Satu Juta Spesies Menuju Kepunahan Akibat Eksploitasi dan Perubahan Iklim
Satu dari lima orang di dunia bergantung pada spesies liar untuk makanan, obat-obatan, energi dan pendapatan.
RIO DE JANEIRO, SATUHARAPAN.COM-Setiap hari miliaran orang bergantung pada flora dan fauna liar untuk mendapatkan makanan, obat-obatan, dan energi. Tetapi sebuah laporan baru yang didukung PBB mengatakan bahwa eksploitasi berlebihan, perubahan iklim, polusi dan deforestasi mendorong satu juta spesies menuju kepunahan.
Platform Kebijakan Sains Antarpemerintah tentang Layanan Keanekaragaman Hayati dan Ekosistem atau IPBES, dalam laporan mengatakan pada hari Jumat (8/7) bahwa kecuali umat manusia meningkatkan pemanfaatan alam yang berkelanjutan, Bumi sedang dalam perjalanan untuk kehilangan 12% spesies pohon liarnya, lebih dari seribu spesies mamalia liar, dan hampir 450 spesies hiu dan pari, itu di antara kerusakan yang tidak dapat diperbaiki.
Manusia menggunakan sekitar 50.000 spesies liar secara rutin dan satu dari lima orang dari 7,9 miliar populasi dunia bergantung pada spesies tersebut untuk makanan dan pendapatan, kata laporan itu. Satu dari tiga orang mengandalkan kayu bakar untuk memasak, angka ini bahkan lebih tinggi di Afrika.
“Sangat penting bahwa penggunaan itu berkelanjutan karena Anda membutuhkannya untuk tetap ada untuk anak dan cucu Anda. Jadi, ketika penggunaan spesies liar menjadi tidak berkelanjutan, itu buruk bagi spesies, buruk bagi ekosistem, dan buruk bagi manusia,” lapor ketua bersama, Marla R. Emery, dari Amerika Serikat kepada The Associated Press.
Di luar gambaran suram, laporan ini juga memberikan rekomendasi bagi pembuat kebijakan dan contoh untuk pemanfaatan fauna dan flora liar secara berkelanjutan. Titik sentralnya adalah mengamankan hak tenurial bagi masyarakat adat dan lokal, yang secara historis memanfaatkan spesies liar secara berkelanjutan, kata laporan itu.
Menurut penelitian, masyarakat adat menempati sekitar 38.000.000 kilometer persegi (14.600.000 mil persegi) tanah di 87 negara, setara dengan sekitar 40% dari kawasan konservasi darat.
“Tanah mereka cenderung memiliki keberlanjutan yang lebih baik daripada tanah lain. Dan benang merahnya adalah kemampuan untuk terus terlibat dalam praktik-praktik adat,” kata Emery, yang juga peneliti di US Forest Service.
Emery berpendapat adalah penting untuk mengamankan sistem nasional dan internasional, seperti pendidikan, yang mempromosikan pelestarian bahasa pribumi, karena mempertahankan kemampuan anggota yang lebih tua untuk mentransfer pengetahuan tradisional tentang praktik berkelanjutan ke generasi baru.
Contoh praktik yang baik adalah memancing arapaima, salah satu ikan air tawar terbesar di dunia, di Amazon Brasil, salah satu ketua laporan Jean-Marc Fromentin dari Prancis mengatakan kepada AP.
“Itu adalah perpindahan dari situasi yang tidak berkelanjutan ke situasi yang berkelanjutan,” kata Fromentin. “Beberapa komunitas di Brasil membuat manajemen berbasis komunitas dan kemudian memanggil beberapa ilmuwan untuk mempelajari lebih lanjut tentang biologi ikan dan menerapkan sistem pemantauan yang efisien. Itu bekerja dengan sangat baik sehingga model itu digunakan ke komunitas dan negara lain seperti Peru.”
Gregorio Mirabal, kepala Koordinator Organisasi Adat Lembah Amazon, yang tidak ambil bagian dalam laporan tersebut, mengatakan kepada AP bahwa sudah ada beberapa penelitian PBB yang menekankan pentingnya keanekaragaman hayati dan ancaman yang ditimbulkan oleh perubahan iklim, tetapi mereka tidak membawa solusi.
Pemimpin Adat menyebutkan masalah yang berkembang di wilayah tersebut seperti kontaminasi air dari merkuri yang digunakan dalam penambangan ilegal dan tumpahan minyak. Selain itu, mereka yang menentang praktik-praktik ini menghadapi kekerasan, seperti pembunuhan baru-baru ini terhadap seorang pejuang pribumi di daerah pertambangan, di Venezuela.
“Ada eksploitasi sumber daya alam yang tidak rasional di Amazon, tetapi tidak ada investasi sosial untuk meningkatkan situasi kesehatan, pendidikan, budaya dan pangan masyarakat adat,” kata Mirabal.
Laporan tersebut disetujui oleh perwakilan dari 139 negara anggota yang berkumpul pekan ini di Bonn, Jerman. Melibatkan puluhan pakar, mulai dari ilmuwan hingga pemegang kearifan lokal. IPBES adalah badan antar pemerintah yang independen dan bukan bagian dari sistem PBB, tetapi mendapat dukungan dari Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-bangsa dan badan-badan lainnya. (AP)
Editor : Sabar Subekti
AS Laporkan Kasus Flu Burung Parah Pertama pada Manusia
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Seorang pria di Louisiana, Amerika Serikat, menderita penyakit parah perta...