Sastrawan Malaysia Faisal Tehrani: Dunia Sedang Panas
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Sastrawan kritis Malaysia Faisal Tehrani menyebut situasi dunia saat ini sedang panas akibat terorisme, pelanggaran hak asasi manusia, dan kebangkitan kelompok konservatif. Hal ini dikatakannya dalam wawancara di sela-sela acara ASEAN Literary Festival 2017, Kamis (3/8) di Jakarta.
“Dunia sekarang tengah panas. Di mana-mana juga. Api itu datang di beberapa tempat. Ini bukan tentang jerubu. Kita melihat kebangkitan kelompok konservatif di Barat, persoalan hak asasi di Malaysia. Orang Malaysia yang melakukan pemboman di Bali. Orang Malaysia yang dilawan di Marawi, Filipina, ” kata sastrawan bernama asli Mohammad Faizal Musa ini yang sejumlah bukunya dilarang di negaranya.
Faisal Tehrani berpendapat bahwa sastrawan mempunyai tugas untuk meneriakkan situasi masyarakat hari ini. Dia membandingkan penulis Asia Tenggara pada masa kolonial meneriakkan situasi masyarakat terjajah. Sementara situasi berbeda terjadi setelah merdeka. Mereka melawan orang sebangsanya yang korup. Berjuang sebagai penulis tetapi perjuangan menjadi seorang sastrawan tidak mudah.
Pada 2015 kantor berita Malaysia, Bernama, memberitakan empat buku Faisal Tehrani dilarang Kementerian Dalam Negeri Malaysia. Seperti Sebongkah Batu di Kuala Berang, Karbala, Tiga Kali dalam Seminggu, dan Ingin Menjadi Nasrallah. Alasannya karena telah ditemukan unsur-unsur Syiah dalam buku-buku itu dan bertentangan dengan ajaran Sunnah Wal Jamaah.
Pelarangan buku ini menyulitkannya sebagai sastrawan. Selain jumlah pembacanya yang terbatas, pembaca sastra di Malaysia terbagi antara yang berbahasa Inggris dan berbahasa Melayu.
“Di Malaysia kalau buku itu dilarang menutup kesempatan. Buku-buku kita ditarik dari rak perpustakaan. Karena itu peluang untuk menerbitkan semakin juga kecil. Bila terjadi pelarangan, kesulitannya ialah kita menghilang. Karena pembaca kita sedikit. Itu kesulitan paling jelas yang saya rasakan. Jadi penutupan peluang itu. Padahal saya menulis untuk bangsa saya. Untuk masyarakat saya,” Faisal Tehrani.
Dia melanjutkan, ”Karena itu saya melawan pelarangan buku saya. Saya bawa ke pengadilan untuk judicial review. Saya minta semacam penilaian untuk pembatalan keputusan.”
Faisal Tehrani menyebutkan dia harus melakukan itu walau harus membayar mahal pengacara.
“Karena saya percaya, jika buku saya dapat dilarang. Maka ada banyak lagi buku yang dilarang. Jadi saya bawa ke pengadilan. Dengan harapan bahwa hakim akan tidak melarang dan dengan itu akan menjadi preseden. Sehingga ini menjadi rujukan dalam kasus-kasus pengadilan yang akan datang,” kata dia.
Isu Penghujatan dalam Sastra
Faisal Tehrani percaya akan demokrasi dan kebebasan berekspresi. Maka ketika ada karya sastra yang dituding berisi penghujatan, dia percaya bahwa hanya sastrawan sendiri yang dapat menilai dan mengenali karya sastranya.
Menurut dia hanya penulis yang tahu karyanya, kata-katanya menghujat atau tidak. Maksud saya hanya penulis yang bisa mendefinisikan hujatan dalam kata-kata.
"Para ulama, mereka, tidak bisa membatasi kita," kata dia.
Dia berpendapat persoalan karya sastra penghujatan terjadi diakibatkan cara menafsir terhadap karya sastra.
“Sastra itu ada banyak bagian. Jadi tidak semestinya apa yang dinyatakan dalam bagian pertama itu adalah yang dimaksudkan dalam bagian kedua. Kadang-kadang dalam sastra ada dua paragraf yang diperlukan untuk menjadi 400 halaman sebuah novel. Karena itu saya katakan hanya yang dibenarkan menilai itu berisi penghujatan atau tidak hanya penulis,” kata Faisal Tehrani.
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Prasasti Batu Tertua Bertuliskan Sepuluh Perintah Tuhan Terj...
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Prasasti batu tertua yang diketahui yang bertuliskan Sepuluh Perintah Tuha...