Sekjen PBB: Masyarakat Menanti Tindakan Nyata Pemimpin Atasi Kekacauan Glogal
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) mengatakan masyarakat menantikan pemimpin untuk mengambil tindakan dan mencari jalan keluar dari 'kekacauan' global saat ini.
Para pemimpin dunia yang terpecah belah akibat perang, perubahan iklim, dan ketidaksetaraan yang masih ada berkumpul di bawah satu atap pada hari Selasa (19/9) untuk mendengarkan Sekjen PBB menyerukan mereka untuk mengambil tindakan bersatu dalam menghadapi tantangan besar yang dihadapi umat manusia, dan untuk mulai memberikan penilaian mereka sendiri pada tahap-tahap yang paling global.
“Masyarakat menantikan pemimpin mereka untuk mencari jalan keluar dari kekacauan ini,” kata Sekretaris Jenderal Antonio Guterres menjelang pertemuan tahunan para presiden dan perdana menteri, menteri dan raja di Majelis Umum PBB.
Ia mengatakan dunia memerlukan tindakan sekarang, bukan sekadar kata-kata, untuk menghadapi keadaan darurat iklim yang semakin buruk, meningkatnya konflik, “gangguan teknologi yang dramatis” dan krisis biaya hidup global yang meningkatkan kelaparan dan kemiskinan.
“Namun dalam menghadapi semua ini dan lebih banyak lagi,” kata Guterres, “perpecahan geopolitik melemahkan kapasitas kita untuk merespons.”
Sesi selama sepekan tahun ini, yang merupakan pertemuan penuh pertama para pemimpin dunia sejak pandemi COVID-19 mengganggu perjalanan, dijadwalkan akan dihadiri 145 pemimpin. Jumlah yang besar mencerminkan banyaknya krisis dan konflik.
Namun untuk pertama kalinya dalam beberapa tahun terakhir, Presiden Amerika Serikat, Joe Biden, berbicara segera setelah Sekjen PBB, akan menjadi satu-satunya pemimpin dari lima negara pemegang hak veto di Dewan Keamanan PBB yang berpidato di depan majelis yang beranggotakan 193 orang.
Xi Jinping dari China, Vladimir Putin dari Rusia, Emmanuel Macron dari Prancis, dan Rishi Sunak dari Inggris semuanya tidak akan hadir di PBB tahun ini. Hal ini akan menyoroti Presiden Ukraina, Volodymyr Zelenskyy, yang tampil untuk pertama kalinya di podium majelis pada Selasa (19/9) malam, dan pada Biden, yang akan diawasi terutama pandangannya mengenai China, Rusia, dan Ukraina.
Absennya para pemimpin dari empat negara besar di Dewan Keamanan telah memicu keluhan dari negara-negara berkembang yang menginginkan negara-negara besar dunia mendengarkan tuntutan mereka, termasuk meminta dana untuk mulai menutup kesenjangan yang semakin besar antara negara-negara kaya dan miskin.
Dunia Gagal Mencapai 17 Tujuan Pembangunan
G-77, kelompok utama negara-negara berkembang di PBB yang kini beranggotakan 134 orang termasuk China, melakukan lobi keras agar pertemuan global tahun ini fokus pada 17 tujuan PBB yang diadopsi oleh para pemimpin dunia pada tahun 2015. Tujuan-tujuan tersebut sudah sangat tertinggal di pertengahan tenggat waktu tahun 2030.
Pada pertemuan puncak dua hari untuk memulai tindakan guna mencapai tujuan tersebut, Guterres menunjuk pada temuan suram dalam laporan PBB pada bulan Juli. Ia mengatakan, 15% dari 140 target spesifik untuk mencapai 17 tujuan tersebut sudah berjalan sesuai rencana. Banyak yang berjalan ke arah yang salah, dan tidak ada satupun yang diharapkan bisa tercapai dalam tujuh tahun ke depan.
Sasaran-sasaran yang luas mencakup pengentasan kemiskinan dan kelaparan ekstrem, memastikan setiap anak mendapatkan pendidikan menengah yang berkualitas, mencapai kesetaraan jender dan membuat terobosan signifikan dalam mengatasi perubahan iklim, semuanya pada tahun 2030.
Berdasarkan angka yang ada saat ini, menurut laporan tersebut, 575 juta orang masih akan hidup dalam kemiskinan ekstrem dan 84 juta anak bahkan tidak akan bersekolah di sekolah dasar pada tahun 2030, dan diperlukan waktu 286 tahun untuk mencapai kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.
Guterres mengatakan kepada para pemimpin pada pembukaan KTT hari Senin bahwa dia menyerukan penyelamatan 17 tujuan pembangunan berkelanjutan, atau SDGs (Sustainable Development Goals), yang mereka janjikan pada tahun 2015 untuk membangun “dunia yang sehat, maju dan berpeluang” bagi semua orang – dan membayar untuk itu.
Segera setelah ia berbicara, para pemimpin dari 193 negara anggota PBB mengadopsi deklarasi politik setebal 10 halaman melalui konsensus yang mengakui bahwa tujuan tersebut “dalam bahaya.” Namun hal ini menegaskan kembali lebih dari selusin kali, dengan cara yang berbeda, komitmen para pemimpin untuk mencapai SDGs, dan menegaskan kembali pentingnya tujuan-tujuan tersebut.
Deklarasi ini tidak menjelaskan secara spesifik, namun Guterres mengatakan dia “sangat terdorong” terutama oleh komitmennya untuk meningkatkan akses negara-negara berkembang terhadap “bahan bakar yang dibutuhkan untuk kemajuan SDG: keuangan.” Dia menunjuk pada dukungannya terhadap stimulus SDG setidaknya US$500 miliar per tahun, yang bertujuan untuk mengimbangi kondisi pasar yang menantang yang dihadapi oleh negara-negara berkembang.
Pada pertemuan puncak tersebut, para pemimpin diharapkan membuat janji untuk memenuhi SDGs.
Sebagai contoh, Perdana Menteri Nepal, Pushpa Kamal Dahal, yang memimpin kelompok negara-negara kurang berkembang di PBB, mengatakan bahwa mereka memerlukan “peningkatan besar-besaran terhadap pembiayaan terjangkau” termasuk melalui stimulus SDG.
Dia mengatakan investasi asing ke negara-negara kurang berkembang turun sekitar 30% pada tahun 2022 dibandingkan tahun 2021, dan dia mendesak negara-negara maju untuk lebih bermurah hati dalam membantu negara-negara termiskin di dunia.
Di sana juga ada ratusan acara sampingan selama pekan peretemmuan tingkat tinggi.
Diplomat utama Uni Eropa, Josep Borrell, mengatakan kepada wartawan setelah pertemuan tertutup untuk mencoba menghidupkan kembali proses perdamaian yang telah berlangsung selama puluhan tahun antara Israel dan Palestina bahwa ada “komitmen yang kuat terhadap solusi dua negara.”
Dia mengatakan ada 60 peserta pada pertemuan yang diselenggarakan oleh UE, Liga Arab dan beberapa negara lain, dan menyebutnya sebagai “titik awal yang baik.”
Ada “suntikan kemauan politik baru,” kata Borrell, dan tiga kelompok kerja tingkat senior dibentuk untuk mengkaji seperti apa perdamaian Israel-Palestina. Dia mengatakan mereka akan mulai bekerja dalam sebulan di Brussels. (AP)
Editor : Sabar Subekti
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...