Rola Sleiman: Pendeta Perempuan Pertama di Arab
TRIPOLI, SATUHARAPAN.COM – Rola Sleiman, adalah seorang pendeta perempuan pertama di dunia Kristen Arab.
Kisah ini bermula dari seorang gadis yang aktif di gereja dan memutuskan untuk belajar teologi di universitas. Setelah lulus, ia kembali ke gereja tempat di mana ia menghabiskan masa mudanya di Tripoli, Lebanon. Faktanya, ia adalah perempuan pertama yang menanggapi panggilan tersebut.
“Saya tidak pernah berpikir bahwa saya akan menjadi seorang pendeta,” kata Sleiman yang saat ini menjabat sebagai pendeta di Gereja Evangelis Presbiterian Nasional di Tripoli. Ia resmi ditahbiskan menjadi pendeta pada 26 Februari 2017 yang merupakan janji bersejarah untuk pertama kalinya setelah sebelumnya peran tersebut hanya untuk laki-laki.
Sangat jelas sikap langsung dan humorisnya membawanya ke atas mimbar. Dia berdiri di podium, memastikan celananya tersembunyi sambil bercanda dengan pemain organ gereja. “Saya mulai difoto dengan celana jeans saya – itu akan menjadi skandal bagi jemaat kami!” kata dia seraya tertawa.
Dia menjelaskan bagaimana rasanya menjadi pendeta perempuan pertama di Arab. Dia menyebut lingkungannya menjadi pengaruh mengapa ia sampai pada titik ini. “Cara bekerja Tuhan dalam hidup saya terasa nyata, ketika saya melihat ke belakang, saya pikir itu adalah kehendak Tuhan ketika saya membuat pernyataan ini.”
Sleiman tidak datang dari keluarga Kristen yang taat. Orang tuanya berjemaat di Evangelis Presbiterian, tetapi mereka tidak religius dibandingkan yang lain. Dia kemudian mulai tertarik ke dunia teologi saat remaja, seperti remaja seusianya, dia mulai bertanya-tanya. Dia menginginkan sebuah jawaban, jadi dia banyak membaca.
“Saya membaca Alkitab, Alquran dan Kitab Perjanjian Lama dan saya yakin dengan iman saya. Saya tidak mengatakan itu adalah ‘kebenaran’ untuk semua orang, tapi bagi saya, cara inilah yang meyakinkan saya.”
Arah hidupnya sangat jelas ia dapatkan ketika kebanyakan remaja seusianya masih berjuang mencari jati diri. Ketika Sleiman berusia 17 tahun, dia mengajukan diri untuk diadopsi oleh Sinode Nasional Evangelis Suriah dan Lebanon, yang merupakan payung bagi denominasi federasi Evangelis Presbiterian di seluruh Levant (Suriah, Irak, Lebanon).
Sinode kemudian mengangkatnya dan memberinya beasiswa Teologi dan Pendidikan Kristen.
Setelah lulus, dia memiliki pilihan untuk melayani di beberapa sinode gereja di seluruh Lebanon, termasuk di kampung halamannya di Tripoli. Sleiman kemudian memutuskan untuk memilih Tripoli dan gereja tempat di mana dia tumbuh. “Saya merasa ada sesuatu yang harus saya lakukan di sini, di kampung halaman saya. Saya merasa saya harus melayani di situ.”
“Firasat saya terbukti. Pada tahun 2006, George Bitar, pendeta dari gereja Sleiman, meninggalkan negara itu untuk bepergian. Karena memiliki dasar pendidikan teologis, Sleiman resmi memenuhi syarat untuk mengambil tugas memimpin kebaktian Minggu untuk sementara.”
Namun, pada tahun 2006,perang pada bulan Juli dengan Israel meletus di Lebanon, Bitar tidak dapat memesan tiket penerbangan untuk pulang dan Sleiman akhirnya melakukan pelayanan selama enam bulan.
Bitar kemudian kembali tapi sangat singkat. Dia mendapatkan visa ke Amerika Serikat, dan pada tahun 2008 pindah ke AS bersama keluarganya untuk selamanya. Dengan tidak adanya seorang pendeta di gereja itu, Sleiman terus melayani di gereja itu dan membangun hubungan yang baik dengan semua jemaat.
“Ini adalah gereja saya dan saya tidak akan pernah meninggalkannya,” kata dia dengan penuh keyakinan.
Namun, kesulitan terjadi karena Sleiman bukanlah pendeta resmi yang ditahbiskan gereja itu. Dia tidak dapat melakukan sakramen atau pembaptisan tanpa pengawasan dari majelis atau pendeta yang ditahbiskan di Sinode yaitu pengawasan dari laki-laki.
Selain itu, komite sinode, penatua dan pendeta dari seluruh Suriah dan Lebanon tidak bisa memberikan suara pada sejumlah masalah tanpa kehadiran perwakilan resmi dari Tripoli.
Gereja Evangelis Presbiterian Nasional Tripoli memerlukan seorang pendeta. Ini waktunya sinode secara resmi menunjuk perwakilan sehingga keputusan dapat segera dibuat.
