Simposium Teologi Pembebasan Asia: Teolog Ditantang Sampaikan Kritik pada Neokapitalisme
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - "Para teolog harus berani menyampaikan kritik pada Neokapitalisme dari sisi iman Kristen, karena iman Kristen mengajarkan kepedulian terutama kepada mereka yang menderita, mereka miskin, dan berita utama kehadiran Tuhan didunia adalah untuk membebaskan orang-orang tertindas," demikian kata Pendeta Robert Setio seusai penutupan Simposium Teologi Pembebasan Asia di Sekolah Tinggi Teologi (STT) Jakarta, Kamis (27/2).
Simposium Teologi Pembebasan Asia yang digumuli oleh 75 peserta utusan dari sekolah tinggi teologi, gereja dan LSM di Indonesia serta narasumber dari negara Taiwan, India dan Korea, berlangsung dari tanggal 24 sampai dengan 27 Februari 2014. Robert Setio, ketua Perhimpunan Sekolah-sekolah Teologi di Indonesia (Persetia), berkesimpulan bahwa Teologi Pembebasan masih sangat relevan di Asia, terutama semakin berkuasanya Neokapitalisme. Dengan demikian para teolog ditantang untuk menyampaian kritik pada Neokapitalisme dari sisi iman Kristen, dampak Neokapitalisyang terutama nampak pada kehidupan materiil yang dipuja dan seringkali dianggap menjadi pertanda kesuksesan hidup seseorang.
Gereja-gereja sekarang, menurut Robert Setio, nampak kurang peduli terhadap misi utama membebaskan orang-orang yang tertindas itu, gereja cenderung lebih sibuk dengan urusan di dalam gereja dan bahkan ikut-ikutan menunjukkan keberhasilan gereja lewat bangunan-bangunan gereja yang mewah, persembahan yang luar biasa. yang semuanya sifatnya materiil. Dalam masalah politik, banyak politisi tak ubahnya agen-agen neo kapitalisme dan di Indonesia sebenarnya tidak ada politisi dan negarawan yang betul-betul memiliki keprihatinan rakyat miskin.
Kalau bicara peran yang seharusnya, lanjut Robert Setio, "Gereja mestinya menyuarakan suara kenabian, menyuarakan kepedulian terhadap penderitaan orang miskin, namun pada kenyataan tidak ada, belum ada, dapat dibilang lumpuh." Hal sebaliknya, justru ada para pemimpin umat yang ikut menjadi calon legislatif dan menduduki jabatan eksekutif, yang sangat mungkin didorong oleh motivasi kekuasaan dan uang, materi. "Mereka diseret pada arus dunia yang sangat materialistik, dan menjadi agen neo kapitalisme," demikian kata Robert Setio.
Tindak lanjut simposium Teologi Pembabasan Asia, ada beberapa hal yang menurut Robert Setio akan menjadi agenda para pendeta dan Sekolah Teologi. Para peserta sepakat untuk menguatkan spirit Teologi Pembebasan itu dalam pelayanan di gereja, sekaligus akan dapat membawa jemaatnya peduli soal penderitaan dan kemiskininan. Peserta dari Sekolah Teologi, bersepakat untuk memperhatikan kembali kurikulum sekolah teologi, yang selama ini dipertanyakan relevansinya. "Dari hasil simposium disimpulkan bahwa Teologi Pembebasan masih dan memang masih sangat relevan untuk diajarkan dan mendiskusikannya," kata Robert Setio.
Hal yang paling menarik dari kegiatan simposium yang diadakan, yakni bahwa Teologi Pembebasan selalu berpihak pada pengalaman nyata, bahwa pengalaman orang miskin dan tertindas itu sebagai sumber teologi, baik dalam gereja dan juga di sekolah teologi. Robert Setio mengatakan, "dengan masukan dari pembicara, seperti Sandyawan dan Anna Marciana, sebagai orang-orang yang telah yang hidup dan berjuang bersama wong cilik, ini telah memberi inspirasi kepada peserta."
Robert Setio juga mengingatkan, "Disekitar kita banyak orang yang bisa didatangi, dimana kita bisa mengalami dan melakukan refleksi teologi. Ada banyak bahan berteologi, tetapi terabaikan. Simposium ini, memberikan inspirasi tentang apa yang seharusnya dilakukan gereja dan teolog puluhan tahun yang lalu."
Konteks Berteologi di Asia
Dalam konteks Asia, Robert Setio menjelaskan, bahwa ada pertanyaan besar, apakah yang dimaksud Asia itu komunitas yang homogen, karena ada negara-negara yang makmur seperti Korea Selatan, Jepang, Hongkong, Singapura, namun demikian mereka harus dikritik, termasuk gereja karena juga mengabaikan masalah sosialnya. Kemakmuran membuat gereja lupa pada nasib orang kecil.
