Selasa Hitam di Brussels
Tiga ledakan bom mengguncang Brussels Selasa (22/3) kemarin dan menewaskan setidaknya 34 orang. Ke arah mana Eropa melangkah?
Brussels, Satuharapan.com – Tiga ledakan maut mengguncang Brussels, ibukota Belgia. Eropa kembali diguncang teror mengerikan, setelah teror di Paris pertengahan November tahun lalu.
Dua bom meledak di bandara internasional Zaventum yang menewaskan 14 orang dan melukai puluhan orang. Sebuah video amatir yang diunggah ke Twitter oleh akun @AAhronheim milik Anna Ahronheim melukiskan kepanikan yang terjadi tak lama setelah ledakan tersebut. Sementara pihak keamanan menyebut, hampir bisa dipastikan salah satu dari bom yang meledak itu adalah bom bunuh diri.
Tak berselang lama kemudian, bom berikutnya meledak di stasiun kereta bawah tanah di Maelbeek. Melalui video amatir yang diambil dan diunggah Evan Lamos lewat akun @evanlamos ke Twitter, kita dapat mendengar jeritan anak-anak yang panik dan kegelapan yang mencekam beberapa saat setelah ledakan terjadi. Bom tersebut diduga telah menewaskan 20 orang dan melukai setidaknya 55 orang. Dan, perlu dicatat, lokasi stasiun itu tak jauh dari gedung Dewan Uni Eropa maupun Parlemen Uni Eropa.
Aksi balas dendam?
Serangan teror bom itu sungguh mengguncang Belgia. Perdana Menteri Belgia Charles Michel berkata, “Apa yang kita takutkan kini terjadi.” Pihak keamanan, katanya sebagaimana dikutip CBC News, sudah lama mengkhawatirkan adanya serangan teroris. Dan kini mereka khawatir akan ada serangan berikutnya, sehingga penjagaan di perbatasan diperketat.
Kekhawatiran yang disebut Michel cukup beralasan. Jumat lalu (18/3) pihak keamanan Belgia berhasil membekuk Salah Abdeslam, otak teror di Paris, bersama dua kaki tangannya di Molenbeek, daerah pinggiran Brussels. Karena itu, banyak pihak yang menyebut bahwa serangan bom kemarin, yang disebut Stéphane Dion, Menlu Belgia, sebagai “Selasa Hitam”, merupakan aksi balas dendam jaringan Daesh (ISIS) di Eropa. Dan ISIS memang mengaku bertanggungjawab atas teror itu.
Yang jelas, kedua serangan bom tersebut sudah direncanakan dengan matang. Baik bom yang meledak di bandara Zaventum maupun di stasiun kereta bawah tanah Maelbeek, meledak pada saat jam sibuk. Zech Mouzon, penumpang pesawat dari Jenewa yang mendarat di Zaventum sekitar 10 menit sebelum ledakan, berkisah bagaimana suasana di bandara mirip medan perang.
Sebagian korban yang selamat dari teror di bandara internasional Brussels [Foto: AP]
“Sungguh mengerikan, karena atap bandara rubuh,” katanya kepada televisi Brussels. “Darah, tubuh orang-orang yang terluka dan tas berserakan di mana-mana. Kami harus berjalan di tengah reruntuhan. Suasananya sudah seperti medan perang.”
Sementara itu, Alexandre Brans, salah satu penumpang kereta bawah tanah yang selamat walau terluka, menuturkan bahwa ledakan di Maelbeek terjadi saat kereta baru akan berangkat menuju stasiun Schuman. “Kereta baru saja berangkat dari Maelbeek menuju Schuman saat ledakan besar terjadi,” ujarnya. “Panik melanda kami, karena sangat banyak orang yang sedang berada di kereta bawah tanah itu.”
Fenomena gunung es?
Serangan teror “Selasa Hitam” tersebut makin membuka mata orang pada persoalan besar yang diam-diam menghantui Eropa: kelompok-kelompok radikal yang tumbuh subur dan mendorong orang, khususnya kaum muda, untuk melakukan aksi teror. Jika dulu, di tahun 1960-an, ideologi revolusioner kiri yang menggerakkan mereka, dewasa ini gagasan-gagasan jihadis radikal ala ISIS rupanya makin memikat kaum muda.
Data yang ada memang mengejutkan. Negara Belgia yang kecil itu, dengan jumlah penduduk tak lebih dari 11 juta jiwa, ternyata menjadi salah satu penyumbang terbesar para jihadis yang berperang untuk ISIS di Suriah atau Irak. Penelitian yang ada menunjukkan sekitar 450 orang Belgia pergi berjihad – jumlah yang lebih besar dari perkiraan resmi pemerintah, yakni antara 300 – 350 orang. Sebagian besar dari mereka adalah anak-anak muda keturunan Maroko yang lahir di Belgia, dan bertumbuh di daerah pinggiran kota Brussels, khususnya Molenbeek.
Di kota itulah nama-nama yang selama ini terkait dengan teror di Paris pernah tinggal dan bekerja, seperti Abdelhamid Abaaoud (kini dipercaya ada di Suriah), Brahim Abdeslam (pelaku bom bunuh diri saat teror di Paris, sebelumnya memiliki bar di Molenbeek) maupun saudaranya, Salah Abdeslam, yang berhasil diringkus pihak keamanan. Dengan daftar seperti itu, orang layak bertanya, apa sebenarnya yang terjadi di Molenbeek?
Sulit mencari jawaban pasti. Tetapi kritik pedas Claude Moniquet, mantan agen rahasia Belgia yang menjadi salah satu pendiri European Strategic Intelligence and Security Center, patut direnungkan. Kepada CNBC, Moniquet menyebut, kemiskinan dan segregasi di Molenbeek merupakan faktor utama tumbuh suburnya ekstrimisme. Di beberapa bagian Molenbeek, sekitar 80 sampai 90 persen penduduknya Muslim. “Jadi tidak ada percampuran, atau interaksi dengan komunitas lain,” katanya.
Pemerintah juga hampir tidak pernah menaruh perhatian pada apa yang terjadi dalam masyarakat di situ. “Tidak ada upaya serius pemerintah untuk melawan ideologi ekstrim itu,” ujarnya. “Mereka membiarkan saja orang-orang itu melakukan apa yang dimaui. Para politisi berusaha kelihatan baik, sangat toleran, tidak punya sikap. Mereka tidak mau mengakui adanya kelompok radikal Islam berkembang di wilayah itu, karena satu-satunya yang menarik bagi mereka adalah kedamaian dan ketenteraman serta dipilih lagi.”
Jika kritik pedas Moniquet benar, maka peristiwa “Selasa Hitam” baru merupakan puncak gunung es yang menantang pemerintah Belgia, atau bahkan Uni Eropa secara keseluruhan.
Editor : Trisno S Sutanto
Ratusan Tentara Korea Utara Tewas dan Terluka dalam Pertempu...
WASHINGTON DC, SATUHARAPAN.COM-Ratusan tentara Korea Utara yang bertempur bersama pasukan Rusia mela...