Seleksi Hakim Agung: Taufiqurrahman Sahuri Pertanyakan Vonis Koruptor Lebih Rendah dari Teroris
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Taufiqurrahman Syahuri, komisioner Komisi Yudisial (KY) heran terhadap vonis dari koruptor kenapa hakim cenderung berat sebelah. Pernyataan ini merupakan pertanyaan yang diajukan Djohansjah dalam Wawancara Terbuka Calon Hakim Agung (CHA), Kamis (25/7) di Gedung KY, Jakarta.
Djohansjah menanyakan hal ini kepada Jusran Thawab, salah seorang peserta seleksi hakim agung dari kamar pidana.
“Hukuman bagi terpidana korupsi, dari fakta di lapangan yang saya lihat, kurang dari lima tahun, tetapi kok buat teroris kenapa selalu lebih dari sepuluh tahun?” tanya Taufiqurrahman. Apakah ini tradisi dari hakim di pengadilan?
“Kalau begitu, apakah ini ada kesepakatan hakim-hakim di Indonesia bahwa kalau teroris hukumannya lebih dari sepuluh tahun, kalau koruptor kurang dari lima tahun,” tanya Taufiqurrahman menegaskan.
Jusran menjawab bahwa setiap hakim anggota dan hakim majelis memiliki pertimbangan berbeda-beda. “Ini bukan tradisi dari hakim. ...Saya lihat dulu kesalahannya. Kalau banyak yang meringankan, tentu hukuman akan saya kurangi. Andai dakwaan berat, maka vonis saya gandakan,” jawab Jusran.
Dalam pertanyaan lainnya, panelis Djohansjah mengatakan bahwa Mahkamah Agung (MA) dianggap kurang transparan, karena berbagai putusan dari pengadilan negeri dan tinggi tidak segera ditampilkan di situs weibsite.
Awalnya Djohansjah menanyakan tentang kejelasan sebuah putusan dari perkara di pengadilan, dan d imana pihak yang berperkara menemukan putusan perkara tersebut. “Transparansi yang dicetak di buku biru (buku rekap perkara) Mahkamah Agung apakah sudah terlaksana semua?” tanya Djohansjah.
Jusran menjawab bahwa putusan sudah disediakan di laman resmi Mahkamah Agung. “Setiap putusan sudah termuat di situs,” kata dia. Sebelum Jusran meneruskan jawabannya, Djohansjah memotong. Menurut dia dalam situs resmi Mahkamah Agung saat ini tidak semua putusan dari pengadilan-pengadilan di Indonesia dimuat. Ada yang cepat, ada yang lambat, dan tidak teratur. Oleh karena itu, Djohansjah mengatakan kepada Jusran bahwa MA kurang transparan.
“Transparansi dari MA saat ini kurang, karena mereka yang memasukkan perkara dua tahun lalu, saat ini belum kelihatan hasilnya (di situs resmi MA),” kata Djohansjah.
Hari ini panelis tambahan dalam kamar pidana menghadirkan Prof.Dr. Aswanto. Peserta seleksi CHA dari kamar pidana adalah Jusran Thawab, Dohmatiga Pasaribu (Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Sumatra Utara), Mulijanto (Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Palembang), Sumardijatmo (Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Bandung), dan Tiarsen Buaton.
Editor : Sabar Subekti
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...