Rupiah Jatuh ke Level Krisis 1998, Betulkah Ekonomi Aman?
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM- Hari ini (23/7) nilai tukar rupiah menembus angka psikologis baru, ketika pada pukul 11.22 tadi kurs rupiah mencapai Rp13.405 per dolar AS, menurut Bloomberg Dollar Index. Kurs rupiah mencapai level selemah ini terakhir kali adalah pada saat krisis ekonomi Asia menghantam Indonesia pada tahun 1998.
Menko Perekonomian, Sofyan Djalil, hari ini segera menenangkan pasar dengan mengatakan fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang terjadi sejak tahun lalu masih dalam batas wajar dan bisa diantisipasi oleh Bank Indonesia.
"Naik turunnya rupiah selama masih dalam batas wajar, saya pikir tidak akan menjadi masalah yang besar," katanya, sebagaimana dikutip Antara.
Selanjutnya, Sofyan memastikan Bank Indonesia terus melakukan pengawasan secara mendetail terhadap pergerakan nilai tukar rupiah yang bertahan pada level Rp13.000-an per dolar AS dan situasi saat ini masih belum dalam kondisi mengkhawatirkan.
Ia mengatakan rupiah memang cenderung "undervalued" akibat terus-terusan melemah terhadap dolar AS, apalagi pergerakan mata uang dunia saat ini sedang terpengaruh oleh penguatan dolar AS akibat membaiknya perekonomian Amerika Serikat.
Bank Indonesia menyatakan hal yang sama. Pelemahan rupiah, menurut bank sentral, adalah tren yang normal menjelang pengetatan moneter lebih lanjut di Amerika Serikat berupa rencana The Fed menaikkan suku bunga. Sejak Mei 2013, dolar AS telah memiliki momentum bullish dan diperkirakan masih akan tetap berlanjut sampai The Fed menaikkan suku bunga.
Dengan demikian, BI mengklaim bahwa melemahnya rupiah terutama disebabkan oleh faktor eksternal dan tidak begitu banyak disebabkan oleh faktor domestik.
Adanya faktor eksternal yang memicu pelemahan rupiah tidak dapat dipungkiri namun dengan hanya mengajukan hal itu sebagai argumen tampaknya dapat menyebabkan masyarakat jauh dari konteks permasalahan ekonomi yang sedang dihadapi.
Indonesia-Investments, sebuah lembaga kajian ekonomi dan investasi yang mengamati perkembangan ekonomi Indonesia, berpendapat bahwa kondisi dalam negeri dewasa ini juga ikut mempengaruhi pelemahan rupiah. Menurut lembaga yang berkantor pusat di Delft, Belanda ini, ada beberapa hal yang menyebabkan tergerusnya kepercayaan investor yang membuat rupiah terus kehilangan nilainya.
Pertama adalah pertanyaan tentang kelanjutan dari perlambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Ekonomi RI sudah jelas menunjukkan perlambatan disebabkan oleh kinerja ekspor yang lemah di tengah melemahnya permintaan untuk komoditas, tingkat suku bunga yang tinggi di Indonesia, dan realisasi belanja pemerintah yang lambat.
Kedua, defisit transaksi berjalan yang kian lebar.
Awal pekan ini, BI merevisi ke bawah proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia dari kisaran 5,0-5,4 persen ke kisaran 5,0-5,2 persen. Dan Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo mengatakan target baru ini hanya bisa dipenuhi bila pemerintah Indonesia dapat meningkatkan pembangunan infrastruktur.
Tahun ini, anggaran pemerintah untuk pembangunan infrastruktur dinaikkan menjadi Rp 290,3 triliun. Namun, pemerintah memiliki masalah serius dalam pengeluaran dana tersebut, sebagian karena adanya pertikaian birokrasi dan lemahnya koordinasi dan kerjasama di antara kementerian, lembaga pemerintah lain dan pemerintah daerah.
"Bulan lalu, Menteri Keuangan Indonesia Bambang Brodjonegoro mengatakan, pemerintah hanya menghabiskan sekitar 8 persen dari total anggaran infrastruktur di enam bulan pertama tahun 2015, menyiratkan adanya kemacetan yang parah," tulis Indonesia- Investment dalam kajiannya.
Oleh karena itu, menurut lembaga ini, perlambatan ekonomi yang sudah dimulai pada 2011, akan terus berlanjut. Baru-baru ini, Bank Dunia merevisi turun proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk tahun 2015 menjadi 4,7 persen dari 5 persen sebelumnya, sedangkan Bank Pembangunan Asia (ADB) memangkasnya dari 5,5 persen menjadi 5 persen.
Pada kuartal pertama 2015 ekonomi Indonesia tumbuh pada kecepatan 4,71 persen (y / y), laju paling lambat dalam lima tahun. Awal Agustus nanti BPS akan merilis angka resmi angka PDB Q2-2015. Namun, diperkirakan untuk mencapai pertumbuhan serupa dengan pertumbuhan di triwulan sebelumnya cukup sulit, karena ekspor dan impor Indonesia telah melemah (tidak ada rebound harga komoditas) dan konsumsi domestik tetap lamban.
Sementara itu, defisit transaksi berjalan diperkirakan akan melebar menjadi 2,3 persen dari PDB pada kuartal kedua 2015 dari 1,85 persen dari PDB pada Q1-2015. Sebetulnya ini normal karena di kuartal kedua tahun ini banyak perusahaan asing memulangkan dividen luar negeri sementara impor meningkat karena Ramadan dan Idul Fitri.
Bila dibandingkan dengan defisit sebesar 4,27 persen dari PDB pada kuartal kedua 2014, angka 2,3 persen pada kuartal kedua 2015 adalah sebuah perbaikan besar. Namun, karena ekspor Indonesia telah menurun, cadangan devisa Indonesia menjadi sangat tergantung pada arus masuk portofolio yang notabene sering bergejolak. Sebab, ia sewaktu-waktu dapat cepat berubah dan menjadi arus modal keluar pada saat terjadi gejolak ekonomi global.
Editor : Eben E. Siadari
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...