Saya (Tidak) Ingin Memilih Karena... (Sibuk)
SATUHARAPAN.COM - Seorang teman menjadi sangat sibuk ketika mendapatkan kabar bahwa dia hamil. Dia sibuk mereka-reka apakah anaknya lelaki atau perempuan. Dia sibuk memperhatikan asupan gizi, waktu istirahat dan timbangan badannya – bila perlu, membuat menu harian, dan berkonsultasi dengan banyak orang. Dia sibuk mencari-cari nama yang akan jadi harapan pada anaknya. Dia sibuk mencari-cari perlengkapan bayi yang menarik. Dia sibuk.
(Sebagian) bangsa inipun sedang sibuk. Sibuk menantikan hajatan besar lima tahun sekali yang bernama Pemilu. Pembuat website, spanduk dan kaos sibuk. Media pertelevisian sibuk. Para komentator sibuk. Para petinggi partai sibuk. Para calon legislatifpun (sangat) sibuk. Mereka semua sibuk. Sayangnya, semua kesibukan-kesibukan ini tidak dapat menutupi lubang hitam, besar dan dalam yang menganga yang bernama “kebingungan”.
Apa yang dilihat memang lebih diingat, apalagi bila sering terlihat. Karena itu tidak heran bila para caleg banyak menggunakan ragam media yang memamerkan foto mereka. Sayangnya, kesibukan ini tidak mengurangi lubang hitam yang menganga tadi. Foto narsis tidak berkorelasi positif dengan rekam jejak.
Bahkan Foto bisa menyesatkan. Bukankah daftar nama yang dijerat KPK dipenuhi dengan para pemimpin yang terlihat gagah dan mempesona? Dengan demikian, sekalipun kriteria KPU mencantumkan foto diri sebagai syarat, bukan berarti photo ini memenuhi syarat layak pilih.
Begitu juga, tiba-tiba saja tempat-tempat ibadah, posyandu, pasar, terminal, sekolah dan daerah penampungan pengungsi menjadi tempat kunjungan. Tiba-tiba saja para caleg ini sibuk menyediakan ambulans padahal peringkat kurang gizi dan penyakit TBC di Indonesia lebih sering dapat angka merah sejak dulu.
Tiba-tiba saja mereka menanyakan harga beras dan cabai padahal masalah konversi lahan pertanian sudah akut di negeri ini. Memang, tidak salah untuk berbuat baik. Bahkan wajib. Tetapi, apakah sebelum menjadi Caleg, mereka memang bergelut di masalah-masalah sosial dan pro rakyat? Atau, mereka tiba-tiba sibuk?
Ada kesibukan lain: menjadi narasumber. Padahal seorang narasumber akan dianggap baik bila dia memiliki konsep yang kuat dan pengalaman konkret berkenaan dengan topik yang dibahas. Pernyataannya dianggap bermutu bila disertai bukti-bukti pendukung yang tidak sekedar di tataran fenomena. Dalam beberapa isu terakhir, beberapa pemimpin sering memberikan komentar menyesatkan karena apa yang mereka sampaikan tidak dilandasi konsep yang komprehensif.
Mereka hanya melontarkan jargon dan terlihat seakan-akan apa yang mereka sampaikan adalah solusi terbaik. Alih-alih mencerdaskan, mereka sedang membentuk masyarakat menjadi pengambil keputusan instan dan hobi asbun (asal bunyi). Ketika seseorang menjadi Caleg, ada baiknya dia sibuk belajar juga sebelum bicara. Ada baiknya dia membatasi bicara dibandingkan sibuk memperbaiki kekeliruan perkataan.
Nah, sebagai calon konstituen, kami juga sama sibuknya. Kami sibuk bertanya-tanya dan mungkin para caleglah yang harus menjawabnya. Kami sibuk bertanya:
Memangnya ada pilihan yang pantas dipilih? Tidak mudah bagi kami untuk memilih yang tepat. Fakta pembiaran dan pemeliharaan penindasan terhadap keberagaman sesama anak bangsa hanya salah satu contoh bahwa para calon legislatif perlu memberikan bukti kuat layak dipilih. Fakta bahwa pemerintah sekarang sering gegabah dalam mengambil keputusan yang berdasarkan pola pikir pendek tentu tidak lepas dari pengawasan anggota legislatif. Kami sibuk mencari bukti “Memangnya kalau kami memilih Anda, Indonesia bisa menjadi baik?”
Memangnya kami bisa memilih? Politik dinasti diberitakan setelah KPU menyetujui daftar para caleg. Di beberapa daerah, masyarakat enggan memilih “yang lain” karena akan ada kunjungan dari RT atau Kades memastikan hanya ada satu pilihan. Keluhan para tunanetra di Bandung akan ketidaktersediaan lembar pemilihan dengan huruf Braille membuktikan bahwa mereka terancam hak pilihnya. Penduduk yang belum memiliki e-ktp entah berapa banyak jumlahnya. Sementara Event Organiser hajatan menakut-nakuti bahwa penebar kampanye golput akan dipidanakan, para (calon) pemilihpun punya ketakutan-ketakutan yang lebih nyata.
Memang, ada pepatah di negeri Paman Sam “Bad politicians are sent to Washington by good people who don't vote” (William E. Simon), tetapi kami juga masih sibuk berdiskusi mencari jawaban “Memangnya tanggung jawab siapa untuk menutupi lubang hitam, besar dan dalam yang menganga yang bernama “kebingungan kami”.
Penulis adalah Dosen Pancasila IBM, FE UK-Petra
Dibangun Oleh Korban Penganiayaan, Bethlehem, Kota Natal AS ...
BETHLEHEM-PENNSYLVANIA, SATUHARAPAN.COM-Pada Malam Natal tahun 1741, para pemukim Moravia menamai ko...