Satu Harapan
Ia tahu di mana tumpuan harapan satu-satunya yang memampukannya hidup.
SATUHARAPAN.COM – Setiap pagi hari saya berjalan kaki menuju ke kantor. Sepanjang jalan saya menemui banyak bunga bermekaran. Entah bunga rumput liar yang tumbuh di tepi selokan, entah bunga hias yang ditanam dalam pot di halaman rumah penduduk. Merah, putih, kuning, oranye, pink. Semua terlihat meriah, cerah, dan segar.
Ketika malam hari saya selesai lembur dari kantor, saya melalui jalan yang sama. Saya masih sempat melirik di mana bunga-bunga cantik yang tadi pagi saya lihat. Mereka masih ada di posisi semula, meski kondisinya lebih layu, mahkotanya mulai keriput dan menggulung. Ah, saya pikir, sama saja seperti saya, kalau malam pulang dari kantor sangat loyo, badan pegal tak karuan.
Pagi datang kembali. Saya menjumpai bunga-bunga itu lagi. Tidak ada satu pun dari mereka yang absen dari pandangan saya. Mereka hadir dengan kemeriahan, kecerahan dan kesegaran yang baru. Entah ke mana bunga layu yang semalam saya lirik.
Ah, ada suara dalam hati saya: ”Bunga yang semalam loyo saja, bisa hadir cerah lagi di pagi harinya, tetapi saya tidak.” Saya juga loyo semalam, tetapi pagi harinya saya masih saja loyo, masih saja mengeluh mengapa hari sudah pagi. Ada sederet protes ”mengapa”, yang intinya hanya wujud pembelaan diri dari jiwa raga saya yang pemalas.
Bunga juga makhluk hidup, yang mengandalkan banyak hal untuk bisa tetap hidup. Cahaya matahari dibutuhkan sebagai lampu sorot keindahan mereka terutama di pagi hari. Air hujan diperlukan untuk meluruhkan debu-debu jalan yang menodai mahkotanya. Kupu-kupu atau lebah madu dirindukan untuk membantu proses penyerbukan. Manusia juga diharapkan membantu menyiangi hama yang mengganggu tanaman itu. Pertanyaannya, sebagai makhluk hidup pasif, bagaimana bunga tahu besok ia masih bisa tampil cantik lagi?
Nyatanya iman saya kalah dengan iman kuntum-kuntum bunga itu. Bunga memang berharap pada banyak hal, tetapi ia tahu di mana tumpuan harapan satu-satunya yang memampukannya hidup: satu harapan itu ada di tangan Sang Khalik.
Bandingkan ketika saya loyo lesu sepulang dari kantor. Mulut ini rasanya selalu mengeluh. Bahkan sok tahu mengeluarkan statement bahwa hari esok lebih buruk, bahwa saya pasti tidak sanggup bertahan menghadapi proyek ini.
Padahal ada pepatah tua yang mengatakan bahwa Tuhan saja mendandani bunga yang hari ini ada dan esok gugur, apalagi manusia, makhluk yang mulia di mata-Nya, kesayangan-Nya. Pasti manusia didandani-Nya sedemikian menawan hari lepas hari. Mengapa saya bisa lupa akan hal itu?
Pagi ini, ketika saya berjumpa lagi dengan bunga-bunga itu, saya harus berterima kasih kepada mereka. Atas ajaran dari mereka tentang di mana seharusnya harapan itu diletakkan. Satu harapan pada Sang Mahaagung saja, sudah pasti menjamin segala yang kita perlukan.
Editor: ymindrasmoro
Email: inspirasi@satuharapan.com
Prasasti Batu Tertua Bertuliskan Sepuluh Perintah Tuhan Terj...
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Prasasti batu tertua yang diketahui yang bertuliskan Sepuluh Perintah Tuha...