Saat Mengajarkan HIV-AIDS, Harus Melihat Konteks
ABURI, SATUHARAPAN.COM – Pendeta dan anggota dari Jaringan Internasional Pemimpin Agama yang Hidup dengan atau Secara Pribadi Terkena HIV atau AIDS (International Network of Religious Leaders Living with or Personally Affected by HIV or AIDS / INERELA), Phumzile Mabizela, menekankan dalam memahami tentang persebaran HIV (Human Immunodeficiency Virus) dan penyakit AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) di tingkat keluarga, maka kepala keluarga harus latar belakang konteks dan isu yang berkembang di negara tersebut.
Selain itu, Mabizela mengatakan kepala keluarga, baik ayah maupun ibu, apabila mengajarkan tentang seksualitas harus memisahkan antara hal yang bersifat religi dan hal yang bersifat jasmani.
“Kira-kira itu hanya langkah awal memberi pengertian kepada anak-anak dan remaja,” kata Mabizela, seperti diberitakan situs resmi Dewan Gereja Dunia, hari Selasa (5/7).
Berbicara dalam lokakarya yang diselenggarakan INERELA bekerja sama dengan Bagian Inisiatif dan Advokasi Ekumenis HIV-AIDS Dewan Gereja Dunia (World Council of Churches Ecumenical HIV and AIDS Initiatives and Advocacy/ WCC-EHAIA), wilayah Afrika Barat, di Aburi, Ghana, Mabizela menjelaskan pemisahan hal yang bersifat religi dan jasmani penting dalam rangka menciptakan ruang yang aman untuk dialog antara istri dan suami, orang tua dan anak-anak.
“Komunikasi sangat penting untuk membangun masa depan,” kata Mabizela.
Dia menambahkan dalam lokakarya tersebut sebagian besar peserta menganggap penting peran perempuan dalam menciptakan ruang yang aman bagi diri mereka sendiri dan anak-anak mereka. “Ruang yang privat untuk mendiskusikan peran gender dan isu-isu yang terkait,” kata dia.
Mabizela menekankan, dengan merangkum berbagai pendapat peserta lokakarya, ada bukti langsung bahwa ada kebutuhan untuk sosialisasi pendidikan seks, budaya yang sesuai usia untuk orang tua, remaja, anak-anak dan remaja untuk mengurangi infeksi menular seksual, termasuk HIV di sejumlah negara Afrika.
Selain itu, menurut Mabizela, di kawasan Afrika perlu keterbukaan guna menghapus paham patriarki dan diskriminasi terhadap perempuan.
Dalam lokakarya tersebut juga digelar latihan kepemimpinan, dalam rangka menciptakan pemimpin perempuan yang diharapkan menciptakan masyarakat yang keluar dari stigma negatif kepada OHIDA.
Dalam lokakarya tersebut dihadiri banyak pemimpin dan anggota Gereja Anglikan, Methodist, Presbyterian, Pantekosta, dan Advent Hari Ketujuh di Afrika.
Dalam kesempatan yang sama koordinator WCC EHAIA, Ayoko Bahun Wilson mengatakan semua perempuan di Afrika ingin anak-anak yang mereka lahirkan terbebas HIV.
“Mereka ingin anak-anak merasa aman pergi ke sekolah dan memiliki masa depan yang cerah, dan tidak tersudutkan dengan anggapan anak tercela bila memiliki orang tua OHIDA (Orang Hidup dengan AIDS, Red),” kata Wilson.
Selain itu, menurut Wilson, banyak perempuan yang ingin memiliki anak yang harus merasa nyaman beraktivitas dimanapun juga, sehingga di jalan raya tidak takut menjadi korban perkosaan.
“Sebenarnya mereka (peserta lokakarya, Red) mendambakan komunitas dan masyarakat mereka menjadi tempat suka cita, damai sejahtera, kebebasan dan keadilan,” kata Wilson.
Wilson, dengan merangkum pendapat peserta lokakarya, melihat masyarakat Afrika perlu terus didorong berpikiran terbuka terhadap seksualitas yang tidak terbelenggu budaya dan religi setempat.
Wilson menyebut bahwa pembicaraan tentang alat kontrasepsi merupakan salah satu hal yang paling banyak dibicarakan di acara tersebut.
“Mengingat budaya dan agama sering menjadi penghalang perempuan dan anak-anak yang ingin mendapat pendidikan dan pemberdayaan seputar seksualitas di Afrika," kata Wilson. (oikoumene.org).
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Daftar Pemenang The Best FIFA 2024
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Malam penganugerahan The Best FIFA Football Awards 2024 telah rampung dig...