Rosan: Indeks Daya Saing RI Turun karena Korupsi
Rosan mengusulkan kepada pemerintah untuk mengantisipasi korupsi dengan cara mengguranggi mata rantai perizinan dengan menggunakan sistem digital atau online.
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia, Rosan Roeslani, mengatakan peringkat indeks daya saing global Indonesia yang turun ke urutan ke-41 untuk periode 2016-2017 dikarenakan korupsi di Indonesia masih cukup tinggi.
Menurut dia, korupsi berkontribusi besar dalam mempengaruhi penurunan indeks daya saing global Indonesia di kancah internasional.
“Karena memang korupsi ternyata adalah nomor satu kontribusi terbesar mengapa daya saing kita itu menjadi kendala. Kita ketahui bersama kita mengalami penurunan dari daya saing, yang tadinya nomor 37 sekarang nomor 41,” kata Rosan Roeslani di JIExpo, Kemayoran, Jakarta, hari Kamis (13/10).
Sebelumnya, peringkat indeks daya saing global Indonesia melorot ke urutan ke-41 untuk periode 2016-2017, dari urutan ke-37 pada periode 2015-2016, menurut Global Competitiveness Index (GCI) yang dibuat oleh World Economic Forum (WEF).
Di sisi lain, India melonjak ke urutan ke-39, melesat 16 tingkat dari posisi ke-55 sebelumnya. Negara dari Asia Selatan ini merupakan bintang dan mencapai peningkatan terbesar tahun ini, menurut Forum yang berbasis di Jenewa itu.
Rosan menambahkan, pungutan liar (pungli) merupakan salah satu bukti bahwa korupsi di Indonesia itu masih terjadi.
“Nah, kalau bicara mengenai korupsi, saya rasa pungli masuk di situ,” kata dia.
Oleh karena itu, Rosan mengusulkan kepada pemerintah untuk mengantisipasi korupsi dengan cara mengurangi mata rantai perizinan dengan menggunakan sistem digital atau online.
“Salah satu jawabannya online. Perizinan kenapa sih tidak dilakukan secara online? Oleh sebab itu, ini kan hanya perubahan mind set. Jadi alangkah lebih eloknya kalau itu semua bisa dilakukan secara online sehingga dengan sendirinya korupsi, pungli itu akan berkurang secara signifikan,” kata dia.
Di waktu terpisah, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menilai Indonesia kurang cepat dalam melakukan perbaikan iklim investasi di dalam negeri dibandingkan negara-negara lain sehingga indeks daya saing global Indonesia menurun.
Deputi Bidang Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal BKPM Azhar Lubis mengatakan, menghadapi persaingan tersebut Indonesia akan terus melakukan perbaikan-perbaikan iklim investasi dan kemudahan berusaha di semua sektor.
“(Mengenai) daya saing, sebetulnya kan peringkat ini begini, kita diam, orang berlari. Kita berlari, orang lain itu lari cepat. Jadi kita harus tetap melakukan perbaikan-perbaikan. Itu intinya,” kata Azhar Lubis kepada satuharapan.com di Kantor BKPM, Jakarta, hari Selasa (20/9).
Azhar menambahkan, Indonesia tidak bisa hanya melakukan perbaikan, tapi juga harus mempercepatnya karena negara lain melakukan lebih cepat dari Indonesia.
“Tidak bisa, oke kita melakukan perbaikan, tapi harus dipercepat, karena orang lain melakukan lebih cepat dari kita,” katanya.
“Jadi begini, bapak lari, tapi saya lari cepat. Tapi larinya 10 kilometer meter per jam, bapak lari lagi 20 kilometer. Tetap lari bapak, lari tetap, berjalannya bergerak ke depan, tapi orang lain lebih cepat lagi. Sehingga kalau dilihat secara ekonomi, semuanya bergerak cepat, tapi Anda tinggal, bukan karena Anda jelek. Jadi karena peningkatan orang lain lebih tinggi,” dia menegaskan.
Kebijakan Belum Berdampak
Sementara itu, Ekonom Agustinus Prasetyantoko, mengatakan penyebab peringkat indeks daya saing global Indonesia yang turun ke urutan ke-41 untuk periode 2016-2017 dikarenakan berbagai kebijakan pemerintah Indonesia yang belum berdampak signifikan, sedangkan kebijakan negara-negara lain dinilai lebih progresif.
“Sebenarnya begini, turun karena dua hal, satu, karena apa yang kita lakukan di dalam negeri belum cukup besar sehingga dampaknya belum signifikan. Yang kedua negara-negara lain lebih progresif. Jadi ada dua hal itu,” kata Pras, sapaan akrabnya, kepada satuharapan.com di gedung Learning Centre Bank Indonesia (LCBI), Jakarta, hari Jumat (7/10).
