Rupiah Nyaris Sentuh Rp 15.000, Mengapa Rakyat Tak Panik?
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Nilai tukar rupiah kini kian dekat ke Rp 15.000. Oleh sejumlah analis, angka ini dinilai merupakan ambang batas ketahanan perusahaan, yang bila terlewati dapat memicu krisis utang sektor swasta
Menurut analis Standard & Poor's, Xavier Jean, apabila nilai tukar rupiah di level Rp 15.000 bertahan cukup lama, katakanlah tiga bulan, akan terjadi gagal bayar pada perusahaan-perusahaan yang tidak memiliki lindung nilai pada pinjaman luar negeri mereka. Dan itu dapat berujung kepada penutupan perusahaan atau pergantian kepemilikan.
Pelemahan rupiah sebetulnya sudah terjadi sejak akhir 2013. Dan bila tahun 2011 dijadikan titik berangkat, saat ini depresiasi rupiah sudah mencapai 50 persen, menurut Ekonom Samuel Sekuritas, Rangga Cipta.
Anehnya, (atau untungnya?) kendati nilai tukar rupiah terus anjlok, terutama terhadap dolar AS, masyarakat terlihat tidak panik. Paling tidak demikianlah yang tampak di permukaan. Seakan-akan pelemahan rupiah tidak mempengaruhi daya tahan ekonomi mereka.
Hal ini bahkan diyakini oleh sementara politisi, termasuk di antaranya Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPR RI, Olly Dondokambey. Menurut dia, pelemahan kurs rupiah terhadap dolar AS tidak berpengaruh besar terhadap rakyat di lapisan bawah. Rakyat, terutama yang hidup di pedesaan, kata dia, masih memiliki daya beli untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
“Saya kira di desa rata-rata tidak terpengaruh dengan kurs ini. Di desa hanya berpikir dapat sembako sesuai pendapatan mereka. Intinya masyarakat kecil mampu membeli. Kita punya pengalaman krisis tahun 1997. Waktu itu krisis belum terpengaruh. Mereka tidak pernah risau dengan naik turunnya dolar,” kata dia, sebagaimana dikutip oleh sejumlah media (29/9).
Reaksi ketidakpuasan terhadap anjloknya nilai tukar rupiah sejauh ini masih terbatas pada kehebohan di dunia maya. Para netizen yang umumnya kalangan kelas menengah, telah membanjiri akun-akun mereka dengan kritik maupun keluhan terutama kepada pemerintah. Dan perlu dicatat, ketimbang keluhan atas dampak dari anjloknya nilai tukar rupiah terhadap kehidupan mereka, kritik maupun keluhan itu lebih banyak bernada kecaman kepada dan menyalahkan pemerintah.
Menurut The Establishment Post, yang melaporkan fenomena ini beberapa pekan lalu, keluhan utama atas anjloknya rupiah lebih terbatas pada beberapa kelompok kelas menengah dan importir yang secara langsung dipengaruhi oleh penguatan dolar. "Mayoritas orang Indonesia bagaimanapun, adalah jauh dari dalam keadaan panik," tulis laporan The Establishment Post.
Tidak Panik karena Tidak Paham
Apakah betul ketidakpanikan itu karena anjloknya rupiah tidak mempengaruhi kehidupan mereka?
Kelihatannya tidak. Ketidakacuhan pada anjloknya rupiah, tampaknya lebih karena ketidakpahaman apa yang terjadi. The Estabilishment Post mewawancarai Ade Nina, seorang ibu rumah tangga di wilayah Jakarta. Ia mengatakan bahwa dia menyadari melemahnya rupiah dan dia juga mengatakan perkembangan tersebut tidak menyangkut dirinya.
"Kami masyarakat berpenghasilan rendah tidak berpikir tentang hal-hal seperti itu," katanya kepada The Establishment Post.
Dia menjelaskan bahwa banyak orang, bahkan mereka yang berpendidikan, tidak benar-benar akrab dengan istilah 'rupiah melemah,’ atau ‘dolar yang kuat’ dan implikasinya dengan tepat.
Satu-satunya hal yang orang peduli, kata dia, adalah bila harga makanan dan kebutuhan dasar naik. (Dan terimakasih pada harga-harga, yang bulan September lalu mengalami deflasi, sehingga ada alasan untuk mengatakan tekanan harga sudah mulai reda). Meskipun beberapa komoditas harganya telah meningkat sebagai akibat langsung dari rupiah lemah, Ade Nina mengatakan masyarakat tidak mengaitkan kenaikan harga dengan penurunan nilai tukar.
"Ya harga sudah naik, tapi itu telah terjadi beberapa kali tahun ini," katanya.
Media Tutup Mata?
Rupiah yang sudah mencapai posisi terendah dalam dua dekade, bukan hanya tidak diacuhkan oleh ibu rumah tangga seperti Ade Nina. Media juga tampaknya tidak terlalu serius mengulasnya dengan mendalam. Menurut The Establishment Post, nilai tukar belum menjadi topik yang secara umum dipilih oleh media untuk diulas secara mendalam.
