Menghormati Agama Asli
SATUHARAPAN.COM – Semuanya berawal dari kegelisahan. Kegelisahan itulah yang kemudian saya tuangkan pada puisi esai dengan judul “Baris Tanya untuk Indonesia” yang kemudian mendapat tempat pada jajaran pemenang Lomba Puisi Esai Nasional yang diadakan Jurnal Sajak tahun ini. Inilah kali kedua, setelah tahun lalu, saya untuk memenangkan lomba yang sama.
Saya tak akan menceritakan kegembiraan itu di sini. Saya hanya ingin mengungkapkan sedikit pandangan dan kegelisahan yang saya angkat secara sengaja pada puisi tersebut, yaitu tentang nasib para penganut agama asli yang kebetulan tak diakui di negeri ini. Seperti kita ketahui, dengan tidak mengakui mereka, kita tentunya juga tak “mengizinkan” mereka mengisi kolom agama pada KTP-nya.
Maka, supaya tak dibilang ateis, mau tak mau mereka harus memilih salah satu “agama impor” yang kita akui untuk dituliskan. Sepintas itu tak bermasalah, tetapi jika dikaji lebih dalam, tampaklah bahwa mereka harus “menipu” diri agar diakui di negeri yang religius ini. Miris! Dan, yang jauh lebih memiriskan sebenarnya adalah ketika kita hanya terdiam melihat itu semua seakan-akan tak ada masalah.
Tak Memberi Ruang
Memang, awal pemerintahan Jokowi-JK lalu sempat diperbincangkan cara untuk “menerima” mereka dengan cara menghilangkan kolom agama pada KTP. Celakanya, berbagai tanggapan yang mulai dari sentimentil, religius, bahkan anarkis dibuat agar mereka tetap tak diizinkan menuliskan agama pada KTP. Kita sama sekali tak memberi ruang bagi mereka yang agamanya tak diakui untuk curhat. Kita hanya memikirkan diri sendiri yang lalu larut pada diktum bahwa negeri ini negeri religius. Maka itu, kolom agama menjadi keharusan.
Akal sehat saya—dan saya akui banyak orang di luar sana yang juga sepemikiran dengan saya—yang memang sangat liar langsung mereaksi: seberapa penting, sih, menuliskan agama pada KTP? Apakah tanpa agama itu kita tidak menjadi Indonesia dan dengan agama kita menjadi Indonesia yang seutuhnya? Apakah pula agama pada KTP itu akan membantu atau malah sebaliknya?
Putu Setia pernah bercerita begini: nyonya Murtina mendadak pingsan di sebuah halte Trans Jakarta. Orang-orang panik karena wanita ini datang sendirian. Petugas lantas membawanya ke rumah sakit terdekat untuk mendapatkan perawatan. Syukur, kartu tanda penduduk (KTP) Murtina diketemukan. Segera KTP itu dibawa ke bagian pendaftaran. Dengan memasukkan ke card reader, semua catatan pribadi Murtina pun terungkap, termasuk riwayat kesehatannya. Setelah diberikan pertolongan, pihak rumah sakit memasukkan riwayat kesehatan yang baru di KTP Murtina, tentang jenis penanganan dan obat yang diberikan. Coba ditanya: adakah peran identitas agama yang diterakan pada KTP terhadap penyelamatan Murtina?
Ada kisah lain. Ini cerita Jobpie Sugiharto pada kolomnya “Menyoal KTP Beragama” (Tempo, 18/12/2013). Di sana Sugiharto mengungkapkan kekesalannya terhadap cerita orang yang bercerita kepadanya. Begini, ada seorang mahasiswi yang tidak mau memegang tubuh pasien dalam sebuah praktikum. Alasannya miris, yaitu karena pasien tersebut bukan muhrimnya. Mengapa dia tahu bukan muhrimnya? Karena di KTP orang naas tersebut tersurat agamanya. Jika cerita itu benar, apakah kolom agama pada KTP membantu atau malah merugikan?
Saya rasa, Anda sudah tahu jawabannya. Masalahnya sekarang, perlukah menulis agama di KTP? Jika perlu, apakah itu wajib? Kalau wajib, bagaimana dengan para penghayat, apakah mereka harus memilih agama yang diakui di negeri ini, yang sama sekali tidak mereka akui, untuk dituliskan di KTP? Jangan kita hanya melabeli wajib, tetapi kita justru melupakan kewajiban kita untuk menerima orang lain yang kebetulan agamanya tak diakui di negeri ini. Padahal, agama mereka itu adalah agama asli dari negeri ini. Jangan-jangan, mereka yang lebih dahulu mendiami negeri ini.
