SAFEnet Desak Pemerintah Hentikan Persekusi The Ahok Effect
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Persekusi atau tindakan pemburuan sewenang-wenang terhadap seorang atau sejumlah warga oleh segelintir pihak atas nama penghinaan terhadap ulama dan agama ditengarai semakin meluas dan merata di berbagai wilayah Indonesia.
Persekusi ini muncul sebagai The Ahok Effect, yakni sejak dipidanakannya Basuki Tjahaja Purnama/Ahok ke pengadilan dengan pasal penodaan agama, muncul kenaikan drastis pelaporan menggunakan pasal 28 ayat 2 UU ITE.
Setelah Ahok divonis bersalah, muncul tindakan persekusi atau pemburuan atas akun-akun yang dianggap menghina agama/ulama di media sosial.
Hal ini, menurut pengamatan Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet - sebuah jaringan relawan kebebasan ekspresi di Asia Tenggara - telah terjadi dan oleh karena itu SAFEnet meminta pemerintah Indonesia mewaspadainya.
"Tindakan persekusi ini sudah menyebar merata di seluruh Indonesia dan perlu menjadi perhatian serius karena tingkat ancamannya yang nyata," demikian siaran pers SAFEnet oleh Damar Juniarto, Regional Coordinator SAFEnet.
Menurut SAFEnet, persekusi ini dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:
1. Lewat Facebook Page, admin mentrackdown orang-orang yang menghina ulama/agama
2. Menginstruksikan massa untuk memburu target yang sudah dibuka identitas, foto, alamat kantor/rumah
3. Aksi gruduk ke kantor/rumahnya oleh massa
4. Dibawa ke polisi dikenakan pasal 28 ayat 2 UU ITE atau pasal 156a KUHP
SAFEnet berpendapat Indonesia adalah negara hukum. Oleh karena itu seharusnya persekusi ini tidak dilakukan karena bila mengacu pada proses hukum yang benar (process due of law) apabila menemukan posting menodai agama atau ulama langkah-langkah yang ditempuh bukan persekusi. Langkah yang harus ditempuh adalah:
1. Melakukan somasi; 2. Melakukan mediasi secara damai, bukan digruduk massal; 3. Bila mediasi tidak berhasil, barulah melaporkan ke polisi; 4. Mengawasi jalannya pengadilan agar adil.
SAFEnet mengkhawatirkan bila aksi persekusi ini dibiarkan terus-menerus maka akan menjadi ancaman serius pada demokrasi. Proses penegakan hukum kemudian akan dilakukan berdasarkan tekanan massa (mobokrasi); tidak ada kepatuhan hukum padahal Indonesia adalah negara hukum; tidak terlindunginya warga negara karena absennya asas praduga tak bersalah; terancamnya nyawa target karena tindakan teror; Bila dibiarkan akan mengancam kebebasan berpendapat secara umum.
Salah satu contoh persekusi yang telah terjadi adalah pada diri seorang dokter di Solok, Sumatera Barat, yakni dr. Fiera Lovita.
Ia mengatakan keselamatannya terancam dan ingin meninggalkan Solok setelah ia mendapat persekusi dari kelompok ormas tertentu.
Ancaman itu diperolehnya setelah dia mengunggah status di laman Facebooknya yang isinya mengherankan sikap seorang ulama yang menurutnya melarikan diri dari kasus dugaan pelanggaran Undang-undang Pornografi.
Perempuan berusia 40 tahun ini kemudian mengaku didatangi orang-orang yang mengaku dari FPI. Ia dipaksa mencabut status FB-nya dan meminta maaf. Ironisnya, kendati ia sudah meminta maaf dan menghapus status FB yang dinilai menghina ulama, bullying dan ancaman tetap diarahkan kepada dirinya, lewat telepon maupun lewat dunia maya.
SAFEnet mendesak Pemerintah Indonesia dan secara khusus Kapolri untuk melakukan penegakan hukum yang serius pada tindakan persekusi atau pemburuan sewenang-wenang yang dilakukan segelintir pihak ini
SAFEnet juga mendesak Menkominfo untuk melakukan upaya yang dianggap perlu untuk meredam persekusi memanfaatkan media sosial ini karena melanggar hak privasi dan mengancam kebebasan berekspresi.
SAFEnet meminta Pemerintah Indonesia untuk memberi perlindungan kepada orang-orang yang menjadi target dari persekusi ini karena setiap orang harus dijamin untuk dilindungi dengan asas praduga tak bersalah dan terhindar dari ancaman yang membahayakan jiwanya.
Editor : Eben E. Siadari
Otoritas Suriah Tunjuk Seorang Komandan HTS sebagai Menteri ...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Penguasa baru Suriah telah menunjuk Murhaf Abu Qasra, seorang tokoh terkem...