Saut Hutagalung: Tegakkan Daulat Pangan Lewat Kemaritiman
• Indonesia perlu mengoptimalkan sumber daya yang ada di laut untuk mencapai kedaulatan pangan.
• Kemaritiman Indonesia ditangani secara sektoral sehingga berpotensi menimbulkan praktik-praktik ilegal.
• Sektor-sektor di bidang kelautan sedapat mungkin disinergikan.
• Disahkannya UU Kelautan oleh DPR.
• Orientasi kemaritiman perlu revolusi mental.
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Kedaulatan pangan di Indonesia dapat ditegakkan melalui potensi maritim yang dimiliki. Hal ini disampaikan oleh Sahat Sinaga, Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan saat ditemui satuharapan.com seusai seminar bertajuk “Kedaulatan Rakyat untuk Kemandirian Bangsa” yang diselenggarakan oleh Persekutuan Inteligensia Sinar Kasih (Piska) di Gedung Sinar Kasih, Jalan Dewi Sartika 136D, Cawang, Jakarta Timur pada Jumat (10/10).
Saut mengungkapkan, sekarang ini di Indonesia banyak terdapat kasus gizi buruk. Sementara itu, 70 persen wilayah Indonesia adalah wilayah laut. Seharusnya potensi yang ada di laut dapat dioptimalkan agar tidak ada lagi kasus gizi buruk.
“Saya pikir laut itu adalah sumber pangan yag luar biasa. Ini harus diperhatikan karena ke depan akan menjadi hal yang sangat strategis. Bagaimana kita manfaatkan laut sebagai sumber pangan yang bisa memberikan kecukupan gizi dan pangan bagi masyarakat sehingga kasus-kasus kekurangan gizi bisa diatasi dengan cepat,” ujar Saut.
Untuk itulah Indonesia perlu mengoptimalkan sumber daya yang ada di laut untuk mencapai kedaulatan pangan. Menurutnya, ada dua kata kunci untuk mencapai kedaulatan di bidang kelautan, yakni apakah bangsa bisa menegakkan kedaulatan dari sisi pengawasan dan dari sisi keamanan laut dan apakah bangsa bisa melakukan pemanfaatan sumber daya laut yang tepat dan optimal.
“Masih banyak hal yang perlu diperbaiki,” Saut menambahkan.
Kendala Kemaritiman
Isu yang sangat panas tapi tidak pernah tuntas ditangani oleh bangsa Indonesia dalam bidang kemaritiman adalah adanya praktik-praktik ilegal di laut. Hal ini disebabkan karena kemaritiman di Indonesia ditangani secara sektoral sehingga tiap-tiap sektor sibuk dengan kewenangannya masing-masing. Sinergi mengenai pengelolaan laut juga hampir tidak pernah bisa dilakukan.
“Itu merupakan kelemahan kita selama ini. Yang paling menghambat selama ini, laut kita ditangani secara sektoral sehingga semuanya sibuk dengan kewenangan masing-masing. Karena sangat sektoral, ini dimanfaatkan banyak pihak untuk keuntungan sendiri-sendiri sehingga muncullah praktik-praktik ilegal di banyak bidang. Itulah sebabnya hingga saat ini bermunculan banyak mafia,” Saut menjelaskan.
Namun, perlahan hambatan-hambatan ini dapat ditangani secara bertahap, seperti pengesahan Undang-Undang Kelautan oleh DPR pada 29 September lalu.
“Adanya UU Kelautan dan arah kebijakan yang baru untuk mengotimalkan laut ini akan menimbulkan resistensi dari banyak orang yang selama ini menikmati. Butuh keberanian pemerintahan yang baru untuk mengatasi ini karena ini satu lompatan yang besar,” ucap Saut.
UU Kelautan
UU Kelautan memberi titik fokus pada tata kelola laut. Sektor-sektor yang ada sedapat mungkin akan disinergikan. Selain itu, pemanfaatan laut diperluas menjadi di luar batas 200 mil. Perluasan ini diharapkan dapat memberikan peluang yang baru bagi negara untuk memanfaatkan potensi laut ke depannya. Akan tetapi, kemananan laut harus sangat ditegaskan.
Meninjau hal itu, Saut berharap badan keamanan laut dibentuk di undang-undang yang baru karena menurutnya ini adalah peluang yang luar biasa.
“Kita seakan-akan kembali ke kodrat kita sebagai negara maritim. Mudah-mudahan pemerintah yang baru betul-betul mau dengan segala keberanian dan kemauan politik yang kuat untuk menegakkannya,” kata Saut.
Revolusi Mental
Kembalinya orientasi bangsa ke bidang maritim, yang tentu juga tidak mengesampingkan daratan tentu membutuhkan revolusi mental.
“Ini membutuhkan revolusi mental yang luar biasa karena selama ini Indonesia memberi titik beratnya pada orientasi darat, namun kini Indonesia akan kembali ke laut tentu tanpa meninggalkan darat,” ujar Saut.
Hal ini dipandang sebagai cara berpikir yang berbeda. Untuk itu, teknologi dan SDM diharapkan akan berubah berkembang ke depan. Namun, Saut mengimbau agar pemerintah tidak buru-buru bertindak. Setidaknya diperlukan peta jalan untuk menyusun kebijakan maritim.
“Harus ada kebijakan nasionalnya, harus ada peta jalannya, kemudian baru kita jalankan satu-satu,” kata Saut.
Menurutnya. Selama ini, banyak potensi yang belum digarap oleh pemerintah Indonesia. Itulah pentingnya pembuatan peta jalan agar potensi bisa dimanfaatkan tahap demi tahap.
“Kalau tidak ada peta jalan kita bisa muter-muter (berputar-putar –red),” Saut memungkasi.
Editor : Bayu Probo
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...