RUU PUB: Harapan Perlindungan?
SATUHARAPAN.COM – Ada niat mulia yang patut kita apresiasi. Menteri Agama Lukman Hakim, akhir-akhir ini tengah sibuk menggodok Rancangan Undang-Undang Perlindungan Umat Beragama (RUU PUB). Seperti dilansir sejumlah media, RUU PUB ini ditargetkan selesai April 2015 mendatang. Artinya sekitar empat bulan lagi RUU PUB itu harus benar-benar sudah matang dan dikonsumsi publik.
Keinginan membuat RUU PUB merupakan rumusan hasil forum diskusi Kementerian Agama pada 28 Oktober 2014 lalu. Forum itu juga melibatkan sejumlah tokoh dari beberapa agama di Indonesia. Di antaranya tokoh agama Islam, Kristen, Buddha, Hindu, serta Konghucu. Dengan kata lain, proses demokrasi dalam RUU PUB ini telah terjadi, meski diwakilkan.
Seperti yang diungkap Lukman Hakim RUU PUB merupakan pengganti UU Nomor 1 PNPS Tahun 1965 yang dinilai sudah tak sesuai dengan perkembangan zaman. Adapun gagasan pokoknya adalah memastikan perlindungan umat beragama, terutama dalam dua hal: kemerdekaan memeluk agama di satu pihak dan kemerdekaan menjalankan agama sesuai keyakinan yang dipeluk.
Jaminan itu sebenarnya sudah ditemukan dalam konstitusi UUD 45. Hanya saja belum ada UU turunan yang mengimplementasikan jaminan tersebut. Mungkin itu sebabnya di tingkat Nasional masih ada peraturan perundang-undangan yang diskriminatif. UU PNPS 1965, UU Nomor 24 Tahun 2013 Tentang Administrasi Kependudukan yang masih menggunakan istilah “agama yang belum diakui”. Peraturan Bersama No. 9 Tahun 2006 yang mengatur pendirian rumah ibadah juga menjadi contohnya. RUU PUB harus mampu menjawab ini.
Yang memesona dari RUU PUB ini ialah adanya singgungan soal kelompok aliran kepercayaan. Sebagaimana kita tahu, seperti Lukman Hakim katakan, akhir-akhir ini ada perilaku diskriminatif terhadap aliran kepercayaan di Indonesia. Terlepas dari itu, nampaknya ini langkah awal yang baik bagi Kemenag dalam mengatasi persoalan keagamaan di tanah air.
Sebetulnya keinginan kementerian agama untuk menginisiasi lahirnya Undang-Undang seperti ini sudah ada sejak lama meski dengan nama yang berbeda. Tahun 2010 lalu dalam Rapat Kerja Komisi VIII DPR dengan Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri disepakati percepatan pembahasan RUU Kerukunan Umat Beragama (KUB). Termasuk Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 tentang tempat ibadah yang disepakati untuk dinaikkan statusnya menjadi Undang-Undang.
Jauh sebelum itu. Tahun 2003, meski itu tak diakui, sudah beredar RUU KUB yang diduga dikeluarkan Litbang Departemen Agama (sebelum jadi Kemenag). Pada Agustus 2011, beredar pula dokumen naskah akademik dan draf RUU KUB dari Baleg DPR yang isinya ada kemiripan dengan RUU KUB Litbang Kemenag 2003. Sayangnya, dari sekian gagasan tak satu pun yang tuntas menjadi undang-undang. Selalu saja berhenti di tengah jalan. Atau sekadar memberi pesan bahwa pemerintah merespon potret buram kerukunan beragama.
Kemenag mesti sungguh-sungguh untuk merealisasikan gagasan mulia itu. Pasalnya, sepanjang tahun 2014, sebagaiana dirilis The Wahid Institute, ada 154 pelanggaran kebebasan beragama. Aktor pelanggaran justru berasal dari aparat Negara, khususnya kepolisian dan pemerintah kabupaten/kota. Kasusnya antara lain berupa larangan atau penyegelan rumah ibadah, kriminalisasi atas dasar agama, dan diskriminasi atas dasar agama.
Jika menilik fakta di atas, RUU PUB gagasan Lukman Hakim akan punya arti penting jika ada semangat sungguhan untuk melindungi warga negara dalam beragama dan berkeyakinan. Ini penting ditegaskan. Dalam praktiknya, istilah melindungi sering dibelokan jadi membelenggu dan membatasi. Dalam RUU KUB misalnya, paradigma mengatur dan mengontrol lebih dominan dalam perbincangan. Dengan begitu dapat dikatakan bahwa RUU KUB tak bisa lepas dari kepentingan orang atau kelompok yang memegang kekuasaan.
Ini menunjukan bahwa hukum yang dirumuskan para legislator atau aparat negara sesungguhnya sebuah pencurian hak. Yakni hak menentukan apa yang adil. Sedangkan keadilan yang ditawarkan RUU KUB ini masih menempatkan masyarakat sebagai objek yang perlu diintegrasikan, dikontrol dan direkayasa. Maka tak heran, istilah mengatur dan melindungi kadang-kadang manunggal dalam keadilan. Dalam sejarah, keadilan acapkali menggerakan lahirnya hukum, tapi hukum tak pernah sama dengan keadilan.
Di Indonesia, hukum disebut undang-undang. Dan Undang-undang adalah sebuah konvensi, sebuah pegangan yang disepakati secara umum tapi sekaligus tak bisa lepas dari dialek dan aksen yang berbeda-beda di suatu saat, di suatu tempat. Banyaknya undang-undang bukan jaminan terciptanya keadilan. Gagasan mulia RUU PUB Kementerian Agama itu akan sia-sia jika para penggagasnya tak mau mengakui hukum secara adil.
Penulis adalah mahasiswa dan penggiat Forum Piramida Circle, Jakarta
Berjaya di Kota Jakarta Pusat, Paduan Suara SDK 1 PENABUR Be...
Jakarta, Satuharapan.com, Gedung Pusat Pelatihan Seni Budaya Muhammad Mashabi Jakarta Pusat menjadi ...