Sebut Feminisme sebagai Ekstremisme, Pemerintah Arab Saudi Meminta Maaf
ARAB SAUDI, SATUHARAPAN.COM – Pemerintah Saudi, dalam beberapa tahun terakhir berupaya memenuhi hak bagi kaum perempuan, termasuk mencabut larangan menyetir.
Badan keamanan pemerintah Arab Saudi meminta maaf, setelah mengunggah video di media sosial, yang memasukkan feminisme sebagai salah satu bentuk ekstremisme.
Badan pemerintah ini juga mengatakan, bahwa menggolongkan feminisme sebagai ekstremisme adalah satu kesalahan.
Mereka mengatakan, tengah menyelidiki unggahan video di media sosial tersebut.
Dalam video ini disebutkan bahwa feminisme, homoseksualitas dan ateisme adalah berbahaya, dan memperingatkan warga untuk berhati-hati dan waspada.
Video diunggah oleh akun Twitter Lembaga Pengamanan Kepresidenan, yang bertanggung jawab secara langsung ke Raja Salman.
Lembaga ini mengatakan, ada sejumlah kesalahan di dalam video yang diunggah pada akhir pekan itu.
Komisi HAM Saudi ikut memberikan komentar dengan mengatakan bahwa, feminisme bukan tindak pidana. Tapi mereka tidak menyinggung soal homoseksualitas atau ateisme.
Di Saudi tidak ada aturan tertulis tentang orientasi seksual atau identitas gender.
Hakim, menggunakan hukum Islam ketika menangani kasus orang-orang yang diduga melakukan hubungan seksual di luar pernikahan, melakukan hubungan seks sesama jenis atau kegiatan yang dianggap imoral, kata organisasi Amerika Serikat, Human Rights Watch.
Organisasi Amnesty International, mengecam video ini dengan mengatakan pesan yang disampaikan dalam video "sangat berbahaya".
"(Pesannya) berdampak sangat besar terhadap kebebasan berpendapat, terhadap kehidupan, kebebasan, dan keamanan di negara tersebut," kata Heba Morayef, direktur Amnesty untuk kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara, yang dilansir bbc.com, pada Rabu (13/11).
Video diunggah ketika Saudi berupaya menghilangkan citra sebagai negara yang tidak ramah terhadap perempuan, dengan memfokuskan pada pemenuhan sejumlah hak-hak perempuan.
Larangan menyetir bagi perempuan dicabut pada 2018, dan aturan tentang mahram juga diperlonggar sejak Agustus lalu, yang membolehkan perempuan mengajukan paspor dan melakukan perjalanan secara mandiri, tanpa harus mendapatkan izin dari kerabat atau anggota keluarga laki-laki.
Perempuan juga diberi hak mendapatkan akta lahir, nikah dan cerai.
Meski demikian, perempuan masih menghadapi sejumlah pembatasan dalam kehidupan sehari-hari dan para aktivis perempuan yang menyerukan perubahan ditangkap dan diadili.
Diduga beberapa di antaranya disiksa di penjara. Mereka yang mendukung sejumlah aktivis perempuan tersebut juga ditangkap.
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...