''Sesat'' Memberantas Korupsi
SATUHARAPAN.COM – Perdebatan tentang ‘’perseteruan’’ Polri dan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) tampaknya mereda setelah Presiden Joko Widodo menetapkan calon baru Kapolri dan pelaksana tugas tiga pemimpin KPK.
Namun hal ini bukan berarti bahwa persoalan telah selesai, karena baru sebatas ‘’dipaipini batu ma pipang’’, kata orang Toraja yang berarti ditutup atau ditindih dengan batu pipih. Masalah memang jadi tidak kelihatan, tapi bukan berarti tidak ada. Yang penting justru situasi ini harus menjadi momentum perubahan mendasar pemberantasan korupsi. Kita perlu mengoreksi diri, karena ada ‘’kesesatan’’ dalam pemberantasan korupsi, dan juga perubahan untuk penataan kelembagaan.
Sesat Ingatan
Masalah utama dalam pemberantasan korupsi belakangan ini adalah lupa (atau sengaja melupakan) amanat reformasi yang salah satu butirnya mengenai memberantas KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme). Sudak 15 tahun reformasi berjalan (atau bahkan berlalu), namun kita belum tangguh menghadapi korupsi, bahkan terseok-seok. Sedangkan kolusi dan nepotisme terus bercokol dalam kehidupan pemerintahan.
Kita ''sesat'', karena melupakan amanat itu. Tiga lembaga penting yang secara konstitusional mengemban amanat ini adalah kepolisian, kejaksaan dan pengadilan. Namun runtuhnya kepercayaan pada ketiga lembaga itu akibat pemerintahan Orde Baru, mendorong dibentuk lembaga ad hock untuk menghabisi KKN, dan terbentuklah KPK yang telah bekerja dalam satu dekade ini.
Namun belakangan ini, amanat reformasi makin dilupakan, bahkan korupsi makin tak terkendali. Stiker yang menampilkan gambar mantan Presiden Soeharto dengan tulisan ‘’Enak Jamanku, to?’’ adalah cibiran bagi kita, dan seharusnya terasa sangat menyakitkan bagi penjabat penegak hukum; atau sebaliknya nuraninya telah tumpul oleh sesat ingatan itu.
Memberantas KKN adalah amanat reformasi agar negara ini maju dan bermartabat. Yang duduk dalam pemerintahan semestinya menjalankan amanat ini.
Sesat Agenda
''Kesesatan'' kita yang kedua adalah lembeknya semangat pemberantasan KKN sebagai agenda nasional. Ada kesan bahwa hal ini hanya agenda pemerintah, bahkan sebatas pemerintah pusat, dan hanya sedikit pemerintah daerah yang peduli.
Dalam konflik KPK – Polri belakangan ini, kita juga menyaksikan bagaimana politisi dari partai koalisi pendukung pemerintah pun ada yang memamerkan pernyataan dan sikap yang konttra pemberantasan KKN, bahkan cenderung memperkuat korupsi. Lembaga inspektorat jenderal di kementerian, misalnya, yang semestinya sebagai institusi pengawasan untuk mencegah korupsi, juga terlihat pasif.
Selama satu dekade KPK bekerja keras, tetapi kasus korupsi baru makin menjadi-jadi, dan diyakini terlalu banyak yang belum bisa dibongkar. Korupsi juga terjadi di semua lembaga pada arash nasional hingga daerah. Daftar pejabat publik tersangkut perkara korupsi pun sangat panjang.
Oleh karena itu, sekarang harus ditegaskan kembali bahwa pemberantasan KKN adalah agenda nasional. Polri, kejaksaan, pengadilan dan KPK harus menjadi motor untuk menjadikan perlawanan pada korupsi sebagai gerakan. Presiden perlu tegas dengan amanat ini pada pemimpin lembaga negara dan pemerintahan, terutama tiga lembaga itu.
Rakyat yang merindukan negara terbebas dari korupsi juga wajib ‘’bertobat’’ dengan menolak setiap figur yang tidak pro pemerintah bersih masuk pada lembaga pemerintahan. Hal ini stidaknya dilakukan dengan menggunakan setiap suara secara benar dan tepat. Situasi sekarang, sebagai bangsa kita dicibir sebagai ‘’hipokrit’’ karena muak dengan korupsi, tetapi ada banyak di jabatan di pemerintahan yang tetap leluasa korupsi, dan kasusnya tak tersentuh, dan mereka duduk dijabatan karena ‘’dipilih’’ rakyat.
Mereka yang membela KPK (bukan pejabat KPK) agar tidak dilemahkan adalah warga negara yang sadar untuk terlibat dalam membangun kekuatan melawan korupsi. Kekuatan ini harus meluas. Sayangnya, ada warga negara yang justru menempatkan diri pada sebagai oposisi terhadap kekuatan dari rakyat ini. Lebih celaka lagi, ada pejabat negara yang memamerkan ‘’kesesatan’’-nya dengan mengritik mendukung pemberantasan korupsi ini sebagai tindakan kekanak-kanakan.