Maka itu, meski masih kurang, kita apresiasi terobosan Mendagri Tjahjo Kumolo karena sudah pernah mengutarakan, bagi penghayat (saya, sih, membacanya bagi siapa pun) boleh mengosongkan kolom agama sebelum ada keputusan terbaru (catat, boleh mengosongkan, berarti boleh pula mengisi). Hal itu penting. Selain meminimalisasi diskriminasi, hal itu juga bisa mencegah ekses-ekses negatif seperti yang dilakukan oleh mahasiswi tadi.
Toh, kolom agama KTP tidak berpengaruh kuat atas keselamatan jiwa-raga kita. Toh, juga selama ini kita tidak pernah mengalami pemeriksaan agama pada KTP jika beribadah. Dalam kegiatan sehari-hari yang administratif, nama dan alamat sesuai KTP bahkan lebih dipentingkan daripada agama. Kalau mau lebih sahih, seperti dalam urusan perbankan, nomor identitas tunggal (single identity number) kependudukan di e-KTP dan NPWP-lah yang dipakai.
Artinya, agama pada KTP hanya pelengkap identitas. Itu bukan susbtansi karena itu bukan kewajiban. Sialnya, kita karena emosional justru keliru menerjemahkan bahwa negeri religius harus juga religius pada data-data. Maka, agama pada KTP menjadi kewajiban. Jika tidak, secara serampangan kita menyebutnya sebagai pengingkaran terhadap Tuhan dan sila pertama kita. Benarkah demikian? Saya tidak mau terjebak di sini karena ini merupakan ranah hukum dan HAM, padahal, saya hanyalah seorang yang menaruh perhatian pada kebudayaan.
Pemilik Sah Negeri Ini
Akan tetapi, mari membikin contoh sederhana. Apakah Anda pernah mengurus surat tanda berkelakuan baik dan kesehatan? Setelah Anda berhasil melakukannya, apakah Anda benar-benar baik dan sehat? Kita tarik lebih jauh, bukankah para pemimpin kita yang dulunya DPR, pejabat publik, PNS dan sebagainya mengurus hal serupa? Tetapi mengapa tidak lama berselang, mereka justru tersangka sebagai koruptor, bahkan tidak sedikit yang meninggal tiba-tiba? Apa yang kita dapat dari kisah ini? Ternyata, apa yang tertulis tidak mewakili secara sesungguhnya, apalagi kalau hal itu menyangkut hal-hal yang abstrak seperti agama.
Karena itu, sekali lagi, tanpa terlalu memikirkan kereligiusan kita sudah direcoki, marilah mereformasi pengisian KTP dengan berbuka hati. Tidak usah ada lagi toleransi seperti yang dikatakan, boleh mengosongkan dan boleh mengisi. Bila mengisi, ya, harus mengisi, bila tidak, hapuskan saja. Hal itu perlu karena bila diberi posisi antara boleh mengosongkan dan mengisi, yang mengosongkan suatu saat bisa diteror sebagai atheis dan tidak beragama. Luarannya bahkan bisa disebut sebagai yang bukan WNI karena menentang sila pertama kita.
Sebaliknya, jika semua mengosongkan, berarti kita semua mengimani agama secara personal. Dampaknya, jika misalnya ada seseorang tabrakan, tidak ada lagi orang yang mengaku bukan muhrimnya. Maka, pertolongan pun tergerak atas nama kemanusiaan, bukan karena embel-embel ini dan itu. Begitupun, kalau terpaksa harus mengisi kolom agama, kita harus menampung semuanya secara sukarela. Jangan hanya mewajibkan, tetapi kita tidak memberi kewajiban untuk mengakui saudara-saduara kita hanya karena agama mereka tidak “diimpor”.
Sudah saatnya bagi kita memerhatikan hak dasar para penganut agama-agama asli negeri ini. Mereka juga pemilik sah negeri ini yang tentunya harus mendapat perlakuan yang sama.
Penulis adalah pegiat sastra dan budaya di Medan
Jerman Berduka, Lima Tewas dan 200 Terluka dalam Serangan di...
MAGDEBURG-JERMAN, SATUHARAPAN.COM-Warga Jerman pada hari Sabtu (21/12) berduka atas para korban sera...