HAN 2015: Anak-anak Belajar (In)-toleran dari Kita
"Anak-anak mungkin saja melupakan semua yang kita ajarkan, tetapi mereka akan selalu ingat cara dan kelakuan kita. Lalu mempelajari dan menirunya dengan atau tanpa kita sadari" – Creativege “Hiduplah sebegitu rupa sehingga ketika anak-anakmu memikirkan kebaikan, kepedulian dan integritas, mereka memikirkanmu” – Jackson Brown, Jr
SATUHARAPAN.COM – Hari Anak Nasional (HAN) di setiap negara bisa saja berbeda-beda waktu peringatannya. Namun esensinya selalu sama: melindungi anak-anak dan memastikan bahwa hak-hak mereka terpenuhi. Indonesia menetapkan peringatan HAN jatuh setiap tanggal 23 Juli menurut Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 1984. Artinya, sejak 31 tahun yang lalu, negara telah mengetahui bahwa perlindungan dan pemenuhan hak anak adalah penting!
Negara juga sudah meratifikasi Konvensi Hak Anak (KHA) PBB melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990, walaupun tidak semua pasal. Setidaknya ada dua implikasi yang dapat dilihat dalam regulasi yaitu: pertama, Hak anak disebutkan secara eksplisit pada Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 Amandemen Kedua yang berbunyi, "Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi"; kedua, Pengesahan UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang secara eksplisit menyebutkan empat prinsip perlindungan anak menurut KHA yaitu non-diskriminasi; kepentingan terbaik anak; hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan, penghargaan terhadap pendapat anak. Selain itu ada dua lembaga bentukan Negara yang mengemban mandat untuk memastikan pemenuhan hak anak yaitu Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).
Walaupun Negara merupakan pengampu kewajiban utama (duty bearer), sesungguhnya hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi bersama oleh orangtua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara. Investasi pada pembangunan anak menjamin kelangsungan dan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan.
Anak-anak tidak bisa dianggap sebagai manusia yang belum jadi, atau obyek semata, Ia adalah manusia seutuhnya, dan ia pun belajar dengan caranya. Sayangnya, anak-anak tidak belajar dari retorika tentang hak dan perlindungan anak yang disampaikan hanya pada momen tertentu. Ia belajar sepenuhnya dari cara kita, yakni orangtua, keluarga, masyarakat, pemerintah, maupun negara, di dalam bertutur, bersikap, berelasi, bersikukuh, bermusuhan dan cara-cara lainnya dalam memperlakukan kehidupan. Mereka juga belajar menjadi toleran ataupun intoleran dari kita.
Anak-anak Tidak Terdengar dan Tidak Didengar
Anak-anak cenderung dituntut untuk selalu dengar-dengaran (patuh), tetapi pada saat yang sama mereka menjadi bagian yang kerap dilupakan. Mereka digelari penerus bangsa, tetapi investasi yang diberikan kepada anak-anak sangat terbatas. Anak-anak juga cenderung dianggap tidak mengetahui kepentingan terbaik mereka sehingga tidak perlu didengar. Padahal, kemampuan memberikan pendapat bukan saja merupakan pemenuhan hak anak untuk berpartisipasi tetapi juga modalitas bagi kemandiriannya di masa depan.
Peringatan HAN tahun lalu, sebuah tema besar digadang yaitu 'Ciptakan Lingkungan Kondusif bagi Perlindungan dan Tumbuh Kembang Anak'. Lingkungan kondusif itu tidak tercipta karena tahun tersebut menjadi Tahun Rawan Kekerasan Seksual pada Anak. Sebagian besar kekerasan dilakukan oleh orang terdekat di lingkungan terdekat, baik oleh keluarga atau kerabat, oleh guru dan pekerja di lembaga pendidikan, bahkan oleh agamawan. Alih-alih melindungi anak, sebagian besar institusi memilih melindungi pelaku demi nama baik institusinya.
Negara, melalui Mahkamah Konstitusi, pun tidak meloloskan permohonan peninjauan kembali batas usia minimum pernikahan untuk perempuan, yang artinya tetap memberi legitimasi pernikahan anak. Prinsip kepentingan terbaik anak dan memperhatikan tumbuh kembang anak diabaikan.
