Rohingya: Hak Asasi versus Negara Kebangsaan
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM Keberadaan masyarakat Rohingya di tengah masyarakat Burma tidak pernah disadari. Padahal masyarakat Rohingya sudah tinggal selama 400 tahun lebih di Burma. Mereka bermigrasi dari Bangladesh ke Burma pada masa kolonial Inggris.
Anggapan bahwa masyarakat Rohingya bukan penduduk asli Burma menjadi dasar penolakan kewarganegaraan masyarakat Rohingya di Burma.
Saya khususnya tidak setuju dengan konsep ini, orang-orang membuat alasan yang digunakan untuk meledakkan masyarakat Burma dan merasakan kebangsaan Burma. kata fotografer dan penulis buku Exiled to Nowhere Greg Constantine ketika diwawancara satuharapan.com usai pameran foto bertema Rohingya beberapa waktu lalu di Jakarta.
Masalah tidak diakuinya masyarakat Rohingya sebagai bagian dari Burma terkait dengan konsep politik negara kebangsaan menurutnya bukanlah hal yang semestinya.
Saya berpikir tentang Burma yang sekarang dan begitu banyak cara berproses mencoba untuk mempertahankan tentang identitas itu (negara kebangsaan). Greg Constantine juga menambahkan bahwa masyarakat Myanmar itu multietnis. Sementara konsep politik negara kebangsaan menentukan siapa yang berhak memilikinya dan siapa yang tidak.
Hak minoritas untuk diakui, bukan menentukan nasib sendiri
Ada pendapat bahwa masyarakat Rohingya harus diakui kewarganegaraannya, tetapi bukan di Burma. Seperti yang terjadi pada 1982, masyarakat Rohingya tidak diakui kewarganegaraannya.
Jika kamu berbicara Rohingya kemudian menanyakan pada mereka di mana rumahmu? Mereka semua mengatakan Burma adalah rumahnya. Tetapi Pemerintah Burma menolak adanya hubungan masyarakat Rohingya dengan negaranya.
Peraih Amnesty International Media Award for Journalism ini mengatakan masyarakat tanpa negara ini butuh pengakuan bahwa mereka memiliki hubungan dengan Burma dan kewarganegaraannya diakui di negara itu. Penerapan atas hak-hak kaum minoritas bukan hal mudah di setiap negara dan dapat diterapkan secara universal. Begitu pula problem yang terjadi atas masyarakat Rohingya bukanlah hal universal yang dapat diterapkan pada negara berbeda yang multi etnis.
Fotografer asal Amerika Serikat yang selama 8 tahun menetap di Thailand ini mengaku tertarik mendokumentasikan masyarakat Rohingya karena kisah itu mungkin dianggap kisah paling tidak penting tentang pelanggaran hak asasi manusia atas bangsa itu di dunia saat ini.
Tetapi dia telah berhasil mendokumentasikan pelanggaran atas masyarakat Rohingya dengan baik. Buku Exiled to Nowhere, Burmas Rohingya dinobatkan Independent on Sunday Inggris dan majalah PDN Amerika Serikat sebagai buku foto terkemuka pada 2012. Bukunya masuk di antara finalis Photo Book Asia Award 2013.
Dia mengaku telah menghabiskan waktu selama delapan tahun untuk mendokumentasikan nasib masyarakat Rohingya. Dari 2006 hingga 2012 dia membuat delapan kali perjalanan ke Bangladesh dan dua kali perjalanan ke Burma untuk mendokumentasikan kisah masyarakat Rohingya.
Editor : Bayu Probo
Laporan Ungkap Hari-hari Terakhir Bashar al Assad sebagai Pr...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Presiden terguling Suriah, Bashar al Assad, berada di Moskow untuk menghad...