Sekjen PBB Serukan Ambisi Lebih Besar Atasi Perubahan Iklim
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM – Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres, Kamis (28/3), memperingatkan perubahan iklim bergerak lebih cepat dibanding upaya internasional untuk memitigasi hal tersebut.
“Sangat penting untuk mengatasi perubahan iklim dengan ambisi yang jauh lebih besar,” katanya kepada wartawan saat peluncuran laporan tahunan Organisasi Meteorologi Dunia WMO tentang masalah ini.
Laporan itu memperingatkan bahwa indikator perubahan iklim menjadi lebih jelas.
Tingkat karbon dioksida, sebagai pendorong utama pemanasan global saat ini adalah yang tertinggi dalam tiga juta tahun. Walhasil laut memanas dan airnya menjadi lebih asam, serta mempengaruhi semua kehidupan laut. Temperatur di darat juga meningkat pada 2018, menjadi tahun terpanas keempat dalam sejarah. Sementara empat tahun terakhir, sejak 2015 – 2018, adalah empat tahun terpanas dalam catatan suhu global.
Sekjen PBB mengatakan, semua pihak perlu mengurangi emisi gas rumah kaca hingga 45 persen dalam sepuluh tahun mendatang.
"Jika tidak, hal ini tidak dapat dibalik lagi, tidak dapat mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan di Paris sebelumnya," kata Guterres merujuk pada perjanjian iklim 2015.
‘’Kita sangat dekat dengan saat dimana tidak mungkin lagi mencapai akhir abad ini dengan hanya 1,5 derajat. Kita punya beberapa tahun lagi untuk mengubah trend ini karena konsentrasi karbon dioksida di atmosfer tidak akan hilang begitu saja.’’
Perjanjian Iklim Paris tahun 2015, menargetkan untuk menjaga planet dari pemanasan di bawah dua derajat celsius, atau di atas level pra-industri. Para ilmuwan berharap dapat membatasi kenaikan suhu lebih jauh yaitu hingga 1,5 derajat celsius.
PBB memperingatkan, jika dunia gagal melakukan perubahan yang diperlukan dengan cepat, maka Bumi yang memanas akan memicu berbagai kesulitan. Kekeringan dan banjir akan menghancurkan tanaman dan ternak, yang akhirnya menyebabkan kerawanan pangan, perubahan di laut akan menimbulkan dampak pada perikanan dan ekosistem, kenaikan tingkat permukaan laut akan membahayakan kota-kota pesisir yang besar, dan manusia juga akan merasakan dampak kesehatan akibat polusi dan gelombang panas. Gejolak ini ditengarai akan menyebabkan lebih banyak pengungsi, migrasi dan ketidakstabilan sosial.
Peristiwa cuaca ekstrem kini sudah meningkat dengan datangnya badai topan Idai, yang menelan banyak korban jiwa bulan ini. Badai dahsyat juga telah menghantam sebagian Mozambik, Malawi, dan Zimbabwe yang menewaskan ratusan orang dan menyapu bersih rumah dan fasilitas umum.
Laporan itu mengatakan tahun lalu saja ada 14 bencana terkait cuaca dan perubahan iklim di Amerika, dengan total kerugian finansial hingga $50 miliar (Rp711 triliun)
Pada September mendatang PBB akan menyelenggarakan KTT khusus tentang ini di sela-sela Sidang Majelis Umum, dimana diharapkan akan memobilisasi inisiatif adaptasi dan mitigasi iklim yang baru. (Voaindonesia.com)
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...