Presiden, Polri, kejaksaan, pengadilan dan KPK semestinya menjadi motor agar secara nasional kita tidak ‘’sesat’’ akibat abai pada pemberantasan KKN sebagai agenda nasional.
Sesat Terlibat
Masalah penting yang harus dikoreksi adalah ada yang ‘’sesat’’ dengan menempatkan pemberantasan koruspsi ‘’hanya’’ sebagai amanat bagi KPK. Lembaga penegak hukum lain tampak ‘’pasif’’ kalau bukan justru ‘’kontra.’’ Politisi parlemen terlalu sering ‘’menggali kubur’’ bagi pemberantasan korupsi.
Dibandingkan kekuatan korupsi, KPK menjadi terlalu lemah untuk menghadapi setiap pertempuran dalam perang besar melawan korupsi. Pernyataan mantan Kabareskrim Polri, Susno Duadji, tentang ‘’cicak dan buaya’’ untuk membandingkan KPK dan Polri, adalah hal yang konkret bagaimana KPK kecil dan dikecilkan. Padahal korupsi dilindungi oleh kekuatan besar.
Kesesatan ini, jika tidak segera dikoreksi, maka yang terjadi adalah ‘’cicak’’ KPK akan terus menghadapi ‘’buaya’’ korupsi yang akan berakhir dengan kelelahan ‘’si cicak,’’ sementara ‘’si buaya’’ tenang-tenang menikmati hasil kejahatannya.
Pertobatan dari ‘’kesesatan’’ ini, adalah menempatkan kembali pemberantasan KKN sebagai agenda nasional, di daerah hingga pusat, dan pada semua lembaga pemerintahan. Perubahan mind set harus terjadi pertama-tama pada lembaga penegak hukum: Polri, Kejaksaan, Pengadilan dan KPK, dengan menjadikan pemberantasan KKN sebagai program prioritas ke dalam dan ke publik.
Plt Ketua KPK, Taufiequrachman Ruki, perlu fokus pada menyatukan kekuatan tiga lembaga ini dalam menghabisi KKN, sehingga terbentuk kekuatan yang memadai untuk penyidikan dan penuntutan menghadapi kasus-kasus korupsi yang di belakangnya adalah orang-orang kuat. Melawan korupsi harus menjadi spirit bangsa ini. Kalau tidak, ‘’spirit bangsat’’ yang menguasai negeri ini.
Sesat Bukan Sementara
KPK dibentuk sebagai lembaga ad hock, namun reformasi pada lembaga kepolisian, kejaksaan dan pengadilan sebagai kekuatan memberantas korupsi tidak terjadi. Anehnya, ada politisi di parlemen yang meminta KPK dibubarkan, dan wewenangnya dikembalikan kepada Polri dan kejaksaan, tapi tutup mata terhadap kenyatan pada lembaga itu dalam spirit dan kekuatan bertempur melawan korupsi.
KPK memang lembaga ad hock, tetapi memberantas korupsi adalah tugas sepanjang perjalanan negara ini. Kita bisa sesat kalau korupsi hanya ditangani lembaga ‘’sementara’’, padahal korupsi bukan ‘’kejahatan sementara.’ Korupsi adalah ancaman dan musuh yang selalu nyata bagi negara.
Amanat reformasi memberantas KKN adalah amanat ‘’abadi, seabadi’’ eksistensi negara ini. KPK boleh tidak ada atau berubah, tetapi pemberantasan dan pencegahan korupsi harus tetap ada, karena pemegang kekuasaan cenderung korup. Makin tinggi kekuasaan makin kuat kecenderungan korupnya, dan karenanya standar anti korupsi bagi pejabat publik adalah mutlak.
Jika pemberantasan korupsi adalah tugas seumur hidup (permanen) bagi negara ini, maka lembaga yang mengemban amanat itu juga harus lembaga yang keberadaannnya permanen. Dalam jangka panjang, sangat tidak memadai melawan kejahatan luar biasa ini dengan lembaga ad hock. Tidak boleh lagi terjadi lembaga pemberantasan KKN terganggu kinerjanya hanya karena orang di dalamnya terlibat perkara hukum.
Pemerintah dan parlemen harus segera menghentikan ‘’kesesatan’’ ini dengan membuat landasan hukum untuk lembaga ini, agar menjadi kuat dan memiliki ketangguhan moral dalam menghadapi kejahatan KKN.
Awas Uang Palsu, Begini Cek Keasliannya
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Peredaran uang palsu masih marak menjadi masalah yang cukup meresahkan da...