Ketika ditanya mengapa investasi asing langsung belum terlihat masuk ke Indonesia, Rektor Universitas Atmajaya itu mengatakan ada dua hal yang menjadi alasannya.
“Ada dua hal, satu supplynya sendiri. Jadi investasi asing itu sendiri sekarang sedang terbatas supplynya, karena ekonomi global sedang lesu dan sebagainya sehingga tidak banyak pelaku yang memang mau datang ke amazing countries seperti Indonesia,” kata Pras.
“Yang kedua, sebetulnya usaha yang dilakukan oleh pemerintah dengan paket-paket deregulasi ini, itu masih dilihat implementasinya. Jadi kalau nanti implementasinya itu sesuai yang diharapkan oleh pelaku usaha, menurut saya akan ada peningkatan investasi, khususnya asing ke Indonesia,” dia menambahkan.
Pras mengusulkan, langkah yang sebaiknya diambil oleh pemerintah adalah terus meyakinkan investor bahwa implementasi paket-paket kebijakan ekonomi sesuai dengan ketetapan yang dibuat pemerintah sehingga menimbulkan kepercayaan bagi investor.
“Pertama meyakinkan, bahwa pemerintah ini sekarang sedang berusaha secara maksimal mengimplementasikan paket-paket kebijakan ekonomi itu. Sekarang ini kan sudah selesai dengan seluruh paket-paket kebijakan penetapan aturannya.”
“Kemudian nanti implementasinya itu masih akan dikaji lagi apakah sudah sesuai dengan desain awalnya. Nah ini menjadi kunci bagi kepercayaan yang apakah akan didapatkan oleh investor kepada pemerintah kita atau tidak,” kata dia.
Saat ditanyakan mengenai investor yang menilai masih banyak kebijakan yang distortif, termasuk upaya DPR untuk meloloskan Undang-Undang Antialkohol, dan upaya judicial review terhadap Undang-Undang Minyak Bumi dan Gas (Migas), Pras mengatakan penilaian seperti itu adalah hal yang wajar.
Namun, menurut dia, dengan adanya deregulasi 200 lebih peraturan itu sudah menunjukkan komitmen pemerintah untuk mereformasi kebijakan yang bertabrakan satu dengan yang lain guna meningkatkan investasi di dalam negeri.
“Memang di beberapa sektor yang terkait dengan mungkin sentimen dan sebagainya, cenderung respective, tapi secara umum kan dengan adanya 200 kebijakan yang dideregulasi peraturan itu, menurut saya, komitmen untuk mereformasi itu memang ada, sudah muncul,” kata Pras.
Indonesia Dinilai Baik Dalam Hal Pengembangan Keuangan
Menurut Nikkei Asian Review, indeks yang memeringkat 138 negara ini, menilai berbagai aspek seperti lembaga, infrastruktur dan lingkungan ekonomi makro serta kesehatan dan pendidikan dasar. Swiss menduduki puncak GCI untuk tahun kedelapan berturut-turut sementara Jepang mengamankan posisi kedelapan dibandingkan dengan keenam tahun lalu.
Indonesia dinilai baik dalam hal pengembangan keuangan (42, naik tujuh peringkat), tetapi hanya berada di peringkat 100 di bidang kesehatan dan pendidikan dasar, di posisi 108 dalam efisiensi pasar tenaga kerja dan di posisi 91 dalam kesiapan teknologi. Dikatakan pula bahwa hanya seperlima dari populasi yang menggunakan internet, hanya satu koneksi broadband untuk setiap 100 orang.
Sementara India mendapat pujian atas reformasi baru-baru ini yang berfokus pada peningkatan lembaga-lembaga publik, membuka perekonomian untuk investor asing dan perdagangan internasional, dan meningkatkan transparansi dalam sistem keuangan.
India melesat melampaui Indonesia yang turun empat peringkat dan Filipina yang jatuh 10 peringkat. Filipina mengalami kemunduran terutama karena dianggap bermasalah dalam efisiensi birokrasi pemerintahan, korupsi dan ketersediaan infrtastruktur yang tidak memadai.
India dianggap hebat, dan kredit poin diberikan kepada Perdana Menteri Narendra Modi. Di tengah perlambatan global, India tetap merupakan ekonomi utama yang tumbuh paling cepat. ekonomi negara itu tumbuh 7,6 persen untuk tahun keuangan yang berakhir 31 Maret, sementara tahun sebelumnya mencatat pertumbuhan 7,2 persen.
Editor : Eben E. Siadari
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...