Bahkan Kartini Menolak Perkawinan Anak!
SATUHARAPAN.COM – Permohonan peninjauan ulang UU Perkawinan No 1/1974 ditolak Mahkamah Konstitusi (MK) pada 18 Juni 2015. Pihak pemohon, Yayasan Kesehatan Perempuan dan Koalisi 18+, menggugat pasal yang mengabsahkan perkawinan di bawah umur. Pasal 7 (1) Undang-undang Perkawinan itu menyatakan: “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun.” Padahal usia 16 tahun masih masuk kategori anak. Pada pasal 7 ayat (2) ”pernikahan anak-anak yang berusia di bawah 16 tahun itu juga diizinkan terutama bila sudah mendapatkan izin dari orang tua, dan sebagainya.”Jelas, undang-undang ini melegitimasi perkawinan anak.
Sayangnya penolakan MK atas upaya peninjauan ulang ini didasarkan pada pertimbangan dangkal. Salah satunya adalah hanya karena setiap agama memiliki pengaturan yang berbeda tentang usia perkawinan dan karena negara-negara lain pun belum menaikkan batas usia perkawinan anak perempuan. Alasan lain karena perkawinan berguna untuk menyalurkan dorongan birahi, oleh karena itu, pernikahan, pada usia dini pun, mencegah tejadinya anak di luar perkawinan atau anak haram.
Pertimbangan MK ini ‘male’ sentris. Ia bisa memicu “Syekh Puji Effect” yaitu perkawinan dengan anak ‘ingusan”. MK mengabaikan penderitaan anak perempuan yang sering dijadikan komoditi oleh orang tua mereka demi mahar perkawinan. Lembaga perkawinan menjadi rentan karena berpotensi dimanipulasi untuk mengaburkan eksploitasi anak. MK abai bahwa perkawinan usia dini menimbulkan risiko kematian karena ketidaksiapan fungsi reproduksi. Angka kematian ibu akibat perkawinan dini sangat tinggi yaitu 359/100 ribu kelahiran dan 32 bayi mati/1000. Keputusan MK patut disesalkan. Padahal, 150 tahun lalu, RA Kartini telah menolak perkawinan anak.
Argumen R.A. Kartini
Pemikiran R.A. Kartini tertuang dalam kumpulan tulisannya yang dikompilasi oleh Abendanon dan diberi judul “Habis Gelap, Terbitlah Terang.” Dalam suratnya kepada Nona E.H. Zeehandelaar 25 Mei 1899, Kartini mengkritik perkawinan anak yang dibuat demi kepentingan kaum laki-laki: Mengenai pernikahan itu sendiri, aduh, azab sengsara adalah ungkapan yang terlampau halus untuk menggambarkannya! Bagaimana pernikahan dapat membawa kebahagiaan jika hukumnya dibuat untuk semua lelaki dan tidak ada untuk wanita ”
Ada tiga argumen cerdas lainnya yang menunjukkan mengapa Kartini menolak perkawinan anak. Pertama, bagi Kartini, perempuan bukan sekadar ibu biologis, tetapi ibu budaya! Ibu bagi sebuah peradaban yang tangguh. Satu-satunya kunci penting bagi kemajuan kaum perempuan, yang akan menjadi ibu, adalah pendidikan. Pada 4 Oktober 1902, Kartini mengirim surat kepada Prof. Dr. G.K. Anton dan Nyonya.
Begini Kartini menulis, “Kami hendak menjadikan perempuan menjadi lebih cakap dalam melakukan tugas besar yang diletakkan oleh Ibu Alam sendiri ke dalam tangannya agar menjadi ibu yang menjadi pendidik anak-anak mereka. Bukankah pada mulanya dari kaum perempuan jugalah manusia memperoleh pendidikannya. Kaum ibulah yang pertama-tama meletakkan bibit kebaikan dan kejahatan dalam hati sanubari manusia yang akan terkenang sepanjang hidupnya. Bukan saja sekolah yang harus mendidik jiwa anak, tetapi juga yang terutama pergaulan di rumah harus mendidik! Sekolah mencerdaskan pikiran dan kehidupan, di rumah tangga hendaknya membentuk watak anak itu. Ibu adalah pusat kehidupan rumah tangga. Kepada mereka dibebankan tugas besar mendidik anak-anaknya...”
Dalam argumen kedua, Kartini menegaskan anak (perempuan) tidak bisa diharap merawat dan mendidik anak-anaknya sendiri. Jadi, bukan soal anak-anak perempuan yang akan dikawinkan, tetapi juga anak-anak hasil perkawinan yang tidak akan mendapatkan pengasuhan yang baik dari orang tua.
Dalam suratnya pada 21 Januari 1901 kepada Ny R. M. Abendanon – Mandri, Kartini menegaskan “Dari perempuanlah manusia itu pertama-tama menerima pendidikan. Di pangkuan perempuanlah seseorang mulai belajar merasa, berpikir dan berkata-kata. Dan makin lama makin jelaslah bagi saya, bahwa pendidikan yang mula-mula itu bukan tanpa arti bagi seluruh kehidupan. Dan bagaimanakah ibu-ibu bumiputera dapat mendidik anak-anaknya, kalau mereka sendiri tidak berpendidikan?”
Pada argumen ketiga, Kartini yang berwawasan luas menggarisbawahi bahwa perkawinan adalah dasar kokoh untuk membangun keluarga dan untuk memajukan bangsa. Kepada Nona E. H. Zeehandelaar, Kartini menyatakan: “Ternyata dari masa ke masa kemajuan perempuan itu merupakan faktor penting dalam usaha memajukan bangsa. Kecerdasan pikiran penduduk bumiputera tidak akan maju secara pesat bila perempuan ketinggalan dalam usaha itu. Perempuan, sebagai pendukung peradaban.”
Pikiran Kartini sangat maju dan masih relevan hingga saat ini. Pemikiran Kartini menegaskan bahwa keputusan MK yang menolak peninjauan ulang terhadap perkawinan anak, menunjukkan kemunduran kualitas berpikir. Keputusan ini membuat praktik penindasan terhadap anak-anak kita melalui institusi ‘sakral’ perkawinan masih tetap akan berlangsung. Prihatin!
Penulis adalah aktivis sosial-lintas agama, anggota MPH-PGI
KPK Geledah Kantor OJK Terkait Kasus CSR BI
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah kantor Otoritas J...