Setelah Tolikara
SATUHARAPAN.COM – Kasus Tolikara bisa dianggap telah usai, dengan beberapa catatan penting menyertainya. Pertama, para pemimpin lokal jauh lebih mampu bertindak bijak dengan menyelesaikan persoalannya sendiri, berbasis kepentingan konkret kedamaian sosial di wilayahnya sendiri. Dengan berpijak pada adat dan tradisi, kedua belah pihak menyepakati perdamaian dan menghentikan proses hukum atas kasus tersebut. Ini preseden penting yang nampaknya sangat perlu dilihat oleh masyarakat lain yang secara umum rentan konflik sejenis.
Kedua, dalam kasus ini, media (dan tentu saja media sosial) memegang peran penting dan cenderung negatif. Sebuah riak kecil bisa nampak sangat besar dari kejauhan, entah karena informasi yang sedemikian cepat berbumbu, entah karena masing-masing penerima informasinya memiliki framing dan sensitivitas sendiri jika menyangkut konflik agama, atau karena sensasionalitas media yang cenderung provokatif, demi oplah dan hit. Beberapa kelompok yang terlibat langsung dalam kasus ini bahkan cenderung kaget dan tak menyangka, bahwa apa yang tergambar dari luar Tolikara sedemikian liarnya sehingga mereka seperti menemukan fakta yang lebih lengkap dan detail tentang kasus mereka, justru di Jakarta atau di dunia maya.
Ketiga, di luar teori konspirasi skenario politik, bahkan politik global yang gencar beredar menyertai kasus Tolikara ini, harus kita akui bahwa apa yang disebut sebagai kerentanan, yang dalam bahasa resolusi konflik disebut dengan rumput kering, adalah faktual. Realitas bahwa kehidupan damai dan harmonis telah terjadi selama ini di Tolikara (dan beberapa daerah yang mengklaim sebagai wilayah harmonis) tak mampu menutupi fakta bahwa titik rentan konflik selalu ada dalam masyarakat kita. Apalagi jika menyangkut isu agama dan kepercayaan.
Titik rentan inilah yang mesti menjadi perhatian penting kita. Tolikara yang telah membangun basis harmoni dan toleransi sedemikian lama, dengan mudah mampu disulut. Yogyakarta yang mengklaim sebagai city of tolerance, belakangan juga mencatatkan sejarah intoleransi yang cukup signifikan, bahkan laporan terakhir Setara Institute, secara kuantitas Yogyakarta menempati urutan kedua kasus intoleransi, setelah Jawa Barat.
Seberapa jauh kerentanan dalam isu agama ini? Survei Gallup pada 2012 menyebutkan, dari 65 negara yang disurvei, Indonesia adalah negara yang paling mendukung peran penting agama dalam kehidupan. Dalam kondisi itu, World Values Survey dalam surveinya tahun 2007 juga menyebut bahwa 35,2 % masyarakat Indonesia keberatan memiliki tetangga orang yang berbeda agama. Sementara Lingkaran Survei Indonesia yang melakukan survei yang sama pada tahun 2010 menyebut angka yang lebih kecil, yakni 22,6 % masyarakat Indonesia yang keberatan memiliki tetangga berbeda agama.
Dari survei ini saja masih terlihat jelas, bahwa minimal 2 dari 10 orang Indonesia masih mengidap potensi intoleransi agama. Ini adalah kerentanan yang cukup besar. Belum lagi jika potensi intoleransi ini diturunkan ke dalam isu yang lebih spesifik. LSI mencatat, 42,8% masyarakat Indonesia keberatan jika orang yang beragama berbeda mendirikan tempat ibadah di lingkungannya.
Lalu bagaimana negara menyikapi kerentanan ini? Jika Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) kita lihat sebagai representasi upaya negara dalam menciptakan harmoni dan kohesi sosial, maka realitas di lapangan berbicara sedikit berbeda. Meski ada beberapa contoh bagus peran FKUB, namun banyak kasus lain menunjukkan bahwa FKUB tak lebih hanya berfungsi sebagai pemadam kebakaran jika muncul kasus-kasus antar agama. Sebagian kasus lain bahkan menunjukkan peran negatif (anggota) FKUB dalam kasus berbasis agama (lihat, Kontroversi Gereja di Jakarta, Paramadina: 2011).
Lalu apa? Minggu kemarin saya diundang terlibat dalam satu forum lintas agama di Kecamatan Kramat Jati, Jakarta Timur. Forum itu memfasilitasi pertemuan antara masyarakat lintas agama, dan melibatkan Camat serta Kapolres Kramat Jati, dan diorientasikan sebagai embrio gerakan jejaring sosial lintas agama. Forum ini menarik menjadi contoh upaya membangun kohesi dan jejaring pengaman sosial yang melibatkan tiga pihak sekaligus: masyarakat, aparat pemerintah, dan aparat keamanan.
Ini adalah contoh penting upaya kultural berbasis wilayah yang lebih kecil (mengingat FKUB juga hanya sampai tingkat Kabupaten/Kota). Dan lebih penting lagi, karena upaya semacam ini dilakukan dalam kondisi damai, sebagai tindakan preventif, bukan sebagai respon atas kasus atau konflik yang sudah terjadi.
Upaya semacam ini yang nampaknya secara perlahan tergerus oleh penampakan umat beragama yang beringas dan melihat penganut agama lain sebagai ancaman.
Penulis aktif di Yayasan Indonesia Tanpa Diskriminasi
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...