Sinema Bentara: Edukasi Kebencanaan Melalui Film
GIANYAR, SATUHARAPAN.COM - Selama dua hari, 19 hingga 20 Oktober 2018, Bentara Budaya Bali (BBB) menghadirkan program Sinema Bentara yang secara khusus mengetengahkan film cerita dan dokumenter terpilih dalam bingkai tajuk “Kebencanaan, Mitigasi dan Kemanusiaan”. Selain pemutaran film, diagendakan pula diskusi selaras upaya menumbuhkan budaya sadar bencana dan mendorong publik untuk sigap tanggap terhadap bencana.
Tampil sebagai narasumber yakni Shusi Susilawati, seorang peneliti, conten creator dan kini sebagai praktisi DRR (Disaster Risk Reduction). Ia juga penulis naskah dan produser film dokumenter Repdeman (Merawat Ingatan Tsunami Mentawai 2010), salah satu film yang juga turut ditayangkan pada program Sinema Bentara ini.
Adapun tematik Sinema Bentara yang dipilih kini terkait kejadian bencana yang menimpa sejumlah wilayah di Indonesia, termasuk yang terkini di Sulawesi Tengah. Tujuannya ialah membangun kesadaran sigap tanggap perihal kebencanaan, berikut upaya transfer of knowledge yang diharapkan dapat mendorong adanya perubahan cara pandang dalam menyikapi fenomena alam tersebut.
Terlebih melihat kenyataan bahwa Indonesia memang secara alami dilalui dua rangkaian pegunungan besar dunia, yaitu Sirkum Mediterania dan Sirkum Pasifik, serta menjadi titik pertemuan Lempeng Indo-Australia, Lempeng Eurasia dan Lempeng Pasifik. Indonesia rawan terhadap bencana gempa bumi, letusan gunung api, hingga tsunami. Dengan demikian, bencana alam merupakan keniscayaan yang harus diterima dan dikelola agar dapat meminimalisir dampaknya.
Shusi Susilawati, yang juga terlibat sebagai peneliti Ekspedisi Sesar Palu-Koro, mengungkapkan bahwa melalui film Repdeman ini ia bersama sejumlah peneliti dan praktisi lain, termasuk jurnalis, berupaya mendokumentasikan aset pengetahuan dari masyarakat Mentawai tentang peristiwa Tsunami 2010, serta bagaimana mereka menyikapi bencana tersebut dan bertahan. Ia menyebut bahwa film tersebut adalah inisiatif project yang dilakukan secara independent dan swadaya.
“Aset pengetahuan tentang bencana penting untuk didokumentasikan, supaya tidak hilang, tetap terjaga dan terawat sebagai warisan serta pembelajaran bagi generasi yang akan datang. Sebab bencana merupakan sebuah siklus dan pengulangannya belum tentu terjadi di generasi kita, tapi mungkin puluhan tahun yang akan datang. Maka penting agar aset pengetahuan dan pengalaman itu tidak hilang begitu saja,” ungkap Shusi.
Ia pun menyatakan keinginannya untuk suatu saat nanti dapat mendokumentasikan aset pengetahuan tentang kebencanaan di titik-titik lain di Indonesia, misalnya di Pesisir Selatan Jawa. Pendokumentasian melalui film ini juga salah satu upaya untuk menjembatani kesenjangan komunikasi dan pengetahuan antara praktisi dan peneliti, atau ilmuan, dengan masyarakat luas.
Selain Repdeman, yang disutradarai Dandhy Laksono, film-film lain yang ditayangkan pada Sinema Bentara ini antara lain: La Soufrière (Jerman, Dokumenter, 1977, Durasi: 30 menit, Sutradara: Werner Herzog), Ekspedisi Gunung Agung (Indonesia, Feature-Dokumenter, Durasi : 44 menit, Produksi Kompas TV, 2017), Hafalan Shalat Delisa (Indonesia,Film Cerita, 2011, Durasi: 150 menit, Sutradara: Sony Gaokasak) dan Light Up Nippon (Jepang, 2012, Dokumenter, Durasi: 28 menit, Produksi The Japan Foundation).
Selain itu, ditayangkan pula video edukasi Tanggap, Tangkas, Tangguh Menghadapi Bencana produksi BNPB.
Program ini didukung oleh Bioskop Keliling Kemendikbud RI - BPNB Bali, NTB, NTT, Goethe Institut Indonesien, Kompas TV, Watchdoc Documentary, BPPT, ITB serta Guerilla, JapanFoundation, juga Badan Nasional Penanggulan Bencana (BNPB) dan Udayana Science Club.
Melalui film Hafalan Shalat Delisa, penonton menyaksikan bagaimana Delisa, gadis kecil yang selamat dari bencana Tsunami Aceh, berupaya bangkit di tengah kehilangan dan kesedihan ditinggal orang-orang terkasihnya. Sementara Light Up Nippon mendokumentasikan proyek peluncuran kembang api di 10 daerah yang terkena bencana secara serentak. Secara tradisional, kembang api di Jepang merupakan media untuk mengenang para korban dan juga merupakan simbol harapan serta doa yang bertujuan bagi pemulihan dan ketenangan jiwa.
Pemirsa Sinema Bentara juga dapat meresepi dan menghayati kearifan atau local wisdom melalui film feature - dokumenter Ekspedisi Gunung Agung. Gunung Agung memang sumber spiritualisme masyarakat Bali, namun juga terbilang masih aktif dan menyimpan potensi letusan yang hingga kini belum dapat diprediksi secara pasti sebagaimana terjadi tahun 2018 ini.
Sutradara legendaris Jerman, Warner Herzog, sempat mendokumentasikan perjalanannya mengunjungi sebuah pulau ketika gunung api diperkirakan meletus melalui La Soufrière (1977). Bersama tim produksinya ia membentangkan tayangan jalan-jalan sepi seraya mewawancarai satu-satunya petani yang bersiteguh memilih tetap tinggal di pulau tersebut. (PR)
Prasasti Batu Tertua Bertuliskan Sepuluh Perintah Tuhan Terj...
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Prasasti batu tertua yang diketahui yang bertuliskan Sepuluh Perintah Tuha...