Mencontohkan adanya kasus yang dihadapi pekerja migran, ini adalah tantangan bagi gereja di negara-negara maju untuk memperdulikan mereka, semata-mata karena kemanusiaan. Mereka, pekerja migran seharusnya diperlakukan dengan adil, dan tidak lagi dianggap sebagai robot atau mesin pekerja tanpa nama, yang seringkali diperdaya oleh oknum mafia. "Suara gereja nyaris tidak ada, kalaupun ada hanya kegiatan karikatif yang tidak sampai hal mendasar dan struktural yang menyuarakan para pekerja migran ini," Robert Setio menegaskan.
Berteologi di Sumba
Pendeta Irene Umbu Lolo peserta dari STT Gereja Kristen Sumba (GKS), seusai simposium menceritakan, "melalui kegiatan simposium ini, saya mendapatkan pencerahan, melihat kembali kondisi di Sumba begitu banyak masalah sosial, termasuk yang ada di dalam gereja, dimana begitu banyak orang belum merasakan pembebasan yang sesungguhnya."
Mengambil contoh, kehidupan di Sumba, Irene menceritakan perlunya melihat alam dan perusakan lingkungan yang terjadi di Sumba, "Saya melihat pemerintah setempat kurang peka akan kebutuhan masyarakat, Sumba sebagai daerah agraris, mestinya para petani diberdayakan, bahkan ada upaya merusak lingkungan Gunung Wanggameti, sebagai sumber air petani, karena ada rencana pertambangan emas." Menurut Irene upaya ini hanya semata mengeruk kekayaan alam di Sumba dan yang hanya merusak daripada memberikan kesejahteraan masyarakat.
Irene menceritakan peran gereja di sana. GKS berusaha menyampaikan suara kenabian dengan tegas, walaupun ada konsekuensi bagi gereja pada saat ini. Hal lain yang penting menurut Irene, adalah mengenai kekerasan di masyarakat Sumba dengan kental dengan budaya patriaki, dimana kaum perempuan dan anak-anak menjadi kaum yang rentan menjadi korban kekerasan. "Hal-hal Ini menjadi pekerjaan rumah kami, ketika kami kembali ke Sumba," kata dia.
Simposium ini bagi Irene adalah pencerahan yang akan dia bagikan kepada rekan dosen dan mahasiswa di STT GKS. Irene dengan yakin mengatakan, "kita harus membuat gerakan bersama dengan berbagai pihak di Sumba, supaya ini menjadi jelas, arahnya kini demi perjuangan kemusiaan dari berbagi bidang dan berbagai aspek, agar bisa merasakan kebebasan yang sesungguhnya."
Berteologi di Kaki Gunung Sinabung
Pendeta Theodosius Keliat yang telah delapan tahun melayani di tengah jemaat di Gereja Batak Karo Protestan (GBKP), menjadi salah satu peserta simposium ini. Ketika satuharapan.com menanyakan kesan simposium, Theodosius mengatakan, gereja saat ini masih cenderung terkungkung dalam batasan wilayah teologi tradisional. Gereja GBKP yang sudah ada sejak tahun 1890, baginya tidak memiliki identitas teologi yang jelas berkaitan dengan identitas masyarakat lokal, Karo. "Kami terasing dari Injil yang membebaskan itu, dalam praktek kehidupan gereja cenderung bersifat tradisional," demikian Theodosius.
Pendeta Theodosius berkata, "Simposium ini membuat saya berpikir bagaimana memberikan pencerahan dan kesadaran kepada warga GBKP, agar dapat berubah dan menyadari setiap teologi ini harus memiliki aspek pembebasan imperatif. tidak hanya selalu menerima, tetapi mencari dan menjawab konteks yang berubah terus menerus."
Dalam konteks erupsi Gunung Sinabung di tanah Karo, Theosius menceritakan, bahwa tidak cukup hanya berkata ini adalah kehendak Tuhan, atau peringatan dari Tuhan, tetapi kenapa tidak mencari makna yang lebih baik, lebih baru, bagai mana melihat kebijaksanaan dan spiritualitas lokal, tetapi membangun teologi yang tepat.
Theodosius mengatakan sebelumnya juga pernah ada wacana "teologi bencana", tetapi mengapa tidak digali dari dulu. "Selama ini gereja hanya membicarakan hal yang abstrak, yang hanya berkutat pada struktur gerejawi. Kita harus mengembangkan teologi yang melampaui dan menjawab tantangan dari realitas yang nyata," demikian kata Theodosius.
Editor : Bayu Probo
Puluhan Anak Muda Musisi Bali Kolaborasi Drum Kolosal
DENPASAR, SATUHARAPAN.COM - Puluhan anak muda mulai dari usia 12 tahun bersama musisi senior Bali be...