Rumah Ibadah: Di Mana persoalannya?
SESUNGGUHNYA aneh dan ironis, di sebuah negara yang mengaku diri berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa serta menaruh "agama" di tempat sangat mulia, justru pendirian rumah ibadah, khususnya dari kalangan minoritas, hampir selalu menimbulkan ketegangan, dan bahkan gejolak sosial. Berulang kali masalah ini muncul dalam skala dan intensitas yang makin meninggi.
Belum lama ini, misalnya, gedung gereja HKBP Setu di Bekasi, yang baru berdiri temboknya (karena dihambat pembangunannya lebih lanjut) malah diratakan dengan tanah oleh Satpol PP. Jemaat gereja itu, yang berusaha menghalang-halangi, hanya mampu menangis histeris melihat satu-satunya tembok gereja luluhlantak. Bendera merah putih yang dipancang di situ hanya makin mengguritkan luka perih.
Sementara trauma peristiwa itu masih segar, lagi-lagi di Bekasi, jemaah Islam Ahmadiyah yang sedang shalat dikepung dan masjid mereka digembok oleh sekelompok massa yang tidak menyukai keberadaan mereka. Pihak keamanan tak mampu mencegah tekanan massa, malah diduga kuat berpihak pada para pengepung.
Dua peristiwa paling anyar dari Bekasi itu makin memperkuat potret buram kehidupan keberagamaan di tanah air, sehingga mendorong para pendeta dan pimpinan umat beragama sejabodetabek melakukan long march ke gedung MPR Senin (8 April 2013) lalu.
Tetapi apa sesungguhnya persoalan di balik kontroversi rumah ibadah?
Tataran Persoalan
SATU hal yang jelas, persoalan rumah ibadah bukan sekadar masalah administratif belaka, seperti dikatakan oleh Menag Suryadarma Ali belum lama ini (The Jakarta Post, 2 April 2013). Mereduksi persoalan itu pada aspek administrasinya belaka—urusan tetek bengek untuk memperoleh ijin—hanya akan mengaburkan persoalan lebih besar yang melatarinya.
Banyak orang tercengang membaca pernyataan Menag itu. Sebab, jika dibaca sekilas, Menag bahkan seakan-akan melontarkan tuduhan bahwa umat kristiani sendirilah yang menyebabkan mereka jadi sasaran diskriminasi. Sebab mereka, kata Menag, sudah mempolitisasi persoalan yang sesungguhnya hanya masalah administrasi murni.
Penilaian seperti itu, tentu saja, sangat gegabah dan hanya akan menyulut ketegangan antar-umat beragama. Lagi pula, persoalan rumah ibadah memang bukan sekadar masalah administratif belaka, tetapi mencerminkan persoalan yang jauh lebih kompleks. Ini terlihat gamblang dari Peraturan Bersama Menag-Mendagri (PBM) No 9/2006 dan 8/2006 yang masih kontroversial itu.
Setidaknya, menurut saya, ada tiga tataran persoalan yang saling terkait dan harus didedah dengan jernih. Pertama, pada tataran peraturan, harus diakui PBM No 9/2006 dan 8/2006 sudah jauh lebih baik ketimbang Surat Keputusan Bersama (SKB) Menag-Mendagri No 01/BER/mdn-mag/1969 sebelumnya. Ini terlihat dalam syarat-syarat yang lebih jelas, jangka waktu pengurusan dan pemberian ijin, maupun adanya Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) yang diberi peran menonjol.
Namun masalahnya terletak bukan pada PBM itu sendiri, yakni soal yang disebut “administratiff” tadi. Niat baik yang dikandung oleh PBM tidak akan terlaksana tanpa—dan ini tataran kedua—ketegasan pemerintah di dalam menjamin kebebasan beragama dan beribadah. Menurut PBM, kepastian ijin rumah ibadah sudah harus diberikan paling lama 90 hari setelah permohonan diajukan (psl 16 ay 2). Bahkan jika persyaratan dukungan masyarakat belum terpenuhi, pemerintah daerah berkewajiban memfasilitasi tersedianya lokasi pembangunan rumah ibadah (psl. 14 ay 3). Masalahnya, PBM tidak mencantumkan sanksi apa yang akan diberikan jika ketentuan ini dilanggar. Dan celah itu kerap jadi tameng bagi pejabat yang mbalelo.
Tetapi jelas, sikap tegas pemerintah di sini sangat menentukan. Apalagi, pada tataran ketiga, dewasa ini makin berkembang pandangan keagamaan yang tidak toleran terhadap keberadaan komunitas agama lain, maupun perbedaan paham dan tafsir di dalam suatu komunitas keagamaan. Kekerasan yang dialami jemaat Islam Ahmadiyah maupun Syiah di berbagai tempat merupakan contoh bagaimana penyeragaman tafsir keagamaan yang semena-mena bisa menimbulkan gejolak sosial.
Di tengah perbenturan tafsir keagamaan dan gesekan antar-umat beragama itulah, ketegasan sikap pemerintah untuk menegakkan jaminan konstitusional hak-hak warganya sangat dibutuhkan. Sebab pertaruhannya sungguh mahal: raison d’être Indonesia sebagai negara majemuk yang dicita-citakan para pendiri bangsa ini.
Tanpa ketegasan itu, Indonesia hanya akan jadi masa lampau.
Penulis adalah Koordinator Penelitian Biro Litkom-PGI, Jakarta
Editor : Sabar Subekti
AS Laporkan Kasus Flu Burung Parah Pertama pada Manusia
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Seorang pria di Louisiana, Amerika Serikat, menderita penyakit parah perta...