Sidang WCC: 60 Tahun Perjuangan Keadilan Bagi Perempuan
BUSAN, SATUHARAPAN.COM - Peserta sidang raya Dewan Gereja-gereja Dunia (World Council of Churches / WCC) berkumpul pada Senin dan Selasa (28-29/10) dalam program peremupuan pra sidang dalam komitmen untuk keadilan jender dan advokasi bagi masyarakat yang adil bagi perempuan dalam gereja dan masyarakat.
Program perempuan pra sidang raya ini berupakan tradisi sidang raya WCC yang telah berlangsung sejak dewan ini terbentuk pada 1948. Kegiatan kali ini juga menandai usia 60 tahun program WCC tentang Perempuan dalam Gereja dan Masyarakat.
Pada program ini dibuka kesempatan bagi perempuan yang mewakili tradisi Kristen yang berbeda,wilayah dan usia untuk berbagi visi, dan memberikan kontribusi kepada masyarakat, gerakan okumenis dan mencari persatuan umat Kristen.
Untuk pertama kalinya terjadi di Busan bahwa pertemuan itu juga melibatkan partisipasi laki-laki untuk merefleksikan kontribusi dan peran laki-laki bersama perempuan dalam pembangunan gereja dan masyarakat. Acara ini menyediakan sebuah platform dialog bersama antara perempuan dan laki-laki tentang isu-isu keadilan jender.
Acara dimulai dengan perayaan ulang tahun ke-60. Mereka yang bergabung adalah Uskup Barbel von Wartenberg Potter dari Jerman, yang menjabat sebagai direktur Program WCC untuk Perempuan dalam Gereja dan Masyarakat 1983-1986, Dr Aruna Gnanadason dari Gereja India Selatan yang juga pelaksana program perempuan dalam Gereja dan Masyarakat tahun 1991-2011.
Pada perayaan itu, peserta juga berkesempatan mengenal budaya Korea bersama dengan komunitas perempuan dari seluruh dunia.
Program perempuan pra sidang ini merupakan refleksi atas tema sidang “Tuhan kehidupan, bombing kami menuju keadilan dan perdamaian.” Mereka mengakui realitas masyarakat yang hidup menyangkal kepada perempuan, termasuk kisah tentang kekerasan seksual, pelecehan dan pemerkosaan terhadap perempuan sebagai senjata perang di Kongo. Juga tentang pembongkaran rumah dan trauma yang dialami oleh perempuan dan anak-anak di Palestina.
Pengakuan atas Realitas
Para perempuan pada acara tersebut juga berbagi pengalaman tentang ketidakadilan dalam gereja dan masyarakat, termasuk penolakan penahbisan bagi perempuan di pelayanan gereja dan kasus perdagangan manusia.
Banyak wanita menangis pada kisah-kisah perdagangan manusia dan kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan. Mereka melaporkan bahwa perdagangan manusia untuk tujuan perbudakan seksual dan kerja paksa dialami perempuan demi uang senilai 32 miliar dolar AS per tahun (setara Rp. 350 triliun) dalam industri yang memperbudak lebih dari 30 juta perempuan, pria dan anak-anak setiap tahun.
Sesi kunci dalam percakapan perempuan disampaikan Dr Elaine Neuenfeldt dari Luther World Federation (LWF) tentang "Mengidentifikasi dan pembongkar patriarki dan sistem penindasan terhadap perempuan."
Dia menunjukkan bahwa dalam rangka untuk mengubah sistem penindasan dan mencapai keadilan jender ada kebutuhan untuk proses yang jelas, strategi dan kebijakan yang mempromosikan dan mendorong partisipasi setara perempuan dan bukan hanya acara untuk keadilan jender.
Kamis Hitam
Dalam percakapan itu diungkapkan bahwa semua masalah perempuan adalah isu masyarakat, dan isu-isu di masyarakat adalah isu-isu perempuan.” Jennifer Leath dari Gereja Metodis Episkopal Afrika Yale Divinity School, mengundang dialog yang lebih luas tentang isu-isu jender yang akan menciptakan peluang bagi perempuan untuk berdialog dengan peserta sidang lainnya seperti pemuda, masyarakat adat dan para penyandang cacat.
Peserta pria secara terbuka berdialog tentang maskulinitas, keadilan dan hubungannya dengan keadilan jender. Victor Kaonga dari Trans World Radio Malawi dalam percakapan itu merefleksikan secara mendalam tentang peran laki-laki dalam advokasi untuk keadilan jender.
Dia menunjukkan bahwa masyarakat merayakan prestasi perempuan dalam perjalanan keadilan jender yang mendorong orang untuk mengakui bahwa struktur sosial dan hak-hak patriarki untuk mempertahankan status quo bagi perempuan terutama di gereja. Para pria juga memiliki kesempatan untuk berbagi pengalaman kehidupan nyata mereka dan perjalanan sebagai laki-laki dan pengembangan maskulinitas yang positif.
Komitmen terhadap keadilan jender akan terus dilakukan selama sidang raya WCC dengan cara para peserta akan dianjurkan memakai pakaian hitam sebagai dukungan yang mereka sebut sebagai Kampanye Kamis Hitam.
Melalui sikap sederhana ini peserta diajak untuk menjadi bagian dari gerakan global mendesak mengakhiri kekerasan terhadap perempuan. Thursday in Black, menurut Dr Fulata Mbano - Moyo, pelaksana Program WCC untuk Perempuan dalam Gereja dan Masyarakat, adalah kesatuan ekspresi secara global tentang keinginan sebuah komunitas yang aman di mana kita semua dapat berjalan dengan aman tanpa takut diperkosa, ditembak, dipukuli, dicaci maki dan didiskriminasi karena perbedaan jender seseorang atau orientasi seksual." (oikoumene.org)
Editor : Sabar Subekti
Albania akan Blokir TikTok Setahun
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Pemerintah Albania menyatakan akan memblokir media sosial TikTok selama s...