Satire Korupsi Ala Teater Gandrik
YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM -- Peringatan Hari AntiKorupsi Internasional (HAKI) yang dihelat di Yogyakarta, salah satunya diisi dengan pertunjukan kesenian, berupa penampilan dari Teater Gandrik pada Selasa (9/12) malam di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri (PKKH). Teater Gandrik menampilkan sebuah pementasan yang penuh dengan muatan satire menyoal fenomena korupsi di Indonesia yang berjudul “Tangis”
“Tangis” merupakan pementasan karya Agus Noor berdasarkan dua buah naskah karya almarhum Heru Kesawamurti yang berjudul “Juragan Abiyoso” dan “Tangis”. Laiknya penampilan Teater Gandrik, pementasan kali ini juga sarat dengan kritik tajam dengan bungkus humor segar. Maklum saja, para aktor yang terlibat dalam pementasan ini juga dikenal luas sebagai individu yang kerap melontarkan kritik menyoal situasi bangsa ini, sebut saja Butet Kartaredjasa dan Susilo Nugroho.
Cerita yang disajikan dalam “Tangis” berkisah tentang perilaku korup yang terjadi di perusahaan batik milik juragan Abiyoso (Butet Kartaredjasa). Dikisahkan, salah satu rekanan bisnis juragan Abiyoso yang bernama Muspro tewas gantung diri karena terlilit utang bank. Muspro gantung diri karena terlanjur memenuhi pesanan baju batik dari partai politik hingga pemerintah daerah (pemda), namun para pemesan tersebut tidak membayar alias ngemplang. Merasa beban utang semakin berat, Muspro memutuskan untuk gantung diri.
Tewasnya Muspro menyisakan sejumlah persoalan baru. Perusahaan batik milik juragan Abiyoso terkena imbasnya. Kasak-kusuk di kalangan buruh batik mulai berkembang karena produksi sudah ditingkatkan, namun penjualan berhenti di tengah jalan. Para buruh bahkan menaruh curiga jika Muspro juga mendapat bagian dari proyek pengadaan baju batik tersebut. Situasi di perusahaan juragan Abiyoso menjadi tidak kondusif akibat kasak-kusuk yang semakin membesar.
Di tengah pementasan, sang dalang yang dimainkan oleh Susilo Nugroho mengajak Kabareskrim Komjen Suhardi Alius dan Wakil Jaksa Agung, Andhi Nirwanto untuk naik ke atas pentas. Bersama dengan Butet Kartaredjasa, mereka membahas fragmen dalam pentas “Tangis”.
Menurut Suhardi, indikasi adanya korupsi yang dilakukan oleh Muspro bisa terus diselidiki meskipun yang bersangkutan telah meninggal. Pasalnya, Muspro bisa jadi menjadi saksi kunci suatu perbuatan korupsi yang menyangkut lembaga yang lebih besar, dalam hal ini partai politik maupun pemda yang memesan baju batik.
“Kalau ada koruptor yang mati, kasusnya masih bisa ditelusuri, meskipun bunuh diri. Karena implikasi dari kasus tersebut bisa mengungkap keterlibatan pihak-pihak lain. Jadi penelusuran tidak akan berhenti,” demikian jelas Suhardi.
Di sisi lain, Wakil Jaksa Agung, Andi Nirwanto menanggapi persoalan meninggalnya Muspro melalui dua sisi hukum. Pertama, menurut pasal 77 KUHP, seseorang yang meninggal meskipun sedang tersangkut kasus hukum, maka proses hukum tersebut tidak bisa diteruskan. Kedua, penyelidikan tidak harus mengarah kepada orang yang meninggal karena alat bukti lain masih bisa diselidiki.
“Ada aturan main ketika menyelidiki seseorang. Pasal 77 KUHP menyatakan bahwa orang yang sudah meninggal tidak dapat diteruskan proses hukumnya. Namun di pasal 345 KUHP disebutkan bahwa yang membantu atau menolong orang yang meninggal tersebutlah yang harus diselidiki. Selain itu, penyelidikan juga bisa dilakukan dengan cara lain karena ada alat bukti lain yang bisa diselidiki tidak hanya Muspro, yang jika hidup dalam hal ini akan menjadi saksi,” ujar Andi Nirwanto.
Tak hanya Suhardi dan Andi Nirwanto tokoh yang dihadirkan dalam pementasan Teater Gandrik kali ini. Wakil Ketua KPK, Muhammad Busyro Muqoddas dan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Harry Azhar Azis juga turut berdialog dengan para aktor.
Busyro menyoroti korupsi belakangan ini yang semakin terstruktur, masif, dan sistemik. Wakil Ketua KPK ini menilai bahwa maraknya praktek korupsi, salah satunya, disebabkan oleh korupsi politik sebagai hasil dari Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang penuh dengan politik uang.
“Korupsi pada 15 tahun terakhir mengalami dinamika yang sangat dahsyat, yaitu terstruktur, sistemik, dan masif. Hal ini terjadi, salah satunya, karena proses-proses politik, seperti pilkada yang memakai politik uang. Alhasil, ketika menang, mereka mencari-cari uang. Maka terjadilah korupsi politik yang melibatkan para politikus,” papar Busyro Muqoddas.
Editor : Eben Ezer Siadari
Cara Telepon ChatGPT
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perusahaan teknologi OpenAI mengumumkan cara untuk menelepon ChatGPT hing...