Saparan Bekakak 2015: Merawat Tradisi Meruwat Alam
YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Pada tahun 2015, Saparan Bekakak yang diselenggarakan setiap bulan Sapar (penanggalan Jawa) bersama Topo Bisu Mubeng Beteng ditetapkan pemerintah sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) dari Yogyakarta.
Saparan Bekakak sudah berlangsung sejak Hamengku Buwana I pindah dari Pesanggrahan Ambarketawang menempati Keraton Ngayogyakarta yang telah selesai dibangun di kawasan hutan Beringan. Secara administratif, Pesanggrahan Ambarketawang saat ini berada di Dusun Tlogo Desa Ambarketawang Kec. Gamping Sleman.
Ritual Saparan Bekakak merupakan rangkaian do'a tolak balak sekaligus menghormati Wirasuta dan isterinya yang telah setia melayani HB I selama berada di pesanggrahan. Setelah kepindahan HB I, dalam sebuah bencana longsornya Gunung Gamping di sekitar pesanggrahan, telah mengubur Ki Wirasuta dan istrinya. Pada tahun-tahun berikutnya, bencana sering terulang pada bulan Sapar. Untuk menghindari terulangnya bencana, HB I menitahkan abdi keraton untuk membuat Saparan Bekakak setiap hari Jumat bulan Sapar.
Landak, Burung Gemak, Merpati, dan sepasang pengantin
Upacara Saparan Bekakak 2015 dimulai sejak Kamis (26/11) malam dengan pengambilan air suci Donojati dari sumur di pesanggrahan untuk dibawa menuju balai desa bersama dengan sepasang pengantin sebagai simbol Ki-Nyai Wirasuta. Bersama air dan sepasang pengantin, dibawa juga hewan piaraan Wirasuta yang selamat saat terjadinya longsor Gunung Gamping yakni: landak, burung puyuh (gemak), dan merpati putih (dara pethak). Dengan dikawal bregodo, bekel menyerahkan kelengkapan acara Saparan Bekakak kepada demang (kepala desa) Ambarketawang untuk diinapkan.
Di balai desa disiapkan tumpeng lengkap dengan ingkung ayam dan nasi uduk dalam takir untuk dimakan bersama oleh bregodo (prajurit) yang mengawal setelah dilakukan do'a bersama.
Pada saat pasangan pengantin, bekakak, dan kelengkapan acara lainnya diinapkan, di pendopo balai desa digelar wayang kulit semalam suntuk. Pada Saparan Bekakak 2015, dalang Mas Bayu Aji Nugroho memainkan lakon wayang kulit Sasaji Raja Suyo.
Setelah menginap semalam di balai desa, siang hari selepas sholat Jum'at (27/11) prosesi upacara penyembelihan pengantin dilakukan. Pasangan pengantin dilepas dari lapangan Ambarketawang menuju Gunung Gamping untuk dilakukan prosesi penyembelihan.
Bekakak digambarkan sebagai genderuwo penunggu Gunung Gamping bernama Ki-Nyai Poleng. Sementara pasangan pengantin tersebut adalah boneka yang dibuat dari tepung yang sudah dimasak dengan diisi gula merah cair sebagai simbol pengantin yang dikorbankan agar Bekakak tidak membuat bencana ataupun pageblug. Setelah disembelih, pasangan pengantin beserta tumpeng dan gunungan menjadi rebutan pengunjung berharap mendapatkan berkah atas kelestarian alam dan tidak terjadi bencana di masa datang.
Frans Haryono, ketua pelaksana Saparan Bekakak 2015, dalam wawancaranya menjelaskan bahwa saat ini Saparan Bekakak telah berubah menjadi upacara tradisi dari sebelumnya ritual reliji. Perubahan itu terjadi saat para penambang gamping di sekitar wilayah Gamping mulai digantikan oleh orang dari luar Gamping dan sempat vakum dari kegiatan Saparan Bekakak. Penambangan yang terjadi telah merusak bentang alam Gunung Gamping menjadi tempat yang rata. Pada masanya, dari puncak Gunung Gamping HB I bisa melihat langsung ke arah hutan Beringan yang sedang dilakukan pembangun keraton.
Gunung Gamping, kawasan penyangga kehidupan
Penambangan batu gamping di wilayah Gunung Gamping pasca ditinggalkan HB I menempati keraton Ngayogyakarta menyisakan cekungan-cekungan menyerupai gua dan rentan longsor. Bisa jadi, kondisi inilah yang menyebabkan runtuhnya Gunung Gamping dan menimbun Ki-Nyai Wirosuta.
Dari cerita yang berkembang di masyarakat, Dusun Tlogo tempat dilakukan prosesi penyembelihan pasangan pengantin Bekakak pada masa lalu adalah wilayah yang berlimpah air (telaga). Pesanggrahan Ambarketawang saat ini ditetapkan sebagai cagar alam (CA) dan taman wisata alam (TWA) dibawah pengelolaan BKSDA Yogyakarta.
Selain untuk melindungi gunung gamping yang masih tersisa, kawasan Gunung Gamping yang didominasi tanah dengan kandungan gamping selain menjadi lumbung air saat masih bagus penutupan vegetasi dan bentang alamnya sekaligus rentan terhadap bencana saat terjadi alih fungsi lahan. Adanya upacara Saparan Bekakak yang diyakini masyarakat setempat masih ditunggui Bekakak sesungguhnya merupakan kearifan lokal untuk melestarikan lingkungannya dan tidak merusaknya.
Bagaimanapun, Ambarketawang dan desa-desa di sekitarnya berada di jalur strategis pengembangan wilayah Yogyakarta. Alih fungsi lahan dan kepemilikan di masa datang menjadi keniscayaan yang tidak terhindarkan. Bagaimana Saparan Bekakak mampu menjaganya? Waktu yang akan berbicara.
KPK Geledah Kantor OJK Terkait Kasus CSR BI
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah kantor Otoritas J...