Romo Magnis: Surat Itu Alasan Saya Tak Bisa Pilih Prabowo
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Pakar Etika Politik dari Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Romo Franz Magnis Suseno menanggapi kritik yang dilontarkan beberapa kalangan terkait surat terbuka mengenai Prabowo Subianto dan alasannya tidak dapat memilih Calon Presiden Republik Indonesia nomor urut satu tersebut.
Menurutnya kritik yang disampaikan pada suratnya itu wajar saja dan ia tidak ingin mempersoalkan hal tersebut.
“Ya tak jadi apa. Mengkritik ya dikritik kembali. Itu bukan surat kepada Prabowo Subianto, melainkan tentang Prabowo dan alasan saya tidak bisa memilih beliau,” ucap Romo Magnis dalam pesan singkat yang diterima satuharapan.com, Jumat (4/7).
Romo Magnis membenarkan bahwa tulisan tersebut hasil goresannya. Namun, tujuannya menulis surat tersebut bukan untuk dipublikasikan di media.
"Saya memang menulis kritik terhadap Prabowo, benar itu tulisan saya. Tapi itu bukan surat terbuka kepada media, saya tulis itu dalam sebuah surat elektronik," kata Romo Magnis.
Akan tetapi, dirinya tak pernah melarang pihak mana pun untuk menyebarluaskan tulisan tersebut. "Saya sadar tulisan itu akan menyebar, surat ini bukan untuk dipublikasi, tapi mudah ditemukan di internet."
Isi Lengkap Surat Romo Franz Magnis Suseno
Masa Depan Bangsa dalam Taruhan
Sepuluh tahun pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono telah meninggalkan seabrek kemacetan dan tantangan nasional yang mau tak mau harus dan akan ditangani oleh presiden baru. Itu berarti, pemerintah baru akan membawa perubahan-perubahan yang mendalam. Dan karena itu, siapa yang dipilih menjadi presiden untuk lima tahun mendatang akan amat menentukan bagi masa depan bangsa.
Sebagai warga negara biasa yang amat khawatir akan masa depan bangsa dan negara Indonesia, saya tentu tidak mungkin netral. Karena itu maka dalam tulisan ini saya mau menjelaskan mengapa saya tidak mungkin memberi suara saya kepada Bapak Prabowo Subiyanto.
Masalah saya bukan dalam program Prabowo. Saya tidak meragukan bahwa Pak Prabowo, sama seperti Pak Joko Widodo, mau menyelamatkan bangsa Indonesia. Saya tidak meragukan bahwa ia mau mendasarkan diri pada Pancasila. Saya tidak menuduh Beliau antipluralis. Saya tidak meragukan iktikat baik Prabowo sendiri.
Yang bikin saya khawatir adalah lingkungannya. Kok Prabowo sekarang sepertinya menjadi tumpuan pihak Islam garis keras. Seakan-akan apa yang sampai sekarang tidak berhasil mereka peroleh mereka harapkan bisa berhasil diperoleh andaikata saja Prabowo menjadi presiden?
Adalah Amien Rais yang membuat jelas yang dirasakan oleh garis keras itu: Ia secara eksplisit menempatkan kontes Prabowo – Jokowi dalam konteks perang Badar, yang tak lain adalah perang suci Nabi Muhammad melawan kafir dari Makkah yang menyerang ke Madinah mau menghancurkan umat Islam yang masih kecil! Itulah bukan slip of the tongue Amien Rais, memang itulah bagaimana mereka melihat pemilihan presiden mendatang.
Mereka melihat Prabowo sebagai panglima dalam perang melawan kafir. Entah Prabowo sendiri menghendakinya atau tidak. Ada masjid-masjid di mana dikhotbahkan bahwa coblos Jokowi adalah haram. Bukan hanya PKS dan PPP yang merangkul Prabowo, FPI saja merangkul. Mengapa?
Saya bertanya: Kalau Prabowo nanti menjadi presiden karena dukungan pihak-pihak garis keras itu: Bukankah akan tiba pay-back-time, bukankah akan tiba saatnya di mana ia harus bayar kembali hutang itu? Bukankah rangkulan itu berarti bahwa Prabowo sudah tersandera oleh kelompok-kelompok garis keras itu?
Lalu kalimat gawat dalam Manifesto Perjuangan Gerindra: "Negara dituntut untuk menjamin kemurnian ajaran agama yang diakui dari segala bentuk penistaan dan penyelewengan dari ajaran agama". Kalimat itu jelas pertentangan dengan Pancasila karena membenarkan penindasan terhadap Achmadiyah, kaum Syia, Taman Eden dan kelompok-kelompok kepercayaan.
Sesudah diprotes Dr. Andreas Yewangoe, Ketua PGI, Pak Hashim, adik Prabowo, seorang new born Christian, sowan pada Pak Yewangoe dan mengaku bahwa kalimat itu memang keliru, bahwa Prabowo 2009 sudah mengatakan harus diperbaiki dan sekarang sudah dihilangkan. Akan tetapi sampai tanggal 25 Juni lalu kalimat itu tetap ada di Manifesto itu di website resmi Gerindra.
Bukankah itu berarti bahwa Hashim tidak punya pengaruh nyata atas Gerindra maupun Prabowo?
Terus terang, saya merasa ngeri kalau negara kita dikuasai oleh orang yang begitu semangat dirangkul dan diharapkan oleh, serta berhutang budi kepada, kelompok-kelompok ekstremis yang sekarang saja sudah semakin menakutkan.
Lagi pula, sekarang para mantan yang mau membuka aib Prabowo dikritik. Tetapi yang perlu dikritik adalah bahwa kok baru saja sekarang orang bicara. Bukankah kita berhak mengetahui latar belakang para calon pemimpin kita?
Prabowo sendiri tak pernah menyangkal bahwa penculikan dan penyiksaan sembilan aktivis yang kemudian muncul kembali, yang menjadi alasan ia diberhentikan dari militer, memang tanggungjawabnya. Prabowo itu melakukannya atas inisiatifnya sendiri.
Saya bertanya: Apa kita betul-betul mau menyerahkan negara ini ke tangan orang yang kalau ia menganggapnya perlu, tak ragu melanggar hak asasi orang-orang yang dianggapnya berbahaya? Apa jaminan bahwa Prabowo akan taat undang-undang dasar dan undang-undang kalau dulu ia merasa tak terikat oleh ketaatan di militer?
Aneh juga, Gerindra menganggap bicara tentang hak-hak asasi manusia sebagai barang usang. Padahal sesudah reformasi hak-hak asasi manusia justru diakarkan ke dalam undang-undang dasar kita agar kita tidak kembali ke masa di mana orang dapat dibunuh begitu saja, ditangkap dan ditahan tanpa proses hukum.
Jakarta, 25 Juni 2014
Franz Magnis-Suseno SJ
Editor : Bayu Probo
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...