RUU Advokat Belum Menjamin Profesionalitas, Independensi, dan Akuntabilitas Advokat
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Pada 12 Juli 2013, Rapat Paripurna DPR menyetujui RUU Advokat menjadi RUU Usul Inisiatif DPR. Dari naskahnya terlihat jelas bahwa RUU Advokat bukan merupakan RUU perubahan, melainkan RUU penggantian terhadap Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat atau selanjutnya disingkat UU Advokat. Demikian keterangan yang disampaikan Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia (PSHK) pada hari Kamis (1/8) melalui Ronald Rofiandri.
RUU Advokat oleh DPR diharapkan menjadi pintu masuk bagi pembentukan profesi advokat yang mandiri, profesional, dan bertanggung jawab dalam menjalankan profesinya sebagai profesi yang mulia, officium nobile. Namun, apabila ditinjau lebih dalam, RUU Advokat belum sama sekali menjamin profesionalitas, independensi, dan akuntabilitas profesi advokat.
Ronald Rofiandri menyoroti beberapa hal terkait itu.
Pertama, pembentukan Dewan Advokat Nasional (DAN). Tujuan pembentukan DAN mengarah kepada terbentuknya suatu bar council sebagai atap dari organisasi-organisasi advokat yang bertugas untuk meningkatkan pengetahuan, kompetensi, dan kemahiran serta menetapkan standardisasi pendidikan advokat. Namun, masih menjadi pertanyaan sejauh mana kemampuan DAN dalam mengkonsolidasikan organisasi-organisasi advokat. Di tengah banyak dan besarnya kewenangan organisasi advokat yang ada termasuk tidak adanya larangan advokat yang telah diberhentikan menjadi anggota organisasi advokat lain, maka efektivitas dan pengawasan DAN masih diragukan akan berjalan optimal. Selain itu, mekanisme pemilihan calon anggota DAN melalui DPR atas rekomendasi Presiden, termasuk pembiayaan yang diperoleh dari APBN, rentan terhadap kemandirian advokat.
Kedua, perlindungan klien atau penerima jasa hukum. Perlindungan klien dalam RUU Advokat dapat dikatakan minim sekali. Misalkan, tidak adanya pengaturan mengenai transparansi komponen biaya jasa hukum. Hanya terdapat klausul mengenai hak advokat untuk mendapatkan honorarium berdasarkan kesepakatan dengan klien. Selain itu juga, tidak terdapat pengaturan mengenai mekanisme pengaduan oleh klien terhadap advokat yang bertindak tidak profesional (unprofessional conduct).
Ketiga, penegasan status dan hak advokat. UU Advokat menyatakan bahwa advokat adalah penegak hukum. Sementara dalam RUU Advokat kedudukan advokat adalah sebagai pilar penegakan hukum. Penegasan terhadap status ini berhubungan dengan hak advokat. Dalam RUU Advokat dinyatakan bahwa salah satu hak advokat adalah memperoleh informasi, data, dan dokumen lain, baik dari instansi pemerintah maupun pihak lain, untuk kepentingan pembelaan kliennya. Perlu kehati-hatian dan kecermatan dalam merumuskan lebih lanjut mengenai hak advokat sebagai penegak hukum ini. Hak yang identik dengan kewenangan penegak hukum ini membuka celah besar advokat menjadi perantara dari suatu tindak pidana (crimes intermediary). Selain itu, hak advokat ini juga dapat bertentangan dengan undang-undang lainnya misalnya UU Perbankan.
Keempat, eksistensi advokat asing. UU Advokat mendelegasikan pengaturan tentang advokat asing ke dalam Peraturan Menteri, sedangkan RUU Advokat menempatkannya melalui Peraturan Pemerintah (PP). Perubahan jenis dan bentuk produk hukum ini tidak solutif terhadap akar permasalahan. Kehadiran dan bentuk kerjasama antara kantor hukum asing dengan Indonesia belum diatur sama sekali. Pengaturan yang minim ini juga belum memuat mengenai peran, tugas, dan fungsi dari pihak-pihak yang memiliki wewenang terhadap keberadaan advokat asing dan kantor hukum asing.
Editor : Yan Chrisna
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...