Senja Kala Pemberantasan Korupsi
SATUHARAPAN.COM - Indonesia tengah memasuki senja kala pemberantasan korupsi?
Keputusan hakim tunggal, Sarpin Rizaldi, pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tentang gugatan praperadilan status tersangka Komjen Pol Budi Gunawan, hari Senin (16/2), dengan mengabulkan gugatan, dan menyatakan penetapan tersangka oleh KPK dinyatakan tidak berdasarkan hukum
Kasus ini bermula ketika Budi Gunawan diajukan sebagai calon tunggal Kapolri oleh Presiden Joko Widodo, namun kemudian ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sementara DPR terus memproses seleksi calon tersebut, bahkan menyetujui tanpa mempertimbangkan penetapan KPK, bahkan cenderung menyalahkan KPK.
Keputusan ini kemungkinan akan menjadi dasar bagi Jokowi untuk melantik Budi Gunawan sebagai Kapolri. Padahal keputusan ini tampaknya menyimpan sejumlah kontroversi, yang makin menambah rumit masalah pencalonan yang menyebabkan konflik antara KPK dan Polri. Korban konflik ini makin nyata adalah masa depan pemberantasan korupsi di Indonesia.
Ada beberapa hal yang patut untuk dikritisi dari keputusan PN Jaksel ini.
Pertama, KPK dinyatakan tidak sah dalam menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka karena dia bukan pejabat eselon I dan bukan penegak hukum. Putusan ini membuat publik mempertanyakan apakah seseorang yang bukan pejabat eseleon I dan bukan penyelenggara negara, dengan demikian, tidak bisa diselidiki atau disidik dalam perkara korupsi oleh KPK?
Jika ini dijadikan dasar, maka pemberantasan korupsi makin sulit. Upaya pemberantasan korupsi bakal sia-sia, sebab telah dibatasi tanpa dasar yang patut. Sifat luar biasa pada kejahatan korupsi termasuk melibatkan jaringan yang kuat dan luas. Kejahatan ini melibatkan orang-orang di luar penyelenggara negara, dan banyak pihak, termasuk yang bukan pejabat eselon I.
Jadi, pertimbangan ini selayaknya digugat. Ada sejumlah peraturan terkait yang tidak dipertimbangkan dalam keputusan ini. Lagipula bahwa tindakan pidana korupsi itu bukan semata-mata terkait jabatan pelaku, tetapi terutama adalah tindakannya yang memenuhi unsur korupsi.
Kedua, perakara Budi Gunawan terkait ketika dia menjabat Kepala Biro Pembinaan Karyawan dan bukan sebagai penyidik, sehingga hakim menyebut dia bukan penegak hukum, dan karenanya penetapan KPK tidak sah. Ini mengundang pertanyaan, apakah berarti bahwa polisi yang tidak sebagai penyidik bukan penegak hukum?
Jika penegak hukum adalah yang terkait penyidikan, dan hanya mereka yang korupsinya boleh disidik oleh KPK, bagaimana korupsi oleh polisi yang lain? Mampukah Polri membersihkan dirinya dari korupsi? Dan harus diingat bahwa adanya KPK adalah karena Polri tidak mampu memberantas korupsi, bahkan dalam dirinya sendiri.
Ketiga, hakim telah mengambil keputusan yang menyangkut wewenang pengadilan tindak pidana korupsi, terutama dengan menolak eksepesi tergugat (KPK) yang tidak mau menyerahkan bukti penyidikan.
Jika keputusan ini tidak dikoreksi, maka setiap tersangka korupsi bisa mengunggugat melalui pra peradilan dan menuntut dibukanya bukti oleh KPK. Padahal hal ini akan menjadi materi dalam persidangan di pengadilan Tipikor. Jika ini dijadikan acuan, maka proses penyidikan makin terseok-seok, bahkan bisa menjadi sarana tersangka dan jaringannya menghindari proses hukum.
Keempat, keputusan ini menunjukkan ada kecenderungan kuat bahwa pemberantasan kejahatan yang luar biasa ini hanya diarahkan untuk pemenuhan asas formalitas, sementara untuk memberantas kejahatan jenis ini membutuhkan berbagai upaya yang juga luar biasa. ‘’Kecerdasan’’ dan juga ‘’kelicikan’’ koruptor akan dengan mudah menggunakan celah yang makin lebar ini untuk kebal dari hukum.
Kelima, selama ini korupsi hanya dikaitkan dengan terjadinya kerugian keuangan negara. Karena kasus yang disangkakan (suap atau gratifikasi) dan tidak ada kerugian keuangan negara, maka itu bukan korupsi. Mindset ini adalah cara koruptor menghindari tanggung jawab hukum, sebab kerugian negara jauh lebih besar melampaui ada-tidaknya kerugian keuangan. Korupsi adalah kejahatan yang merapuhkan landasan hukum negara, dan menjadi sumber runtuhnya negara.
Lima hal itu adalah hal yang paling serius kita hadapi sekarang. Oleh karena itu, pihak tergugat (KPK) harus memanfaatkan upaya hukum selanjutnya yang tersedia untuk mengoreksi hal-hal tersebut. Kalau tidak, kita akan mengalami kemerosotan besar dalam penegakkan hukum, terutama dalam menghadapai korupsi yang sudah sangat menjijikkan.
Keputusan ini telah menjadi kontroversi yang membuat Indonesia makin dalam terperosok ke arah kegagalan sebagai negara hukum. Jika keputusan ini juga dijadikan dasar oleh presiden untuk mengangkat Budi Gunawan sebagai Kapolri, maka kontroversi yang telah dimulai oleh Presiden sendiri akan membuat kontroversi yang makin vulgar, bahkan bisa bahaya.
Bahaya itu terletak ketika ketaatan pada hukum jadi masalah serius, terutama ketika aparat berada di atas hukum dan hukum hanya menjadi alat kepentingan. Situasi itu sebenarnya memposisikan sikap membiarkan negara dalam kegagalan yang sesungguhnya.
Masalahnya, bagaimana bisa hal ini terjadi di Indonesia ketika dipimpin Presiden Joko Widodo yang disebut-sebut dekat dengan rakyat (yang sudah muak dengan korupsi)? Bagaimana ini terjadi dalam revolusi mental? Bagaimana bisa terjadi pemberantasan korupsi dipukul secara telak di tengah program ‘’Nawa Cita’’ yang menempatkan pemberantasan korupsi sebagai cita kedua?
Awas Uang Palsu, Begini Cek Keasliannya
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Peredaran uang palsu masih marak menjadi masalah yang cukup meresahkan da...