Laporan tentang rupiah cenderung berfokus pada aspek yang sangat teknis, sehingga tidak dapat menjangkau orang-orang seperti Nina. Lagipula, ketimbang mengulas rupiah, media mainstream lebih mengarahkan sumber dayanya untuk meliput cerita yang lebih populer seperti korupsi dan konflik politik.
"Kami melihat satu saluran berita yang dimiliki oleh oposisi dari pemerintah menjadi agresif dalam melaporkan tentang rupiah, sementara saluran lain yang dimiliki oleh pendukung Jokowi tidak membuat masalah itu sebagai berita besar," kata Aprilian Fajar, karyawan pemasaran di sebuah perusahaan swasta.
Fajar menambahkan bahwa media yang melaporkan masalah ini tidak menggali cukup dalam untuk memberikan laporan yang akurat tentang apa yang sebenarnya terjadi dengan ekonomi yang disebabkan oleh rupiah jatuh.
Baru Panik Setelah Terjadi PHK
Anjloknya nilai tukar rupiah baru dianggap penting dan dirasakan sebagai krisis manakala terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Sayangnya, sampai beberapa bulan lalu tidak banyak media yang mengaitkan hal ini. Padahal hal ini benar-benar riel, seperti yang dilihat juga oleh Aprilian.
Aprilian mengatakan perusahaannya telah mengambil langkah-langkah drastis dalam hal karyawannya, seperti mengurangi jam kerja, sebagai akibat dari nilai tukar yang mengerikan. Dan ia percaya banyak perusahaan juga mulai mengambil langkah-langkah serupa. Perkembangan tersebut, kata dia, belum tersentuh oleh media dan oleh karena itu tidak diketahui oleh publik.
Dia percaya bahwa sikap dan reaksi masyarakat terhadap ekonomi dalam beberapa minggu atau beberapa bulan mendatang akan sangat ditentukan oleh bagaimana perkembangan yang disajikan oleh media.
Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) sejak bulan lalu sudah mewanti-wanti tentang kemungkinan PHK sebagai dampak lanjut dari pelemahan nilai tukar rupiah. Dalam konferensi pers yang teratur mereka lakukan, KSPI menyerukan perhatian publik tentang isu-isu yang berkaitan dengan hak-hak pekerja yang merasa telah dilanggar oleh pemilik usaha.
Ketua KSPI, Muhammad Iqbal, mengatakan ada kecenderungan gelombang PHK massal akan terjadi karena rupiah yang lemah dan perlambatan ekonomi. Berdasarkan pengamatannya, tren ini akan terus berlanjut.
“Menurut data yang ada pada kami, jumlah tenaga kerja yang mengalami PHK di atas 100 ribu pekerja,” kata Iqbal.
Walau tidak sedramatis itu, organisasi buruh saingan dari KSPI, yaitu Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), juga menyatakan hal serupa. Menurut KSPSI, orang yang terkena PHK hingga 30 September 2015 mencapai 62 ribu lebih.
Yang paling banyak jadi korban adalah karyawan industri di Jawa Timur . Antara lain di sektor sektor tembakau, rokok, makanan dan minuman (RTMM) sebanyak 23.014 orang, sektor logam, elektronik, mesin (LEM) sebanyak 1.245 orang, dan sektor tekstil, sandang dan kulit (TSK) sejumlah 250 orang.
Sementara menurut data Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, jumlah yang kehilangan pekerjaan mencapai 43 ribu orang per September. Angkaini naik sekitar 62% dari 26.506 orang per Agustus 2015. Empat sektor penyumbang terbesar PHK yang meliputi garmen, industri sepatu, elektronik, dan batu bara.
Angka PHK yang terus menggelembung diakui Menteri Tenaga Kerja (Menaker) Hanif Dhakiri sebagai dampak pelemahan ekonomi yang menghantam sektor padat karya dan komoditas seperti batu bara. Para pengusaha melakukan PHK dengan alasan seragam yakni pengaruh bahan baku impor yang mahal karena dibeli dalam mata uang dolar Amerika Serikat (AS) yang terus menekan rupiah, dan harga sejumlah komoditas terutama batu bara yang menjadi andalan ekspor Indonesia semakin jatuh.
Sejumlah pemerintah daerah telah melaporkan angka PHK ke Kemenaker di antaranya DKI Jakarta 1.546 orang, Banten 7.294 orang, Jawa Barat 7.779 orang, Jawa Tengah 3.370 orang, Jawa Timur 5.630 orang, dan Kalimantan Timur 10.721 orang.
Pada saat yang sama, pencairan Jaminan Hari Tua (JHT) telah mendekati angka 724.000 orang hingga 28 September 2015. Angka tersebut dipaparkan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) yang dikutip dari data BPJS Ketenagakerjaan. Menurut data, untuk periode 1 hingga 28 September 2015 angka pencairan JHT mencapai 210.000 orang dan 27.000 di antaranya masuk dalam kategori korban PHK dan lainnya tercatat mengundurkan diri dari perusahaan tempat bekerja.
Berjaya di Kota Jakarta Pusat, Paduan Suara SDK 1 PENABUR Be...
Jakarta, Satuharapan.com, Gedung Pusat Pelatihan Seni Budaya Muhammad Mashabi Jakarta Pusat menjadi ...