Sempitnya Pemahaman Agama Picu Gerakan Radikalisme
KUPANG, SATUHARAPAN.COM – Pemahaman agama yang relatif sempit menjadi salah satu faktor pendorong lahirnya gerakan radikalisme di Indonesia.
Selain itu ada penyebab lain, yaitu tidak menyadari makna Bhinneka Tunggal Ika, adanya ketidakadilan dalam kehidupan bermasyarakat, tidak puas terhadap kebijakan pemerintah, dan sentimen agama yang berlebihan. Semua menjadi pemicu lahirnya gerakan tersebut.
Wadir Binmas Polda NTT, AKBP Drs. Dominicus S. Yempormase mengungkapkannya dalam dialog Inter dan Antar Umat Beragama Tingkat Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang diselenggarakan Kesbangpol NTT di Kupang, Senin (29/2) petang.
Menurut Dominicus, paham ISIS yang menggemparkan dunia belakangan mendapat perhatian luas dari dunia internasional, termasuk Indonesia. Hal ini tidak lepas dari aksi sadis seperti membantai orang yang tidak berdosa yang dipertontonkan oleh gerakan paham radikal tersebut kepada publik, khususnya melalui media sosial.
“Ironisnya lagi, gerakan tersebut menamakan diri Daulah Islamiyah atau negara Islam. Eksesnya, disadari atau tidak, dan diakui atau tidak, gerakan itu telah mencoreng agama Islam yang rahmatan lil alamin,” katanya.
Dia mengungkapkan, untuk menangkal gerakan radikal maka perlu dibangun kebersamaan, hayati nilai-nilai luhur Pancasila sebagai Dasar Negara, mempertebal rasa kebangsaan, sadar bahwa kita berdiri di atas keanekaragaman, serta memahami ajaran agama yang dianut dengan baik.
Selain itu, perlu membangun kesadaran bahwa untuk memerangi radikalisme itu perlu kerja sama seluruh elemen masyarakat, mengawasi pendatang baru teristimewa WNA yang akhir-akhir ini cukup banyak ke NTT dengan tujuan apa pun baik dakwah, kunjungan wisata maupun maksud lainnya.
“Mantan narapidana gerakan radikalisme perlu dibina agar kembali ke jalan yang benar, para Lurah/Kades, Bhabinkamtibmas, Babinsa perlu digerakkan untuk melakukan deteksi dini, serta memasukkan Deradikalisasi dalam Program WQ sebagaimana tercantum dalam Renstra Polri maupun Renstra Polda NTT 2015-2019,” ungkapnya.
Kepala Badan Kesbangpol NTT, Sisilia Sona mengatakan, menangkal perkembangan paham radikalisme merupakan tugas dan tanggung jawab bersama dan dibutuhkan kerja sama semua komponen masyarakat di NTT.
“Kita menyadari betul bahwa untuk menangkal paham radikal itu bukan saja tugas instansi pemerintah, kita ingin mengajak semua komponen dan yang pertama kita berikan pemahaman adalah pemimpin agama,” kata Sisilia.
Dia menambahkan, jika pemimpin umat mampu menjalankan perannya dengan baik maka umat tidak akan melakukan penyimpangan-penyimpangan yang bertentangan dengan nilai-nilai dan kaidah keagamaan, dengan demikian secara otomatis menjadi warga negara yang baik.
Editor : Bayu Probo
Kekerasan Sektarian di Suriah Tidak Sehebat Yang Dikhawatirk...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Penggulingan Bashar al Assad telah memunculkan harapan sementara bahwa war...