Di sisi lain, maraknya kasus perampasan lahan dan konflik dengan korporasi karena perebutan sumberdaya alam, membuat anak-anak pun terpapar kekerasan dan kehilangan akses terhadap pendidikan. Di Moromoro, Lampung, anak-anak bahkan turun ke jalan dan berdemonstrasi bersama orangtuanya untuk mempertahankan hak bersekolah. Seharusnya ini merupakan tamparan keras bagi semua institusi yang terhormat, tetapi lagi-lagi, suara mereka tidak didengar.
Secara khusus perlu disebutkan tentang anak-anak (remaja) yang tewas tertembak di Paniai. Di daerah rawan konflik dan daerah operasi militer, nyawa anak-anak justru terancam. Tidak ada penyelesaian bagi kasus mereka hingga saat ini. Begitu pun dalam konflik-konflik bernuansa SARA dimana kelompok-kelompok tertentu diserang dan terpaksa meninggalkan daerahnya. Di sana pun ada anak-anak.
Ironisnya adalah ketika anak-anak telah menjadi korban yang sekarat atau tak bernyawa, para ahli perlindungan anak dan para praktisi hukum bermunculan seperti jamur di musim hujan sebagai selebritas yang paling memahami persoalan anak. Begitupun luapan simpati dari masyarakat melalui media sosial dan aksi bersama. Mereka lupa bahwa mereka lebih dibutuhkan saat anak-anak itu masih hidup dan masih berpeluang untuk ditolong. Mereka juga lupa bahwa di sekitarnya masih ada anak-anak yang perlu ditolong. Kekerasan terhadap anak memang terlalu banyak untuk dirunut di sini. Saat ini tema HAN tahun lalu mungkin tidak diingat lagi oleh satu pun anak Indonesia, tetapi semua kelakuan kita yang menjamin pemenuhan ataupun merampas hak mereka pastilah mereka ingat dengan baik.
Anak-anak Belajar Toleran dan Intoleran dari Kita
Anak-anak generasi ini adalah anak-anak yang lahir di era digital. Selain apa yang secara normatif diajarkan oleh orangtua, keluarga, masyarakat, ataupun negara melalui pendidikan formal, mereka juga dibanjiri berbagai media dan informasi yang akurat maupun tidak akurat. Walau tidak dibekali bagaimana menyaring informasi, anak-anak memiliki cara yang unik untuk memvalidasi tanpa harus sibuk melakukan verifikasi data.
Mungkin mereka tidak akan mengakuinya di hadapan orang dewasa, tetapi di antara mereka pembenaran umumnya dimulai dengan kalimat-kalimat seperti ini, "Kata ayahku, .....", "Kata ibuku, ....", "Kata guru agamaku, ....", "Menurut kakakku, ....", "Si tokoh A bilang begini, ....", "Artis itu juga ...", :Di TV katanya, ...", dan sebagainya. Hal-hal yang kita anggap paling menarik ataupun paling meresahkan, juga mereka perhatikan. Walaupun kita kerap abai terhadap keberadaan anak-anak, tetapi ucapan, sikap bahkan pemikiran kita ada dalam radius pengamatan mereka dan diserap secara utuh ataupun terdistorsi sekehendak mereka.
Persoalannya adalah kita tidak saja menjadi alat validasi anak terkait informasi yang datang padanya tetapi juga terkait cara ia memandang dan berelasi dengan orang lain. Seperti disebutkan di atas, anak memiliki hak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, serta bila merujuk pada UU Perlindungan Anak, hak untuk turut berpartisipasi. Berefleksi terhadap tutur kata, pemikiran dan sikap kita sebagai orang yang lebih dewasa, orangtua, keluarga, masyarakat dan negara, hal seperti apa yang tervalidasi dalam pemahaman anak-anak di sekitar kita? Apa yang sejatinya mereka pelajari dari kita?
