Ribut-ribut Reklamasi: Ada Apa?
Persoalan rencana reklamasi Teluk Jakarta mencuat lagi, dan menjadi debat publik yang sengit. Boleh jadi ini tak bisa dilepaskan dari pertarungan menuju pemilihan Gubernur Jakarta Februari 2017. Tetapi apa pertaruhan sebenarnya?
Jakarta, Satuharapan.com - RENCANA majunya Basuki Tjahaja Purnama – yang akrab dipanggil “Koh Ahok” – sebagai calon dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta tahun depan, sudah menimbulkan “demam” sekarang. Pasalnya jelas: sepak terjang Ahok selama ini telah menarik simpati banyak orang lewat segudang prestasi konkret.
Demam politik itu makin meninggi ketika Ahok mengambil langkah yang terbilang sangat nekat: ia berani maju sebagai calon independen, jika ada sejuta KTP penduduk Jakarta mendukungnya. Bagi Ahok, itu merupakan pertaruhan ultim. Sebab, jika gagal mengumpulkan dukungan awal, nasibnya sebagai Gubernur pun tamat sudah.
Tantangan tersebut bak gayung bersambut: kelompok relawan #TemanAhok, kebanyakan anak-anak muda, berusaha keras mengumpulkan tanda tangan. Lagi-lagi orang dibuat terkejut melihat magnit politik Ahok: masyarakat Jakarta dengan antusias berbondong-bondong datang ke berbagai booth #TemanAhok untuk menyerahkan fotokopi KTP dan dukungan mereka. Sampai tulisan ini dibuat, sudah lebih dari 400.000 fotokopi KTP diperoleh. Itu artinya 40.22% dari target satu juta KTP sampai akhir Juni 2016. Memang masih panjang jalan yang harus ditempuh, tetapi optimisme makin membuncah.
Tetapi apa hubungan semua itu dengan persoalan reklamasi Teluk Jakarta?
Wajah baru Teluk Jakarta di masa depan (Foto: Istimewa)
Titik balik Ahok?
ANTUSIASME warga dalam mengumpulkan KTP untuk mendukung Ahok itu memperlihatkan bagaimana magnit politik Ahok sulit dibendung. Apalagi, sampai saat ini, belum ada calon Gubernur lain yang dianggap mampu mengimbangi sang petahana.
Persis pada titik itulah kasus rencana reklamasi Teluk Jakarta mencuat dan segera “digoreng” lewat media, khususnya media sosial, menjadi isu politik untuk menjegal langkah pencalonan Ahok. Banyak orang memang mengkhawatirkannya, apalagi setelah KPK menangkap tangan Mohamad Sanusi, mantan anggota Komisi D dari Gerindra di DPRD DKI, atas tuduhan menerima suap kasus reklamasi, diikuti penyerahan diri Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land (APL) Ariesman Widjaja.
Maka kasus rencana reklamasi pun segera jadi sorotan publik: apakah Ahok terlibat dalam permainan grand corruption yang sedang diincar KPK itu? Soalnya, ia dikenal dekat dengan Ariesman dan APL. Malah sering dijuluki “Gubernur Podomoro” karena – konon – kerap menerima dana CSR (Corporate Social Responsibility) dari raksasa pengembang tersebut. Tak urung, analis dan konsultan politik dari LSI (Lingkar Survei Indonesia), Denny JA Ph.D, dalam akun twitter @DennyJA_WORLD yang dimuat juga dalam Inspirasi.co dengan tegas menyebut, kasus Podomoro merupakan “titik balik citra Ahok dalam Pilkada DKI”.
Namun, terlepas dari muatan politik Pilkada DKI yang sangat kental, rencana reklamasi Teluk Jakarta sebenarnya menyangkut persoalan yang jauh lebih besar ketimbang soal pencalonan Ahok. Pertama-tama harus dicatat, upaya reklamasi kawasan sekitar pantai, seperti diperlihatkan oleh data dalam laporan “Dilema Reklamasi Pantai Jakarta” (Kompas, 11 November 2015), sudah gencar dilakukan sejak 1980-an. Kita bisa mengingat mulai dari kawasan Pantai Pluit, Ancol, kawasan Pantai Indah Kapuk, sampai kawasan Berikat Marunda.
Pada tahun 1995, lewat Keppres 52 tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta, Presiden Soeharto menggagas model Jakarta sebagai “kota pantai modern” (waterfront city). Maka berbagai kajian dan perijinan terus diupayakan untuk mewujudkan visi tersebut.
