Loading...
DUNIA
Penulis: Sabar Subekti 08:48 WIB | Kamis, 02 Januari 2025

Setelah Tinggalkan Gedung Putih, Jimmy Carter Aktif Perluas Demokrasi di Seluruh Dunia

Setelah Tinggalkan Gedung Putih, Jimmy Carter Aktif Perluas Demokrasi di Seluruh Dunia
Mantan Presiden Amerika Serikat, Jimmy Carter, kiri, bertemu dengan kandidat presiden Nicaragua, Daniel Ortega, dari Front Pembebasan Nasional Sandinista pada 19 Oktober 1996 di Managua, Nicaragua. (Foto: dok. AP/Brennan Linsley)
Setelah Tinggalkan Gedung Putih, Jimmy Carter Aktif Perluas Demokrasi di Seluruh Dunia
Foto yang disediakan oleh Gedung Putih tentang petremuan tingkat tinggi Timur Tengah, dari kiri Presiden Mesir, Anwar Sadat, Presiden AS, Jimmy Carter, dan Perdana Menteri Israel, Manachem Begin, pada pertemuan pertama di Camp David, 6 Septermber 1978. (Foto: dok. Gedung Putih via AP)

HARARE, SATUHARAPAN.COM-Di tengah semua hal lain di mejanya: krisis penyanderaan di Iran, kekacauan ekonomi dalam negeri, invasi Uni Soviet ke Afghanistan, dan pertarungan pemilihan ulang yang melelahkan pada tahun 1980, Presiden Jimmy Carter mengangkat kemerdekaan sebuah negara di Afrika Selatan sebagai agenda utama.

Carter menjamu pemimpin Zimbabwe saat itu, Robert Mugabe, di Gedung Putih segera setelah negaranya memperoleh kemerdekaan dan kemudian menggambarkan penerapan demokrasi di Zimbabwe sebagai "satu-satunya keberhasilan terbesar kami."

Tiga dekade kemudian, Carter, yang sudah lama tidak menjabat, mendapati pintu tertutup rapat ketika ia dan pejabat tinggi lainnya berupaya mengunjungi Zimbabwe dalam misi kemanusiaan untuk mengamati pelanggaran hak asasi manusia yang dilaporkan setelah pemilihan umum yang disengketakan dengan kekerasan pada tahun 2008. Ia telah menjadi kritikus rezim Mugabe dan ditolak visanya.

Carter tidak menyerah. Dari negara tetangga Afrika Selatan, ia mengandalkan utusan dari Zimbabwe untuk memberikan kesaksian tentang kekerasan dan tuduhan kecurangan pemilu. Upaya tersebut mencerminkan komitmen panjang mantan presiden tersebut untuk mempromosikan demokrasi di seluruh dunia.

Hal ini "lebih dari apa pun memperkuat warisan Carter" sebagai pendukung pemilihan umum yang bebas dan adil di seluruh Afrika, kata Eldred Masunungure, mantan dosen ilmu politik di Universitas Zimbabwe.

"Carter tidak berubah. Zimbabwe yang berubah. Mugabe terombang-ambing dari cita-cita demokrasi yang sangat dijunjung tinggi Carter," katanya. "Insiden tersebut menunjukkan konsistensi Carter, keteguhannya."

Evolusi Zimbabwe menuju autokrasi ternyata menjadi jenis skenario yang telah lama ingin dicegah oleh Carter Center dengan mengerahkan pengamat dan mengembangkan standar pemungutan suara di negara-negara yang berjuang untuk membentuk demokrasi.

Didirikan pada tahun 1982, dua tahun setelah Carter kalah dalam upayanya untuk masa jabatan kedua, pusat tersebut telah menjadi upaya khas Carter untuk mempromosikan pemilihan umum yang adil sebagai sarana perdamaian.

Pusat tersebut telah mengirim pengamat untuk memantau sekitar 125 pemilihan umum di 40 negara dan tiga negara suku, dan telah diakui membantu memperluas demokrasi di seluruh dunia. Ini juga dilakukan Carter Center pada Indonesia ketika digelar Pemilu 1999, pemilu pertama setelah reformasi yang diakui pemilu yang demokratis.

