Siapa yang Terbesar?
Banyak orang telah mengubah predikat pemimpin dari memimpin menjadi menguasai.
SATUHARAPAN.COM – Yesus dan para murid-Nya sedang dalam perjalanan menuju Yerusalem (Mrk. 9:30-37). Menuju Yerusalem berarti menuju salib. Mereka tidak sedang piknik. Mereka sedang menyongsong penderitaan. Telah dua kali, Yesus menyatakan kepada para murid-Nya bahwa Dia harus mati dan bangkit pada hari ketiga. Anak Manusia harus menderita. Itulah jalan yang harus ditempuh Sang Guru.
Di tengah jalan menuju salib itu, para murid bertikai soal siapa yang terbesar di antara mereka. Kita tidak pernah tahu apa motivasi di belakang pertikaian itu. Namun, saya duga mereka hendak bersiap diri seandainya Yesus tak lagi bersama mereka. Mereka mempercakapkan figur yang tepat untuk menggantikan Yesus. Yesus memang tidak mempersiapkan putra mahkota. Oleh karena itu, percakapan itu menjadi amat beralasan.
Uniknya, percakapan itu tidak terjadi di sebuah tempat. Juga tidak di meja makan. Pertemuan itu berlangsung dalam perjalanan. Artinya, pertemuan itu terkesan tidak berlangsung dalam suasana tenang, nyaman, dan perlahan, melainkan dalam suasana sibuk, grasa-grusu, dan serbacepat.
Menarik diperhatikan, hal seserius itu ternyata tidak dipercakapkan secara serius, dengan menggunakan nalar dan budi, namun lebih mengutamakan perasaan. Yang tak kalah pentingnya, mereka menyembunyikan isi persoalan itu dari Sang Guru. Mereka mungkin menyadari bahwa Yesus tak begitu suka mendengarkan percakapan mereka.
Percakapan itu sendiri tidak sepenuhnya salah. Ya, apa salahnya mencari seorang pemimpin? Apa salahnya menyiapkan pemimpin baru? Apa jadinya organisasi tanpa pemimpin? Tetapi, yang perlu ditekankan juga ialah apakah mereka, para murid yang bercakap itu, memahami apa artinya menjadi pemimpin? Pemimpin tentulah orang yang memimpin. Namanya juga pemimpin, pastilah pekerjaannya memimpin. Pemimpin itu kata benda, predikatnya: memimpin. Pemimpin haruslah menjadi seorang yang memimpin dirinya sendiri dan orang-orang yang dipimpinnya mencapai suatu tujuan tertentu.
Jika memang demikian definisinya, mengapa banyak orang berlomba-lomba menjadi pemimpin? Saya duga, banyak orang telah mengubah predikat pemimpin, dari memimpin menjadi menguasai. Pemimpin akhirnya dipahami sebagai figur yang menguasai orang-orang yang dipimpinnya. Akhirnya, banyak orang menganggap pemimpin itu sama halnya dengan penguasa.
Banyak orang ingin jadi pemimpin karena dalam benaknya, pemimpin itu seorang yang berkuasa atau memiliki kuasa. Dan bicara soal kuasa pastilah ada embel-embel fasilitas di belakangnya. Saya duga inilah yang membuat orang berlomba-lomba, bahkan sikut sana-sini, untuk menjadi pemimpin. Sekali lagi, ada fasilitas dibelakangnya.
Sebenarnya fasilitas disediakan bukan untuk memuaskan ego seorang pemimpin, tetapi agar pelayanan dapat menjadi lebih berdaya dan berhasil guna. Jika fasilitas malah menghambat seorang pemimpin dalam melayani, maka fasilitas itu seharusnya ditiadakan.
Sang Guru dari Nazaret pun tak pernah melarang orang menjadi pemimpin, kalau memang tujuannya memimpin dan bukan menguasai. Dan menurut Yesus, tidak ada salahnya menjadi yang terdepan, tetapi bukan untuk menguasai melainkan untuk melayani.
Editor: ymindrasmoro
Email: inspirasi@satuharapan.com
Laporan Ungkap Hari-hari Terakhir Bashar al Assad sebagai Pr...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Presiden terguling Suriah, Bashar al Assad, berada di Moskow untuk menghad...