Sebagai sebuah bangsa yang berbhinneka, tentu saja secara normatif kita memperkenalkan berbagai keragaman suku, bangsa dan bahasa sebagai sebuah kekayaan milik bersama yang perlu dijaga dan dilestarikan. Pada saat yang bersamaan kita menekankan tentang pentingnya menjaga kesatuan dan persatuan bangsa karena dengan demikianlah negara bangsa ini menjadi kokoh. Tetapi anak-anak belajar lebih banyak dari cara kita memperlakukan kebhinnekaan itu, ketiga keragaman dianggap sebagai ancaman terhadap status quo dan kesatuan diperlakukan sebagai penundukan terhadap kepentingan yang dominan. Dan semuanya itu menjadi sangat tajam ketika menyangkut etnisitas dan agama.
Sebagai bahan refleksi, tiliklah ucapan, pikiran dan sikap kita sebagai orang-orang dewasa, menanggapi insiden Tolikara beberapa hari yang lalu. Perhatikanlah bagaimana peristiwa ini diramu sebegitu rupa oleh media dan menimbulkan kemarahan, simaklah betapa mudahnya penghukuman publik dijatuhkan sebelum fakta-fakta yang benar dibeberkan, serta betapa ketersinggungan karena identitas-identitas suku dan agama yang melekat pada masing-masing kita terusik jauh melebihi empati pada nyawa dan kehidupan yang tercerabut di sana. Apakah informasi yang tervalidasi bagi anak-anak di sekitar kita?
Walaupun mungkin disampaikan dengan pembahasaan yang berbeda, anak-anak bisa saja berkesimpulan bahwa kelangsungan hidup bukan hak semua orang, ada orang-orang yang mudah marah dan perlu ditembak, nyawa manusia tidak sebanding dengan ketersinggungan atas rusaknya simbol agama, perlindungan dari kekerasan sama saja dengan perlindungan dengan menggunakan kekerasan, tuduhan dan pernyataan boleh diberikan walau tidak ada bukti, balas dendam adalah hal yang wajar, dan lain sebagainya. Ketika tanpa sengaja kita memperlihatkan bahwa manusia tidak sama kedudukannya di hadapan Tuhan, di hadapan hukum, dan di hadapan sesamanya, sesungguhnya kita sedang mengajarkan intoleransi pada anak.
Tetapi marilah optimis mengatakan bahwa kita tidak demikian, bahwa kita berwawasan wiyatamandala yang memandang kesusahan satu kelompok adalah kesusahan kita bersama sebagai bangsa, bahwa kita berempati pada semuanya dan selalu menabur benih-benih perdamaian. Sehingga anak-anak pun belajar dari kita tentang menjadi toleran dan kemarahan bertransformasi menjadi uluran tangan persahabatan dan tolong-menolong.
Di HAN 2015 ini, tidak usahlah membuat tema besar dengan janji kosong seperti tahun lalu. Cukuplah mendengarkan suara anak-anak. Tidak ada satupun anak ingin menjadi gelandangan ataupun pengungsi, tidak ada satupun anak ingin mati diterjang timah panas, tidak ada satupun anak ingin daerahnya rusuh, tidak ada satupun anak ingin kehilangan orangtuanya dan tempat tinggalnya, tidak ada satupun anak ingin hidup miskin dan terisolir, tidak ada satupun anak ingin mengalami kekerasan dan penindasan, tidak ada satupun anak yang ingin direndahkan karena ia berbeda, tidak ada satupun anak ingin dibohongi. Anak-anak ingin hidup, ingin tumbuh dan berkembang sesuai usianya dan mencapai potensi terbaiknya, anak-anak ingin dilindungi dan ingin didengarkan serta dianggap ada. Mereka bisa menjadi toleran atau pun intoleran karena benih-benih yang kita taburkan.
Hiduplah sedemikian rupa sehingga ketika anak-anak memikirkan kebaikan, kepedulian dan integritas, mereka mengingat kita. Tidak perlu menjanjikan mereka surga, cukup beri teladan yang benar. Selamat Hari Anak Nasional 2015!
Penulis aktif sebagai kakak asuh yang mendampingi beberapa anak di Jakarta
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...