Setahun Jokowi-JK, Negara Dinilai Belum Lindungi Buruh Migran
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Selama satu tahun pemerintahan Joko Widodo, negara dinilai belum sepenuhnya hadir melindungi buruh migran. Hal itu disampaikan oleh aktivis buruh migran yang tergabung dalam Jaringan Buruh Migran (JBM) dalam rangka menyambut peringatan Hari Buruh Migran Internasional 18 Desember nanti.
JBM menunjuk data yang dikeluarkan Kementerian Luar Negeri yang mengatakan dalam kurun ahun 2011 sampai dengan bulan Oktober 2015 terjadi kenaikan kasus dalam perdagangan manusia (trafficking). Selama tiga tahun terakhir kenaikan kasus sebanyak 52,5 persen, termasuk kasus deportasi dan juga kasus perdagangan anak buah kapal (ABK). Sementara data dari Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) mencatat dari 321 kasus yang ditangani saat ini, rata-rata lebih dari satu pelanggaran terjadi.
Langkah ratifikasi seharusnya diikuti dengan harmonisasi kebijakan, baik ditingkat nasional maupun lokal. Namun hingga tiga tahun konvensi berjalan, ratifikasi dinilai belum terlihat secara signifikan dari pemerintah. Program-program pemerintah terkait dengan buruh migran terkesan hanya sebagai program parsial dan bukan solusi dari akar permasalahan sebenarnya. Salah satunya tentang Roadmap Zero Domestic Workers dan moratorium yang cenderung diskriminatif terhadap buruh migran, khususnya bagi kelompok perempuan buruh migran yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga (PRT).
Tahun 2015 sebagai tahun penentu, apakah pengambil kebijakan, baik pemerintah maupun Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) benar-benar melindungi buruh migran, atau hanya sekadar pencitraan. Dua hal besar yang akan dihadapi saat ini adalah integrasi nasional menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) dimana perpindahan orang dari satu negara ke negara lain semakin terbuka dan lebih mudah. Sementara ASEAN selama ini hanya banyak mendiskusikan soal perjanjian perdagangan, maupun aspek ekonomi lainnya, dan tidak menyinggung mengenai perlindungan buruh migran, terutama yang tidak bekerja dalam sektor formal.
Pembahasan ASEAN yang dilahirkan berdasarkan deklarasi Cebu pada tahun 2007 masih mengalami kebuntuan atau deadlock sampai saat ini. Hal tersebut menunjukan bahwa perlidungan buruh migran tidak menjadi prioritas bagi para pemimpin ASEAN.
Kedua, DPR telah memasukkan perubahan terhadap Undang Undang (UU) Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia dalam prolegnas prioritas. Meski sudah dibahas melalui rapat paripurna pada Oktober 2015 lalu dengan hasil revisi Rancangan Undang Undang (RUU) Nomor 39 Tahun 2004, sampai saat ini belum menghasilkan perubahan signifikan untuk mengatur perlindungan buruh migran secara konprehensif berdasarkan prinsip perlindungan dalam Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) tahun 1990.
Rencananya, pada peringatan Hari Buruh Migran Internasional nanti akan digelar aksi longmarch pada tanggal 18 Desember 2015 dari lapangan Silang Monas menuju Istana Negara untuk menuntut kepada Presiden Joko Widodo tentang nasib para buruh migran. Selain itu JBM juga meluncurkan sosial media dengan akun #i[M]igrant sebagai bentuk dukungan mengajak masyarakat terlibat dalam mengkampanyekan perlindungan serta persoalan buruh migran.
Hal itu disampaikan Savitri Wisnu Wardani Sekretaris JBM, bersama dengan Nursalim, dan Eny Rofiatul dalam jumpa pers yang digelar di kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Jalan Pangeran Dipoenogoro, Jakarta Pusat, hari Selasa (15/12).
Editor : Eben E. Siadari
Jerman Berduka, Lima Tewas dan 200 Terluka dalam Serangan di...
MAGDEBURG-JERMAN, SATUHARAPAN.COM-Warga Jerman pada hari Sabtu (21/12) berduka atas para korban sera...