"Kewenangan moral Carter, kepercayaan yang diberikan orang kepadanya, dan kredibilitas seseorang yang pernah menang dan kalah dalam pemilihan umum" berkontribusi pada keberhasilan ini, kata David Carroll, kepala program demokrasi pusat tersebut, kepada The Associated Press.

Carter, yang meninggal pada hari Minggu (29/12) di usia 100 tahun, dianugerahi Penghargaan Nobel Perdamaian pada tahun 2002 atas kerja pusat tersebut dalam mendukung pemilihan umum, mempromosikan hak asasi manusia, dan membantu negara-negara berkembang mengembangkan lembaga ekonomi, sosial, dan kesehatan masyarakat.

Dimulai di Panama

Pekerjaan pemilihan umum tersebut dimulai di Panama, tempat Carter menjadi khawatir tentang pemilihan umum tahun 1989 setelah laporan tentang anggota milisi bersenjata berpakaian sipil yang menyita catatan pemungutan suara pada malam hari.

Pusat Carter baru saja memutuskan untuk memperluas misinya dalam resolusi konflik dan hak asasi manusia untuk mencakup pemantauan suara, dengan menyimpulkan bahwa pemilihan umum yang demokratis sangat penting untuk menyelesaikan perselisihan politik.

"Dengan bahasa Spanyol saya yang tidak lancar, saya berdiri di atas meja, dan saya mengecam pemilihan umum tersebut sebagai penipuan," kenang Carter dalam sebuah video tahun 2015 yang menandai misi pemantau pemilihan umum ke-100 pusat tersebut. “Kemudian ada pemilihan umum lagi, yang jujur ​​dan adil, dan itulah kelahiran demokrasi sejati di Panama.”

Pusat tersebut juga membantu menyelamatkan proses perdamaian di Nepal, kemudian mengawasi pemilihan umum negara itu yang ditunda dua kali pada tahun 2008 untuk memilih majelis yang akan bertugas menulis konstitusi. Carter melakukan beberapa perjalanan ke negara Asia Selatan itu, mengadakan negosiasi maraton dengan mantan pemberontak dan politisi papan atas untuk menjaga agar proses perdamaian tetap pada jalurnya.

“Ada jalan buntu di negara itu. Partai-partai politik tidak duduk bersama, dan tidak ada jalan keluar tentang bagaimana proses itu akan berlanjut,” kata Bhojraj Pokharel, kepala komisioner pemilihan umum Nepal pada tahun 2008, yang kemudian bekerja dengan Carter di Kongo dan Myanmar.

Pada hari pemilihan umum Nepal, Carter pergi ke puluhan tempat pemungutan suara untuk berbicara dengan para pemilih. Pemungutan suara berlangsung damai meskipun sebelumnya ada kekhawatiran akan terjadinya kekerasan.

“Kehadirannya sendiri merupakan pesan kepada penduduk Nepal dan para pemilih tentang integritas pemilihan umum,” kata Pokharel.

Carter Center sering bekerja di negara-negara dengan sedikit atau tanpa pengalaman dalam pemerintahan perwakilan dan di mana kepercayaan hampir menguap karena kekerasan.

Setelah Bolivia mengadakan pemilu pada tahun 2019 yang menurut Organisasi Negara-negara Amerika dirusak oleh penipuan, pengadilan pemilu negara itu mengundang Carter Center untuk mengamati pemilu tahun berikutnya. Pusat itu mengerahkan tim ke Bolivia dan kemudian memuji negara itu atas pemilu yang disebutnya tidak memihak dan transparan.

"Evaluasi Carter Center penting tidak hanya untuk bagaimana masyarakat internasional memandang kami tetapi juga untuk bagaimana masyarakat Bolivia mengevaluasi proses pemilu," kata Salvador Romero, presiden pengadilan saat itu.

