Sidang MPL-PGI: Mencari Demokrasi yang Beretika
MERAUKE, SATUHARAPAN.COM - Salah satu persoalan penting yang menghadang gereja-gereja di Indonesia, khususnya saat memasuki “tahun politik” 2014 ini, adalah bagaimana memainkan peran mereka di tengah riuh rendah perebutan kekuasaan. Apalagi, dengan syahwat politik yang makin meninggi, sering para politisi tidak segan-segan mempolitisasi isu-isu apapun demi meraup kekuasaan.
Hal itu ditandaskan Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, Ketua DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu) yang hadir dalam study meeting sidang tahunan MPL-PGI di Merauke hari ini (17/01/14). “Potensi konflik horisontal sebagai implikasi negatif ketidaksiapan peserta pemilu dan ketidakprofesionalan penyelengara pemilu sangat mungkin terjadi pada pemilu 2014,” katanya.
Salah satu yang sangat dikhawatirkan Jimly adalah besarnya potensi para tokoh agama dan adat dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok kekuatan politik tertentu yang ingin memancing di air keruh. “Politisasi ini punya target memecah-belah masyarakat dengan isu yang dapat mengadu domba mereka,” katanya. “Kita harus waspada pada isu-isu menyesatkan yang mereka gunakan.”
Soal yang senada digarisbawahi Pdt. Dr. Andreas A. Yewangoe, Ketua Umum PGI, yang berbicara mendampingi Jimly dalam forum itu. “Dalam menghadapi pemilu 2014 ini tidak jarang kita melihat praktik-praktik berdemokrasi yang kebablasan,” katanya. “Sekarang saja sudah ada sinyalmen bagaimana agama juga dipermainkan atau diperalat untuk menggapai kekuasaan. Kedewasaan berdemokrasi masih jauh dari kita.”
Bagi Yewangoe, demokrasi yang sesungguhnya harus menjunjung tinggi etika berbangsa, yakni prinsip-prinsip dasar penghormatan HAM. Sayangnya, selama ini demokrasi hanya dimaknai sebagai proses perebutan kekuasaan dengan menyingkirkan pihak lain, terutama kelompok minoritas.
“Memang dalam merumuskan UU dan hukum, dibutuhkan dukungan mayoritas dalam parlemen. Namun hal itu tanpa mengabaikan hak-hak kaum minoritas,” tegasnya. “Setiap warga negara mempunyai hak-hak dasar yang tidak dapat dicabut oleh siapapun, termasuk negara. Dan dalam demokrasi setiap warga negara memiliki kedudukan sama di depan hukum, sehingga tidak boleh didiskriminasikan atas dasar ras, agama, etnis dan gender.”
Bagi Yewangoe, penghormatan atas hak-hak dasar itu, terutama persoalan kebebasan beragama yang kini marak dipersoalkan, merupakan tolok ukur apakah praktik berdemokrasi kita sudah beretika atau belum. “Kebebasan beragama merupakan salah satu benteng demokrasi. Setiap orang berhak memilih agama atau kepercayaan dan menjalankannya sesuai yang ia yakini,” tuturnya. “Sayangnya sekarang ini justru pelanggaran terhadap kebebasan beragama marak dan pemerintah abai di dalam menjaga itu.”
“Saya cenderung melihat demokrasi yang sekarang dipraktikkan sekadar demokrasi plakat atau demokrasi poster saja,” lanjutnya. “Artinya demokrasi dipraktikkan dengan hanya menempel poster maupun plakat, seperti yang dilakukan para caleg saat menjelang pemilu atau pemilukada.”
Karena itu, Yewangoe menegaskan perlunya semacam rumusan kode etik berdemokrasi. “Namun kode etik ini jangan sekadar dihafal, sehingga tidak berdampak,” katanya. “Dibutuhkan lebih dari itu, yakni pendidikan demokrasi sejak dini, terutama dalam perilaku dan sikap hidup sehari-hari. Itu tugas panggilan penting bagi gereja-gereja.”
Gagasan ini disambut Jimly. “Etika itu dorongan dari dalam. Kita membutuhkan hal itu, sekaligus menginstall dalam sistem kehidupan bernegara sekarang,” katanya. “Jadi ada dua aspek: aspek etika dari dalam dan aspek legal dari luar. Kedua aspek infrastruktur itulah yang sekarang sangat kita butuhkan.”
Jerman Berduka, Lima Tewas dan 200 Terluka dalam Serangan di...
MAGDEBURG-JERMAN, SATUHARAPAN.COM-Warga Jerman pada hari Sabtu (21/12) berduka atas para korban sera...