Sekum PGI: Tugas Negara Melucuti Kelompok Milisi Intoleran
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Sekretaris Umum Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), Pendeta Gomar Gultom, mengatakan dalam mewujudkan kerukunan beragama kelompok agama tidak punya alat pemaksa. Kelompok agama memiliki kekuatan moral, tetapi yang memiliki alat pemaksa adalah negara.
Oleh karena itu, Gomar mengatakan, tugas pemerintahlah untuk melucuti kelompok-kelompok milisi yang sering mencederai kemajemukan dan kerukunan beragama, demi kewibawaan negara. Apalagi, menurut dia, kerukunan beragama merupakan sikap hidup otentik masyarakat Indonesia, bahkan jauh sebelum merdeka.
Sekum PGI menyampaikan hal itu dalam pidatonya pada pertemuan tokoh-tokoh masyarakat dan tokoh agama yang diprakarsai oleh Menteri Dalam Negeri di Hotel Sahid, Jakarta (21/12). Pertemuan itu dilaksanakan dalam rangka harmonisasi kerukunan antar umat beragama.
Dalam pertemuan itu hadir beberapa tokoh lintas agama yang juga diberi kesempatan untuk menyampaikan pikiran dalam kaitan dengan upaya menciptakan perdamaian dan kerukunan. Mereka antara lain Mgr. Ignatius Suharyo dari Konferensi Waligereja Indonesia, Suhadi dari Walubi, Pendeta Gomar Gultom (Sekretaris Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia), Suisma (Ketua Umum Parisada Hindu Darma Indonesia), Uung Sendana ((Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia), dan Ketua MUI H Yusnar Yusuf.
Dalam pidato yang salinannya diterima satuharapan.com, Gomar mengatakan bahwa kerukunan sangat otentik dan eksistensial dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Dia merupakan keseharian dan sikap hidup, jauh sebelum negara RI ada dan jauh sebelum regulasi tentang Kerukunan muncul.
"Sayang sekali, dalam masa Orba, kerukunan sering disederhanakan sekedar menjadi proyek menuju "harmony", yang justru menghilangkan otentisitas kerukunan itu sendiri," kata Gomar.
Akibatnya, kerukunan bukan lagi pengalaman eksistensial, tetapi berubah dalam rangka menjaga harmoni, yang pada gilirannya, menjadi usaha menjaga kepentingan kelompok besar.
Dalam kondisi demikian, kata dia, ada kesan tak apa-apa mendiskriminasikan kelompok kecil. Ketika harmoni menjadi tekanan, lanjut dia, mengorbankan kelompok kecil, demi kelompok besar, seolah sah adanya.
Dalam konteks kekinian kita, ia mengatakan, hal seperti ini berlaku di daerah Jawa bagi kepentingan kelompok muslim atau sebaliknya di Papua atau NTT demi kepentingan kelompok Kristen.
"Saya kira untuk kembali kepada kerukunan yang otentik dan eksistensial tersebut hanya mungkin bila masyarakat kita beragama secara cerdas," kata Gomar.
Olehnya, kata dia, umat beragama memerlukan pemahaman yang lebih substantif terhadap ajaran agama, dan tidak terjebak pada simbol-simbol agama.
Pada Kerukunan yang otentik, kata Gomar, perjumpaan antar umat beragama dengan sendirinya akan lebih mengedepankan hal-hal yang terkait dengan esensi atau substansi dari agama itu sendiri, yaitu memanusiakan manusia.
"Saya yakin, setiap agama dan budaya mendambakan kehidupan yang rukun dan damai," kata dia.
Yang menjadi masalah adalah, kata dia, ketika memasuki ruang publik, terjadi perebutan ruang dan pengaruh dari para penganut agama-agama itu. Dan dalam mencapai damai bagi dirinya, lanjut Gomar, manusia sering mengorbankan rasa damai orang lain.
"Saya kira dalam kerangka itulah bangsa kita menempatkan Pancasila dan Konstitusi sebagai pijakan bersama kita dalam mengembangkan perdamaian dan kerukunan itu. Dan sejarah telah membuktikan, bangsa kita mampu menjaga perdamaian dan merajut kerukunan di tengah keragaman yang ada."
Di bagian lain pidatonya, Gomar mengatakan hal itu akan menjadi sumbangan Indonesia bagi pearadaban dunia di masa depan, ketika konflik dan peperangan semakin mewarnai perjalanan umat manusia di dunia ini.
Gomar mengutip Prof Steven Bevand, seorang teolog Katolik dari Chicago, yang mengatakan, di masa depan Islam akan menjadi peradaban. Dan dalam kondisi itu, Islam Indonesia (yang toleran dan kompetibel dengan demokrasi dan HAM) akan ikut berperan besar dalam membentuk peradaban dunia yang adil dan damai.
"Namun Kita tak dapat memungkiri, bahwa di Indonesia juga ada gesekan di sana-sini, sebagai sebuah dinamika berbangsa dan bermasyarakat. Tetapi kita tidak bisa menyerah atas itu dan dengan serta merta mengatakan Kerukunan telah gagal diterapkan di Indonesia," kata dia.
Olehnya, kata Gomar, PGI mengimbau negara untuk tidak mau kalah dengan kelompok-kelompok intoleran. "PGI dan saya kira para pimpinan umat, siap bekerjasama untuk mencerdaskan umatnya dalam beragama. Hanya dengan demikian kita bisa merajut perdamian dan kerukunan di tengah kemajemukan ini," kata dia.
Gomar menekankan bahwa yang punya alat pemaksa di negara ini adalah pemerintah. "Kami dari kelompok agama adalah kekuatan moral. Maka tugas pemerintahlah untuk melucuti kelompok-kelompok milisi yang sering mencederai kemajemukan dan kerukunan kita, demi kewibawaan negara."
Menag Minta Dikaji Tentang Gagasan Sertifikasi Muballigh
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM- Menteri Agama, Nasaruddin Umar, memberikan pandangannya terkait ide sertif...