Setara: Sepuluh Paradoks Kepemimpinan SBY
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Ketua Setara Institute Hendardi bersama jajarannya memberikan keterangan kepada wartawan di kantor Setara Institute, Jalan Danau Gelinggang, Jakarta, Senin (13/10) terkait 10 paradoks catatan akhir masa bakti kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono.
Masa bakti jabatan kepresidenan pemerintahan Sisilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Boediono akan berakhir pada 20 Oktober 2014. Naik ke puncak pimpinan negeri ini pada 2004, SBY adalah pemimpin pertama yang dipilih secara langsung, sebagai mandat dari UUD 1945 hasil amandemen. Pasal 6A ayat 1 UUD Negara RI menyebutkan "Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat."
Eksperimentasi hasil amandemen UUD 1945 yang mengubah sistem pemilihan, karena Presiden bukan lagi sebagai mandataris MPR, pada 2004 telah sukses dan mengantar SBY menjadi produk Pilpres demokratis pertama. Pada pilpres 2009, SBY bahkan menang satu putaran. Dengan modal dukungan politik yang besar plus penguatan sistem presidensil dalam sistem pemerintahan Indonesia, SBY telah berkontribusi membangun stabilitas politik selama 10 tahun terakhir.
SBY juga telah banyak meletakkan fondasi demokratisasi dan pembangunan yang berkelanjutan. Dengan segenap kewenangan yang melekat padanya sebagai presiden, sangat wajar kemudian di akhir masa baktinya SBY mengklaim pembukuan prestasi yang membanggakan.
Sederet prestasi yang yang dikemukakan SBY jelas bukan tiada dasar faktanya, catatan prestasi terpilih adalah dirasakan oleh rakyat meskipun pelaksanaan dari semua prestasi itu tidak sempurna.
Mengimbangi kisah prestasi SBY, penting bagi rakyat untuk juga mengetahui berbagai kontradiksi atau paradoks kebijakan, program, yang terjadi sepanjang 10 tahun SBY memimpin Indonesia.
Setara Institute mencatat setidaknya 10 paradoks kepemimpinan SBY. Namun diantara kesepuluh paradoks tersebut di paradoks ketiga catatan Setara Institute mengatakan, Pemimpin Paling Toleran terhadap Toleransi. Sama seperti isu demokrasi di negara muslim terbesar, isu toleransi juga menjadi kapital politik kepemimpinan SBY dalam diplomasi Internasional.
Toleransi inilah yang juga dieksploitasi untuk memperoleh berbagai dukungan internasional baik untuk memperoleh pinjaman maupun dukungan politik lain. Indonesia, sekali lagi, menjadi role model tata kelola keberagaman. Berbagai laporan kondisi kebebasan beragama dan berkeyakinan menunjukan eskalasi peristiwa pelanggaran kebebasan beragama.
Laporan Setara Institute pada 2007 setiap tahun rata-rata terdapat 200 peristiwa pelanggaran. Sebagian besar peristiwa itu tidak pernah mendapatkan penanganan hukum yang berarti. SBY, yang oleh dunia internasional pernah diberi award atas kontribusi dalam memajukan toleransi, sebagai presiden sesungguhnya mampu mengambil tindakan atas berbagai kasus intoleransi yang marak terjadi di Indonesia. Tetapi SBY justru diam, kecuali dalam beberapa peristiwa, SBY kemudian bertindak. Itu pun setelah mendapat tekanan publik di Indonesia dan dunia internasional.
Toleransi SBY juga tidak teruji saat menghadapi desakan pembubaran Ahmadiyah. SBY malah menerbitkan SKB tiga menteri yang pada intinya membatasi Ahmadiyah.
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Otoritas Suriah Tunjuk Seorang Komandan HTS sebagai Menteri ...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Penguasa baru Suriah telah menunjuk Murhaf Abu Qasra, seorang tokoh terkem...