Ketika gereja menanyakan siapa yang mereka inginkan untuk mewakili jemaat, jawabannya sudah sangat jelas. Setelah bertahun-tahun menjadi pelayan sementara, “Gereja ini sudah terbiasa dengan saya. Mereka tidak memikirkan jenis kelamin saya, laki-laki atau perempuan. Saya melayani mereka, melakukan kunjungan, berkhotbah dengan baik dan saya meyakinkan mereka melalui pelayanan saya,” kata Sleiman.
Akhirnya, suara untuk mengangkat Sleiman sebagai pendeta sudah bulat dan hanya mendapatkan sedikit pertentangan.
Tripoli, yang dikenal sebagai ibu kota kedua Lebanon, terkena imbas sangat besar dari perang sipil tetangganya yaitu Suriah, di mana aktivitas pejuang sektarian dan bom mobil selalu mewarnai tajuk utama berita di mancanegara. Apalagi, pada tahun 2014, penyerang membakar Saeh Library, sebuah perpustakaan Kristen Tripoli yang menghanguskan dua pertiga wilayah perpustakaan yang terdiri dari 80.000 buku dan manuskrip. Serangan ini diduga sebagai serangan bermotifkan agama.
Namun, media mainstream yang menggambarkan kota Tripoli dalam kegelapan, memaksa Sleiman fokus pada sektarian dan sejumlah kecil anak muda yang bergabung dalam organisasi seperti ISIS.
Secara sistem, Lebanon menderita karena perpecahan sektarian dan perang sipil, Sleiman percaya gerejanya akan menjadi pembawa damai. “Bagi saya, tugas seorang pendeta adalah menggembalakan kelompok kecil, mengurus mereka dan menjamin kelangsungan,” kata dia.
Tripoli adalah kota historis yang beragam, tetapi penduduk Kristen berkurang sepanjang perang sipil selama 15 tahun di Lebanon yang dimulai pada tahun 1975. Beban ekonomi yang berat bercampur dengan ketegangan agama, membuat banyak dari mereka yang akhirnya berimigrasi. Penduduk Kristen saat ini mencapai sekitar enam persen dari populasi di Tripolis.
Evangelical Presbiterian adalah denominasi kecil yang tersebar di Lebanon dan Suriah.
Meskipun ada sekolah Evangelical Presbiterian di pinggiran kota, Gereja Injili Nasional itu sendiri terletak di pusat kota tua dan dikenal di kalangan mayoritas pemilik toko Muslim di lingkungannya.
Sleiman menegaskan jemaatnya adalah bagian besar dari masyarakat sekitar. “Saya tidak bisa membayangkan hidup di kota-kota lain,” kata dia. “Orang-orang dari Tripoli sangat mendukung.”
Menjadi pendeta perempuan pertama di dunia Arab adalah tanggung jawab yang nampaknya biasa saja untuk Sleiman, namun di sisi lain, penunjukannya adalah momen yang bersejarah terhadap dirinya.
“Gelar ini belum membebani saya. Di sisi lain saya merasa ada lebih banyak mata yang mengawasi saya sepertinya orang sedang menunggu saya berhasil atau gagal.”
Di luar keputusan agama yang bersejarah ini, Sleiman telah mempromosikan kesetaraan gender dalam masyarakat Lebanon melalui pelayanannya.
Struktur politik di Lebanon meninggalkan banyak kerinduan pembaruan politik, terutama bagi perempuan, yang sering menanggung beban pada masalah sosial dan ekonomi. Bulan Maret ditandari sebagai Hari Perempuan Internasional setiap tanggal 8 Maret.
Tahun ini, ratusan perempuan berbaris di jalan-jalan Beirut unutk menuntut hak yang sama, Sleiman kemudian memulai perannya sebagai pendeta yang telah resmi ditahbiskan di Tripoli.
Sleiman yang memiliki ayah berdarah Suriah dan seorang ibu berdarah Lebanon, lahir dan tinggal di Tripoli sepanjang hidupnya dan mengakui dirinya adalah orang Lebanon, tetapi dia tidak memiliki kewarganegaraan Lebanon. Karena ibu Lebanon tidak bisa memberikan kewarganegaraannya untuk anak-anaknya, oleh karena itu, Sleiman secara berkala harus memperbarui paspor Suriah dan izin tinggal untuk mempertahankan status hukum di Lebanon.
“Kami memiliki hukum yang tidak berpihak pada perempuan,” kata dia saat mengklarifikasi posisinya terhadap penindasan semua orang. “Ini saatnya untuk meninggalkan semua itu.”
“Beberapa orang akan memberitahu Anda tentang pentahbisan saya. Saya pikir, lebih baik terlambat daripada tidak pernah sama sekali. Setidaknya dengan pentahbisan saya pintu telah dibuka,” kata Sleiman. “Pintu-pintu ini perlu dibuka di mana-mana.”
Sleiman kemudian mengucap syukur atas apa yang terjadi pada dirinya. “Alhamdulilah,” kata dia, menggunakan bahasa Arab yang digunakan oleh orang Kristen dan Muslim untuk ‘mengucap syukur kepada Tuhan’. (Aljazeera)
Editor : Diah Anggraeni Retnaningrum
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...