Dua Muktamar dan Islam à la Indonesia
SATUHARAPAN.COM – Dua ormas besar Islam Indonesia, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, sedang menyelenggarkan perhelatan penting bulan ini, yaitu muktamar atau kongres lima tahunan. NU menyelenggarakan Muktamar ke-33 di Jombang, dan Muhammadiyah menyelenggarakan Muktamar ke-47 di Makssar. Kedua event ini berlangsung pada minggu pertama bulan Agustus ini. Apa yang bisa kita percakapkan mengenai dua peristiwa penting ini?
Banyak hal yang bisa kita bicarakan, tergantung sudut pandang yang kita pilih. Saya ingin menyoroti satu isu pokok saja yang saya anggap penting untuk medapatkan perhatian kita. Yaitu bahwa baik NU dan Muhammadiyah adalah pilar penting dari apa yang kerap disebut sebagai corak Islam à la Indonesia yang moderat, toleran, mampu berdialog dengan konteks setempat, dan menyokong kerangka kenegaraan kita yang didasarkan pada falsafah bhinneka tunggal ika.
Sebagaimana kita tahu, banyak terjadi insiden kekerasan atas nama agama dalam beberapa tahun terakhir ini. Kita juga menyaksikan banyak aksi-aksi intoleran dan persekusi terhadap kelompok minoritas di negeri ini, entah “minoritas internal” (sesama Muslim, seperti kasus kekerasan yang dialami oleh jamaah Ahmadiyah) maupun “minoritas eksternal” (seperti penyerangan dan penyegelan atas gereja). Kenapa hal ini terjadi, kita bisa bicarakan di tempat terpisah. Yang penting kita garis-bahwahi, setiap terjadi aksi-aksi kekerasan semacam ini, publik selalu menengok ke dua ormas besar ini: NU dan Muhammadiyah. Mereka selalu melihat dua ormas ini sebagai harapan bangsa ini untuk tetap mempertahankan corak Islam di Indonesia yang tetap moderat dan toleran.
Kita kerap mendengar dari waktu ke waktu statamen dan pernyataan publik yang menyejukkan dari tokoh-tokoh kedua ormas ini. Kita, misalnya, kerap membaca dan mendengar pandangan yang mencerahkan dari figur-figur seperti KH. Said Aqil Siradj (dari NU) dan Buya Syafii Ma’arif (dari Muhammadiyah), tentang pentingnya mengembangkan corak pemahaman Islam yang toleran, modern, tetapi tetap menjaga tradisi. Kita juga kerap mendengar pernyataan kedua tokoh itu yang secara “kategoris” mengecam setiap aksi kekerasan atas nama agama. Dari waktu ke waktu, kita selalu mendengar tokoh-tokoh dari kedua ormas ini terus menyuarakan pentingnya merawat dna mengembangkan model keberagamaan yang terbuka, moderat, dan menjauhi ekstremisme/radikalisme.
Tak pelak lagi, kedua ormas Islam ini merupakan pilar pokok dari Islam khas Indonesia. Muktamar NU kali ini, misalnya, mengangkat sebuah tema besar tentang Islam Nusantara. Bagi saya istilah Islam Indonesia dan Islam Nusantara adalah idem ditto, sami mawon, sama saja. Intinya: tema ini mau menegaskan bahwa jutaan Muslim yang hidup di kawasan Indonesia dan tanah serantau ini hendak menegaskan bahwa mereka punya identitas sendiri yang berbeda dengan umat Islam di kawasan lain. Penegasan identitas ini bukan untuk menegakkan tembok eksklusivitas atau ketertutupan, melainkan untuk menunjukkan bahwa saat Islam berkelana ke pelbagai wilayah yang beragam, serta berjumpa dengan budaya yang berbeda-beda, akan mengambil bentuk yang beragam pula. Memberikan apresiasi kepada keragaman artikulasi Islam inilah yang mau digarisbawahi oleh tema muktamar NU kali ini.
Aspek keragaman ini perlu mendapatkan sorotan khusus dari publik Indonesia saat ini, di tengah-tengah munculnya satu kecenderungan keagamaan di sebagian kalangan Islam yang mau memaksakan monolitisisme (keseragaman dan ketunggalan) sebagai satu-satunya modus keberagamaan yang absah. Istilajh Islam Nusantara bukan mau menyebarkan sentimen anti-Arab, melainkan untuk menunjukkan bahwa ada pelbagai corak Islam yang harus dihargai dan diberikan ruang. Islam yang absah bukan saja Islam yang dibentuk dengan dan dalam konteks kultur Arab. Islam yang berkembang di tempat-tempat di luar kawasan Arab pun memiliki kedudukan ontologis dan epistemologis yang sama absah-nya dengan Islam di kawasan Arab.
Saya berharap, setelah Muktamar NU di Jombang kali ini, wawasan Islam Nusantara dikembangkan ke seluruh dunia sebagai model keberagamaan alternatif yang mungkin. Kebutuhan akan hal ini menjadi mendesak setelah kita melihat ekspresi Islam di kawasan Arab yang identik dengan otoritarianisme, eksklusivisme, ketunggalan, keseragaman, misoginis, penuh kekerasa sektarian, dan retardasi ekonomi.
Di Indonesia, umat Islam berhasil mengembangkan suatu corak artikulasi Islam yang sama sekali berbeda: Islam yang demokratis, ramah jender, memberikan ruang partisipasi yang luas pada perempuan, toleran, bisa berdialog dan berakulturasi dengan kebudayaan lokal, menerima ide kemajuan, dsb. Saya benar-benar berharap, di tengah-tengah suramnya prospek dunia Islam karena problem radikalisme dan kekerasan di mana-mana, corak Islam khas Indonesia atau Nusantara ini bisa menjadi semacam “garam dunia” yang pelan-pelan membentuk citra baru tentang Islam yang lain sama sekali: Islam yang lebih modern, ramah pada perbedaan, dan berientasi pada kemajuan, tanpa kehilangan jangkarnya pada tradisinya sendiri.[]
Penulis adalah intelektual Muslim Nusantara
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...