Hasil serupa sulit diperoleh baru-baru ini di Afrika, di mana banyak negara yang bangkit dari kolonialisme selama beberapa dekade telahmelihat pengambilalihan kekuasaan secara paksa dan pemilihan umum yang disengketakan.

Di Nigeria, Tunisia, Zambia, dan Pantai Gading, pengamat Carter Center mencatat adanya kekerasan, pembunuhan, pembelian suara, persaingan yang tidak seimbang bagi partai politik dan kandidat, serta kurangnya kepercayaan secara umum terhadap pemilihan umum.

Di Tunisia, rasa frustrasi telah menggantikan gelombang harapan yang dibawa oleh pemberontakan Musim Semi Arab 2010. Parlemen baru dibentuk pada Maret 2023, dua tahun setelah Presiden Kais Saied menangguhkan parlemen dan mulai membuat undang-undang melalui dekrit.

Tingkat partisipasi 11% dalam pemilihan parlemen menandai "titik terendah" bagi demokrasi negara itu, kata Carter Center, dan beberapa kelompok pemantau pemilu ditolak akreditasinya untuk kontes presiden Oktober 2024.

Kadang-kadang, Carter secara pribadi campur tangan untuk menjaga proses perdamaian Afrika tetap pada jalurnya dengan mencoba membujuk panglima perang dan pemberontak untuk mendukung pemilihan umum, alih-alih menggunakan kekerasan, dalam upaya mereka untuk mendapatkan kekuasaan.

Menyoroti Pemilu di AS

Dalam beberapa tahun terakhir, pekerjaan Carter Center dalam pemilu beralih ke AS.

Timnya dikerahkan ke Oklahoma pada tahun 2017 atas permintaan suku Cheyenne dan Arapaho setelah pemilu yang diwarnai berbagai masalah. Pada tahun 2013, surat suara dipindahkan dari satu kantor ke kantor lain dan disimpan tanpa pengamanan yang memadai, sehingga mengikis kepercayaan terhadap integritas suara. Penghitungan ulang kemudian membatalkan hasil pemilu, kata Gubernur suku Reggie Wassana.

Kehadiran Carter Center dalam pemilu berikutnya membuat "perbedaan besar, dan memulihkan kepercayaan di antara anggota suku," kata Wassana.

Menurut Carroll, hingga tahun 2020, pusat tersebut berusaha menjauh dari isu politik yang lebih luas di Amerika Serikat. Namun, pusat tersebut menyadari ancaman terhadap demokrasi Amerika meningkat, yang mendorong keputusan untuk memperluas program di AS.

"Jika kita melihat kondisi yang sama di negara lain seperti yang kita lihat di AS — kurangnya kepercayaan pada lembaga pemilu, polarisasi, dan meningkatnya kekhawatiran akan kekerasan politik — negara itulah yang akan kita prioritaskan untuk melihat apakah kita dapat memainkan peran yang konstruktif," kata Carroll.

Kepercayaan pada pemilu AS, terutama di antara sebagian besar pemilih Republik, terkikis setelah pemilu 2020 di tengah klaim palsu mantan Presiden Donald Trump bahwa Demokrat telah mencurangi pemungutan suara. Tidak ada bukti penipuan atau manipulasi mesin pemungutan suara yang meluas dalam pemilu itu.

Dalam pemilihan presiden 2024, yang dimenangkan Trump, pusat tersebut melakukan pengamatan terbatas di New Mexico, Montana, dan Fulton County, Georgia. Di banyak negara bagian AS, pemantau pemilu terbatas pada perwakilan partai politik, tanpa ketentuan untuk kelompok independen nonpartisan. Pusat tersebut berupaya untuk mengubahnya.

Kepemimpinan Carter dalam isu demokrasi tetap menjadi bintang utara bagi pusat tersebut, kata Carroll.

“Anda dapat membantu sistem yang kuat untuk diterapkan, tetapi sistem tersebut perlu terus dipantau. Anda tidak boleh hanya mengandalkan catatan Anda tentang demokrasi dan pemilihan umum. Anda harus selalu waspada dan mengawasi prosesnya,” katanya. (AP)

Editor : Sabar Subekti


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home