Titik Krusial Hukum Penodaan Agama
SATUHARAPAN.COM – Pengalaman saya sebagai saksi ahli kasus penistaan agama aktivis Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) Aceh, Selasa, 26 Mei lalu, memberikan kesimpulan kuat bahwa perbedaan tafsir intraagama sangat mudah terseret kepada praktik intoleransi dan politik stigmaisasi.
Proses peradilan kasus itu sendiri terlihat berjalan “sukses”. Para terdakwa hadir di pengadilan layaknya penjahat politik yang dikerubuni amarah massa yang membuncah. Sebelum sidang, ratusan massa menggelar unjuk rasa di depan Pengadilan Negeri Banda Aceh agar aktivis Gafatar dihukum seberat-beratnya (bukan seadil-adilnya). Kalangan PNS pun dikerahkan untuk “meramaikan” sidang.
Ketika saksi ahli bidang agama, Prof. Yusni Sabi, mantan rektor IAIN Ar-Raniry Banda Aceh, menjelaskan konsep mesias atau almasih, pengunjung mengeluarkan hujatan dan kalimat-kalimat merendahkan tanpa ditegah oleh majelis hakim kecuali dengan pernyataan“jangan berlebihan”. Kejadian itu terus berulang sepanjang sidang. Menurut Yusni Sabi, Islam termasuk agama yang mengakui konsep almasih seperti semua agama Ibrahim lainnya (Kristen dan Yahudi).
Sidang itu akhirnya menjatuhkan vonis tiga hingga empat tahun kepada enam pengurus Gafatar. Mereka dianggap bersalah berdasarkan pasal 156a KUHP (Serambi Indonesia, 16 Juni 2015).
Kasus Sama, Beda Solusi
Kompetensi saya sebagai saksi ahli dalam sidang itu terkait dengan temuan riset sosial saya di Muaro Jambi (Jambi) dan Musi Banyuasin (Sumatera Selatan) yang berhubungan dengan Gafatar. Hasil riset itu ingin memberikan informasi kepada majelis hakim bahwa kasus perselisihan intra agama tidak seharusnya diselesaikan secara terburu-buru di pengadilan.
Organisasi Gafatar juga menghadapi kendala di dua kabupaten itu. Gugatan muncul dari beberapa ormas Islam yang menganggap Gafatar adalah transmutasi Millata Abraham yang telah disesatkan oleh MUI Depok pada 2010. Di Aceh gubernur pernah mengeluarkan peraturan pada tahun 2011 yang menyatakan Millata Abraham sesat. Selebaran tentang fatwa sesat MUI Depok itu menyebar di masyarakat sehingga lembaga Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) setempat mengambil kebijakan untuk tidak memberikan izin organisasi itu berdiri. Mereka mendasarkan pada instruksi Direktorat Kesbangpol Kementerian Dalam Negeri agar kesbangpol daerah juga menunda memberikan izin.
Namun, ketegangan di dua daerah itu tidak menjadi konflik terbuka. Melalui Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM), dan Forum Pembauran Kebangsaan (FPK), Kesbangpol mengambil jalan “mendinginkan” situasi. Mereka tidak melibatkan massa termasuk media massa yang mungkin bisa menambah masalah keamanan dan merugikan pembangunan daerah.
Alasan Ahmad Kundari, sekretaris Kesbangpol Musi Banyuasin, penting menjadi pelajaran. “Kami ini orang Melayu tak suka berkelahi. Anak-anak Gafatar itu juga anak kami, jadi tak elok bergaduh sesama keluarga. Kami tak suka menyesat-nyesatkan orang tanpa pengetahuan yang benar. Kata orang luar sesat, kami tak lah ikut. Lagipula, dari luar kami lihat salat mereka sama dengan kita”.
Kasus Gafatar Banda Aceh diselesaikan melalui peradilan yang menguras energi sosial besar, sementara penanganan di Muaro Jambi dan Musi Banyuasin lebih bijaksana dan murah. Dua fenomena itu menjadi dinding pembeda, antara muara bening dan kolam kotor terkait konflik nuansa agama. Konstruksi antropologi masyarakat yang toleran ikut memengaruhi keberhasilan resolusi konflik, disamping kedewasaan politik pemerintah daerah.
