Simpati Virtual
Kepedulian tak berarti tanpa aksi.
SATUHARAPAN.COM – Penduduk Indonesia adalah pengguna layanan internet dalam jumlah yang fantastis di dunia. Sepertinya tangan setiap anak Ibu Pertiwi menggenggam teknologi bernama gawai (gadget). Gawai, kuota internet dan mungkin power bank kini naik kasta dari kebutuhan tersier menjadi primer. Namun, meski tangannya memegang gawai, orang Indonesia tetaplah orang Indonesia: ramah dan selalu peduli.
Nurani netizen Indonesia mudah sekali disetir oleh postingan yang mengandung isu humanisme: tentang nenek tua sebatang kara yang tiap hari makan nasi aking, tentang kakek tukang ojek yang sepi pelanggan, dan lain-lain. Postingan semacam itu sering kali mampir di beranda media sosial mana pun. Wajar saja, karena kemudahan teknologi dalam genggaman, memang memungkinkan bagi kita untuk berbagi informasi secara real time. Pada saat postingan sudah berhasil diunggah, maka itu bukan lagi milik kita. Postingan dapat disebar dan mencuat, mengundang berbagai respons dalam kolom komentar. Mendadak muncul wajah-wajah baru yang menghias layar media, seperti fenomena Tuhan dan Syaiton beberapa waktu lalu.
Nasib orang yang dianggap kurang beruntung menjadi sorotan media dan dianggap sebagai jualan manis. Apakah bila Si Bintang postingan haru itu diajak tampil di layar televisi, masalahnya selesai? Saya kira tidak.
Netizen harus jeli mencermati setiap postingan yang beredar. Tidak semuanya benar. Kita akui saja, pengguna internet tak semuanya orang jujur, penipu juga bergabung di sana. Bila apa yang kita lihat tersebut memang benar, tetaplah mengonfirmasi demi mencari keutuhan informasi. Bagaimana pun postingan haru biru yang ada di beranda kita hanyalah informasi parsial. Siapa sangka, kalau seorang pengemis di perempatan ibu kota yang memasang tampang melas itu adalah jutawan?
Ada yang mengatakan demikian: masih mending orang-orang bisa peduli walau cuma di internet. Excuse me, di mana letak ”mendingnya”? Yang kita lakukan hanya duduk manis, memegang gawai, membaca postingan mengharukan, lalu membatin: ”Ya Tuhan kasihanilah!”, klik tombol ”like” atau ”share”. Sudah selesai, lantas kita berpindah online shop. Itu simpati virtual! Tak berimbas apa pun, baik bagi si korban atau bagi dirinya sendiri.
Mari kita merenung sejenak. Orang-orang yang murni mengerjakan pelayanan dan menunaikan empati di tengah masyarakat, bahkan tak sempat menjamah gawainya. Boro-boro memposting sesuatu, bisa jadi mereka tak punya gawai.
Kepedulian tak berarti tanpa aksi. Mungkin kita tak bisa menjangkau seseorang yang nasibnya diposting di media, tetapi kita bisa berbuat sesuatu untuk mereka yang ada di sekitar kita. Pasti ada yang perlu ditolong.
Editor: ymindrasmoro
Email: inspirasi@satuharapan.com
KPK Tetapkan Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto, Tersangka Kasus...
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM-Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Sekretaris Jenderal PDI Perju...