Ribuan Rakyat Pro Referendum Papua Duduki Halaman DPRD
WAMENA, JAYAWIJAYA, SATUHARAPAN.COM - Ribuan rakyat pro penentuan nasib sendiri Papua hari ini (10/12) menduduki halaman gedung DPRD Jayawijaya. Para pendukung United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) yang oleh pemerintah dicap sebagai gerakan separatis, berkumpul dalam rangka memperingati hari Hak Asasi Manusia (HAM) sedunia yang jatuh pada tanggal 10 Desember.
Menurut laporan para saksi mata yang mengirimkan gambar-gambar kepada satuharapan.com, ribuan orang hendak menduduki kantor DPRD Jayawijaya, dan akhirnya mereka duduk di halaman. Halaman tersebut tidak muat untuk menampung massa, sehingga tumpah ruah di jalan.
Aksi menduduki halaman DPRD itu yang sudah diunggah ke youtube, menunjukkan massa memadati halaman sambil meneriakkan pekik merdeka. Sementara pada gambar lain tampak aparat kepolisian berjaga. Pengunggah video tersebut mengklaim jumlah yang bergabung dalam aksi ini mencapai 6.000 orang.
Menurut Victor Yeimo, Ketua Komite Nasional Papua Barat (KNPB) yang pro penentuan nasib sendiri Papua, ribuan warga ini dimediasi KNPB Wamena. Aksi ini dimaksudkan untuk menyuarakan telah gagalnya pemerintah menjamin HAM Papua. Oleh karena itu, mereka menuntut segera lakukan referendum bagi bangsa Papua.
Pernyataan Politik ULMWP
Dalam kaitan dengan Hari HAM Sedunia ini, ULMWP mengeluarkan pernyataan politik, mewakili korban pelanggaran HAM di Papua. Menurut pernyataan politik itu, hak hidup rakyat Papua (Barat) terancam punah oleh kekerasan negara RI. Oleh karena itu bangsa Papua menuntut hak kedaulatan politik.
"Peringatan hari HAM menjadi momen penting bagi rakyat Papua Barat ras Melanesia untuk melihat kembali pelaksanaan HAM selama ini. Banyak terjadi pelanggaran HAM di bidang Sipil Politik (Sipol) maupun bidang Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Ekosob). Secara umum perkembangan HAM di Indonesia khususnya di Papua masih memprihatinkan. Padahal Indonesia sudah meratifikasi 7 (tujuh) kovenan tentang HAM," demikian pernyataan itu.
Menurut pernyataan ULMWP, kekerasan negara terhadap rakyat Papua tidak penah berhenti semenjak 19 Desember 1961, yaitu apa yang mereka klaim sebagai awal dari aneksasi Ri ke Tanah Papua.
"Dengan dalil melawan kelompok sepataris, pemerintah Indonesia telah dan terus melakukan berbagai operasi militer yang berdampak kepada kematian rakyat Papua Barat. Ribuan rakyat Papua telah menjadi korban pembunuhan, penyiksaan, penangkapan dan penahanan sewenang-wenang," demikian pernyataan itu.
ULMWP menilai kekerasan negara terus terjadi sejak Orde Lama, Orde Baru, Orde Reformasi hingga di masa Otsus. "Rakyat Papua setiap hari menjadi minoritas di atas tanahnya sendiri, terjadinya kriminalisasi ruang demokrasi dan nilai-nilai kemanusiaan bagi rakyat Papua, dengan menjustifikasi “Gerakan separatis, Gerakan Pengacau Keamanan (GPK), Kelompok sipil bersenjata (KSB) menjadi pembenaran oleh negara untuk melakukan tindakan represif," kata pernyataan itu.
Di bagian akhir pernyataannya, ULMWP menyatakan menolak dengan tegas Tim pencari fakta pelanggaran HAM yang dibuat Presiden Republik Indonesia Joko Widodo melalui Menkopolhukam, termasuk dengan rencana penyelesaian kasus pelanggaran HAM Papau dengan membayar kompensasi atau bayar kepala kepada korban.
Selain itu ULMWP mendesak Presiden Republik Indonesia Ir. Joko Widodo, secara terbuka memenuhi dan memfasilitasi Tim Pencari Fakta dari PBB datang ke Papua Barat, sesuai hasil rekomendasi sidang Umum PBB yang 71 dan Sidang Dewan HAM PBB tahun 2016.
ULMWP mendesak PBB mengambil langkah intervensi kemanusiaan, dengan membentuk resolusi kemanusian dan menunjuk Tim pencari Fakta atau Utusan Khusus datang ke Papua Barat, sesuai dengan hasil rekomendasi sidang Umum PBB yang ke-70.
Hari HAM Momen Evaluasi
Menurut Aktivis Hak Asasi Manusia di Papua yang juga direktur Lembaga Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan (LP3BH) Manokwari, Yan Christian Warinussy, Hari HAM Dunia selalu diperingati sebagai momen untuk melakukan evaluasi terhadap perkembangan situasi dan kondisi HAM. Evaluasi itu diharapkan memberi jalan bagi negara-negara anggota PBB melakukan upaya-upaya mempromosikan HAM dalam konteks kebijakan domestik dan internasional.
"Indonesia, sebagai salah satu negara anggota PBB juga berkewajiban setiap saat menunjukkan rekam jejaknya kepada dunia internasional mengenai seberapa jauh pemerintah negara ini mampu menggunakan dan atau mendaya-gunakan instrumen-instrumen dan prinsip-prinsip HAM dalam kerangka penerapan kebijakan nasionalnya terhadap masyarakatnya sendiri," kata Yan.
Yan mendesak negara di bawah pimpinan Presiden Joko Widodo segera memberikan dukungan politik dan hukum yang maksimal kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) sebagai lembaga yang memiliki kewenangan secara hukum dalam menyelidiki dan mengungkap dugaan pelanggaran HAM Berat.
Apabila ada kekurangan-kekurangan dalam konteks aspek formal dan material dalam berkas penyelidikan kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM tersebut, Komnas HAM memiliki kewenangan untuk melengkapinya sesuai petunjuk Jaksa Agung RI.
"Seharusnya tidak boleh ada upaya intervensi atau apapun namanya yang dilakukan oleh institusi lain di dalam negara ini, selain Komnas HAM dan Kejaksaan Agung dalam mengungkapkan dan melengkapi serta menyeret para terduga/tersangka kasus-kasus pelanggaraan HAM Berat di Tanah Papua itu ke Pengadilan HAM yang transparan, kredibel, independen dan adil serta imparsial sesuai amanat aturan perundangan yang berlaku," kata dia.
Rusia Tembakkan Rudal Balistik Antarbenua, Menyerang Ukraina
KIEV, SATUHARAPAN.COM-Rusia meluncurkan rudal balistik antarbenua saat menyerang Ukraina pada hari K...