Tetapi sejak tahun itu pula tarik menarik alot terjadi, terutama antara Pemprov DKI dengan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), mengingat dampak lingkungan yang akan diakibatkan oleh reklamasi. Apalagi reklamasi yang direncanakan nantinya akan mencakup 17 pulau sebagai bagian dari proyek raksasa Pengembangan Terpadu Pesisir Ibukota Negara (PTPIN) seluas 5.100 hektar, bekerjasama dengan pemerintah Belanda.
Rencana utuh reklamasi 17 pulau (Foto: Istimewa)
Tiga ancaman Jakarta
JIKA dibaca Master Plan PTPIN yang terbit Oktober 2014, kita dapat melihat bagaimana proyek reklamasi Teluk Jakarta sebenarnya menyentuh persoalan hidup-mati kota Jakarta maupun kawasan Jabodetabekpunjur (Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Puncak-Cianjur) secara keseluruhan yang, menurut Perpres 54 tahun 2008, ditetapkan sebagai kawasan strategis. Apa yang dipertaruhkan di situ memang sangat besar. Tiga ancaman besar perlu disebut:
Pertama, jumlah penduduk DKI Jakarta yang akan terus meningkat, dari sekitar 9.6 juta jiwa (2010) menjadi lebih dari 12.5 juta jiwa (2030) dan hampir mencapai 19 juta jiwa (2080). Ini membuat kebutuhan air bersih melonjak dari 18.744 liter/detik (2010) jadi 38.870 liter/detik (2030) dan 51.452 liter/detik (2080). Kebutuhan tersebut jelas tidak dapat dipenuhi oleh supply PDAM, sehingga diperkirakan akan ada defisit 19.5534 liter/detik (2080).
Kedua, jumlah penduduk yang sangat besar itu, sudah tentu, membutuhkan banyak lahan hunian yang baru. Padahal lahan kosong di Jakarta makin menipis. Begitu juga, jumlah penduduk ini akan menambah beban yang harus disangga oleh permukaan tanah di Jakarta, sementara penurunan muka tanah di Jakarta berlangsung sangat cepat. Di daerah pesisir, tempat lebih dari separo penduduk Jakarta tinggal, permukaan tanah turun 2 sampai 20 cm per tahun. Itu semua, bisa dibayangkan, akan membawa akibat sosial-politik-ekonomi yang skalanya sungguh raksasa!
Dan akhirnya, ketiga, turunnya permukaan tanah membuat ancaman banjir makin tampak di depan mata. Jakarta selama ini harus bergulat bukan saja dengan banjir sebagai akibat curah hujan yang lumayan tinggi (2000 – 3500 mm/tahun), tetapi juga naiknya permukaan laut (rob) yang mengancam banyak wilayah. Wilayah seperti Kamal Mutiara, Pluit, Penjaringan, Kalibaru, Cilincing dan Marunda sudah lama menjadi langganan rob, sementara Ancol statusnya makin terancam.
Untuk menghadapi tiga ancaman yang bisa menyebabkan punahnya Jakarta itu, proyek raksasa PTPIN dibuat yang rencananya akan mencakup tiga tahapan besar: Tahap A (2014 – 2018) difokuskan pada upaya memperlambat penurunan muka tanah, membangun dan meninggikan tanggul; Tahap B (2018 – 2025) untuk membangun tanggul luar (Giant Sea Wall) dan waduk besar; dan akhirnya Tahap C yang difokuskan untuk membangun tanggul luar Timur. Paling tidak, itulah yang ada dalam Master Plan PTPIN.
Jadi, di balik kontroversi sengit tentang grand corruption dan apakah Ahok terlibat atau tidak, sebenarnya persoalan reklamasi Teluk Jakarta menyangkut masalah yang jauh lebih besar: bagaimana menyelamatkan Jakarta. Karena itu, tampaknya, persoalan apakah pencalonan Ahok akan terganjal oleh kasus reklamasi ini atau tidak, dan apakah Ahok akan terpilih lagi menjadi Gubernur Jakarta atau tidak, proyek raksasa PTPIN akan terus jalan. Sebab proyek ini merupakan upaya untuk menjawab tiga ancaman serius yang harus dihadapi Jakarta. Dan sampai sekarang, untuk menghadapi ancaman itu, belum ada alternatif pemecahan lainnya.
Lalu mengapa kini reklamasi jadi kontroversi publik yang sengit? Boleh jadi, kontroversi yang sekarang berlangsung merupakan bagian dari pertarungan politik siapa yang nantinya akan mendapat jatah terbesar dari “kue” yang menggiurkan ini. Mari kita tunggu akhir pertarungan itu!
Editor : Trisno S Sutanto
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...