Sekjen PBB: Sudan Berada di Ambang Perang Saudara Skala Penuh
KAIRO, SATUHARAPAN.COM-Sekretaris Jenderal PBB (Perserikatan Bangsa-bangsa), Antonio Guterres, mengatakan bahwa Sudan berada di ambang "perang saudara skala penuh" ketika bentrokan sengit antara para jenderal yang bersaing terus berlanjut pada hari Minggu (9/7) di ibu kota, Khartoum.
Dia memperingatkan pada Sabtu (8/7) malam bahwa perang antara militer Sudan dan pasukan paramiliter yang kuat kemungkinan akan mengguncang seluruh wilayah, menurut Farhan Haq, wakil juru bicara sekretaris jenderal.
Sudan jatuh ke dalam kekacauan setelah berbulan-bulan ketegangan antara panglima militer Jenderal Abdel-Fattah Burhan, dan saingannya Jenderal Mohammed Hamdan Dagalo, komandan Pasukan Dukungan Cepat paramiliter (RSF) , meledak menjadi pertempuran terbuka pada pertengahan April.
Menteri Kesehatan Sudan, Haitham Mohammed Ibrahim, mengatakan dalam komentar di televisi bulan lalu bahwa bentrokan tersebut telah menewaskan lebih dari 3.000 orang dan melukai lebih dari 6.000 lainnya.
Penghitungan kematian, bagaimanapun, sangat mungkin jauh lebih tinggi. Lebih dari 2,9 juta orang telah meninggalkan rumah mereka ke daerah yang lebih aman di dalam Sudan atau menyeberang ke negara tetangga, menurut data PBB.
Pertempuran itu terjadi 18 bulan setelah kedua jenderal itu memimpin kudeta militer pada Oktober 2021 yang menggulingkan pemerintah transisi sipil yang didukung Barat. Konflik tersebut memupus harapan Sudan akan transisi damai menuju demokrasi setelah pemberontakan rakyat memaksa militer mencopot otokrat lama, Omar al-Bashir, pada April 2019.
Perang telah mengubah ibu kota Khartoum dan daerah perkotaan lainnya di seluruh negeri menjadi medan perang.
Penduduk di Khartoum mengatakan pertempuran sengit sedang berlangsung hari Minggu pagi di selatan ibu kota. Faksi yang bertikai menggunakan senjata berat dalam pertempuran di lingkungan Kalaka dan pesawat militer terlihat melayang di atas daerah tersebut, kata penduduk Abdalla al-Fatih.
Dalam pernyataannya, Guterres juga mengutuk serangan udara pada hari Sabtu yang menurut otoritas kesehatan menewaskan sedikitnya 22 orang di Omdurman, sebuah kota tepat di seberang Sungai Nil dari ibu kota, Khartoum. Serangan itu adalah salah satu yang paling mematikan dalam konflik tersebut.
RSF menyalahkan militer atas serangan di Omdurman. Militer, pada gilirannya, membantah tuduhan yang mengatakan dalam sebuah pernyataan hari Minggu bahwa angkatan udaranya tidak melakukan serangan udara di kota itu pada hari itu.
Kekerasan Berdimensi Etnis
Sekretaris Jenderal juga mengecam kekerasan berskala besar dan korban jiwa di wilayah barat Darfur, yang telah mengalami beberapa pertempuran terburuk dalam konflik yang sedang berlangsung, kata Haq dalam sebuah pernyataan.
“Ada pengabaian terhadap hukum kemanusiaan dan hak asasi manusia yang berbahaya dan mengganggu,” kata Guterres.
Pejabat PBB mengatakan kekerasan di wilayah tersebut baru-baru ini mengambil dimensi etnis, dengan RSF dan milisi Arab dilaporkan menargetkan suku non Arab di Darfur, sebuah wilayah luas yang terdiri dari lima provinsi. Bulan lalu, Gubernur Darfur, Mini Arko Minawi, mengatakan wilayah itu kembali ke genosida di masa lalu, mengacu pada konflik yang melanda wilayah itu pada awal 2000-an.
Seluruh kota dan desa di Provinsi Darfur Barat dikuasai oleh RSF dan milisi sekutu mereka, memaksa puluhan ribu penduduk mengungsi ke negara tetangga Chad. Aktivis telah melaporkan banyak warga terbunuh, perempuan dan anak perempuan diperkosa, dan properti dijarah dan dibakar habis.
Ada bentrokan antara militer dan RSF di tempat lain di Sudan pada hari Minggu termasuk Provinsi Kordofan Utara, Kordofan Selatan dan Nil Biru. (AP)
Editor : Sabar Subekti
60.000 Warga Rohingya Lari ke Bangladesh karena Konflik Myan...
DHAKA, SATUHARAPAN.COM - Sebanyak 60.000 warga Rohingya menyelamatkan diri ke Bangladesh dalam dua b...