Kita bisa melihat sejarah penanganan kasus-kasus penodaan agama. Ada yang semakin destruktif dan menjadi prahara kemanusiaan seperti di Aceh (Gafatar, Wahabi, dan kelompok tarekat Islam), Jawa Barat (Sunda Wiwitan dan Ahmadiyah), NTB (Ahmadiyah), dan Madura (Syiah), sementara beberapa daerah lain bisa lebih komprehensif dan positif penyelesaiannya.
Politisasi Agama
Data riset konflik intraagama dalam kurun satu dekade terakhir menunjukkan pusat konflik tidak sungguh-sungguh terletak pada aspek teologis, tapi lebih pada hasutan politik dan problem antropologi masyarakat yang labil. Masyarakat yang terbiasa hidup dengan tafsir tunggal lebih mudah terpicu konflik “seolah-olah” teologis.
Faktor residu konflik bersenjata, kemiskinan, momentum pilkada, dan buruknya perangai pemerintah daerah pun pemicu lain konflik agama. Pemberlakuan perda dan qanun bernuansa agama terkadang menjadi metode kamuflase untuk menutupi wajah bopeng pemerintah daerah. Beberapa temuan menunjukkan pemerintah daerah sengaja bersekutu dengan ormas-ormas garis keras untuk menekan organisasi masyarakat sipil yang mengusung ide demokrasi, HAM, ekologi, dan antikorupsi.
Seperti piramida dadu, posisi rentan terjadi karena negara sendiri tidak melakukan sesuatu untuk mengurangi potensi konflik agama di tingkat nasional. Masih terdapatnya hukum dan perundang-undangan yang bisa menghukum pikiran dan keyakinan seseorang (pasal 156a KUHP dan UU No. 1 PNPS tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama) menjadikan peluang untuk mengkriminalisasi perbedaan tafsir agama tetap terbuka. Padahal metode dialog dan perjumpaan kultural bisa menyelesaikan masalah tafsir dan perbedaan-perbedaan nonfundamental teologis.
Bola takdir akhirnya terus bergulir pada pembenaran mayoritas untuk menafsirkan agama, di sisi berbeda; penghukuman kepada kelompok minoritas yang mencoba memberikan tafsir alternatif. Di tengah-tengahnya tumbuh-kembang tradisi menista dan mencaci-maki keyakinan orang lain melalui tulisan, wicara media sosial, dan khutbah.
Upaya menguji “pasal-pasal karet” yang di masa Orde Baru dijadikan alat untuk merepresi kelompok kritis itu telah dua kali gagal di Mahkamah Konstitusi, yaitu pada 2010 dan 2013. Bahaya ini bisa berujung pada pemusnahan eksistensi keyakinan minoritas termasuk kepercayaan sinkretis dan agama lokal melalui politik stigmaisasi, kriminalisasi, dan formalisasi.
Sebenarnya negara sendiri tidak segenap-sekata. Jika kita buka putusan MK No. 140/PUU-VII/2009, ada alasan berbeda (concurring opinion) dari hakim konstitusi Harjono yang memberikan harapan. Walau negara mengakui hukum atas penodaan agama, hakim yang memutuskan kasus itu harus berhati-hati agar tidak terjebak pada proses memenangkan kelompok tertentu dan mengorbankan kelompok lain, dan secara tidak langsung membunuh nilai keadilan dan kesetaraan untuk mengekspresikan keyakinan secara benar tanpa rasa takut.
Jalan kerukunan intra dan antarumat beragama masih berliku dan berbatu-batu. Namun usaha agar cinta bisa memenuhi ruang-ruang Nusantara dan meruntuhkan palang-palang kebencian tak boleh tamat di tengah jalan.
Penulis adalah dosen Antropologi Universitas Malikussaleh dan Institut Seni dan Budaya Indonesia (ISBI) Aceh.
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...