan komponen lokal yang diproduksi di dalam negeri Indonesia minimal 30 persen yang mulai berlaku pada 1 Januari 2017 mendatang.
“TKDN kan kebijakannya sudah ditetapkan untuk 4G, FDD, komponen lokalnya minimal 30 persen, mulai 1 Januari 2017,” kata Rudiantara kepada satuharapan.com di sela-sela Rapat Kerja Komisi I DPR RI dengan Menteri Komunikasi & Informatika RI, di Kompleks Parlemen, Jakarta, hari Selasa (29/9).
Menurut Rudiantara, dalam waktu dekat ini, Kominfo, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Perindustrian akan duduk bersama-sama untuk mendefinisikan agar di lapangan ada kesamaan rujukan mengenai 30 persen tersebut.
“Tentunya kita berharap dan sangat baik kalau terjadi relokasi manufaktur ke Indonesia. Tetapi kita juga harus memanfaatkan kemampuan bangsa ini dalam konteks brandweer. Kalau misalkan design-design banyak, maka lebih bagus lagi untuk kita,” kata Rudiantara.
“Bukan hanya masalah relokasi. Relokasi kan harus juga bicara mengenai nanti soal relokasi yang besar-besar. Insetif pajaknya bagaimana, kemudian dapat fasilitas apa,” kata Mentri Kominfo itu menambahkan.
Wacana baru pemerintah untuk meningkatkan regulasi TKDN tersebut merupakan salah satu fokus Presiden Joko Widodo dengan tujuan mengubah Indonesia dari negara yang konsumtif menjadi negara yang produktif, mendorong pertumbuhan ekonomi, serta memangkas defisit perdagangan.
Protes AS
Sebelumnya, Amerika Serikat berusaha menekan Indonesia untuk memperlonggar kewajiban menggunakan komponen lokal pada produk telepon selular yang dijual di Indonesia, dalam peraturan yang disiapkan oleh Pemerintah Indonesia untuk diberlakukan mulai Januari 2017.
Amerika Serikat menganggap aturan tersebut akan menghambat upaya perusahaan AS, seperti Apple, untuk berekspansi di Indonesia, salah satu pasar telepon pintar terbesar di dunia.
Menurut Reuters, pada 25 Februari yang lalu, kantor Perwakilan Perdagangan AS (USTR), yang menjadi pemimpin negosiator perdagangan luar negeri AS, telah mengangkat isu ini kepada pihak yang berwenang di Indonesia di berbagai forum multinasional.
Kritik terhadap peraturan 'made in Indonesia' itu terutama mempersoalkan peningkatan biaya produksi yang ditimbulkannya serta kemungkinan membatasi akses Indonesia kepada teknologi komunikasi dan informasi. Kritik ini telah disuarakan oleh sejumlah kelompok bisnis berpengaruh di AS.
"Amerika Serikat berbagi keprihatinan ini, dan sangat ingin memastikan bahwa teknologi informasi dan komunikasi yang amat penting bagi perkembangan ekonomi, tersedia secara terbuka di Indonesia," kata juru bicara USTR di Washington.
Menurut data yang dilansir perusahaan riset Canalys, kurang dari sepertiga penduduk Indonesia memiliki ponsel pintar. Angka ini memang jauh lebih rendah dari Tiongkok yang mencapai hampir 80 persen. Namun, justru karena itu, Indoensia dianggap pasar yang memiliki prospek cerah ke depan dan sangat menarik bagi perusahaan seperti Apple Inc. dan pesaingnya dari Korea Selatan, Samsung Electronics Co Ltd.
Apple sejauh ini belum memproduksi ponsel di Indonesia. Perusahaan yang menjadi pemasok komponen Apple, Foxconn, dalam beberapa tahun terakhir banyak mengemukakan rencana untuk membuka pabrik di Indonesia. Namun sejauh ini, belum ada tanda-tanda perusahaan yang berbasis di Taiwan itu merealisasikan niatnya. Sementara Samsung sudah mulai memproduksi ponsel di Indonesia setelah membuka pabriknya tahun lalu.
Januari lalu, Rudiantara mengatakan bahwa UU baru itu akan membuat Indonesia mendapatkan paling tidak US$ 4 miliar dari bisnis telepon selular. Upaya ini juga dilakukan untuk mendukung imbauan Presiden Joko Widodo menggeser posisi Indonesia dari negara konsumen menjadi negara produsen.
Namun, kebijakan ini tampaknya justru dipandang sangat mengganggu oleh AS. Demikian gentingnya masalah ini, sehingga kantor dagang dan industri AS, yaitu The American Chamber of Commerce (AmCham), menyuarakan keprihatinan ini dengan mengirimkan surat langsung kepada Rudiantara pada 12 Februari lalu.
"Kami khawatir bahwa pendekatan yang diambil dalam rancangan peraturan ini dapat secara tidak sengaja membatasi akses Indonesia ke teknologi baru, meningkatkan biaya Teknologi Komunikasi dan Informasi (ICT) bagi perusahaan Indonesia, merangsang berkembangnya pasar gelap, dan membawa konsekuensi yang tidak diinginkan lainnya," demikian sebagian isi surat AmCham kepada Rudiantara.
Sampai tahun lalu, industri elektronik di Indonesia tidak memiliki pabrik ponsel.
"Salah satu keprihatinan banyak perusahaan, dan bukan hanya perusahaan-perusahaan Amerika, adalah Indonesia tidak memiliki rantai pasok untuk menghasilkan ponsel berkualitas tinggi," demikian Lin Neumann, ketua AmCham untuk Indonesia, berkata kepada Reuters.
Surat kepada Rudiantara juga memperingatkan bahwa aturan yang sedang disusun itu bisa melanggar hukum perdagangan internasional yang diatur oleh Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
"Kebijakan mengharuskan kandungan lokal secara paksa atas kegiatan manufaktur dapat memiliki implikasi dalam hal kewajiban Indonesia terhadap WTO," kata surat itu.
Amerika Serikat yang saat ini sedang memiliki empat perkara perdagangan melawan Indonesia, telah berulang kali menyuarakan keprihatinan mengenai peraturan di Indonesia tentang keharusan konten lokal dalam investasi di sektor telekomunikasi di WTO.
Editor : Bayu Probo
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...