Sinta Nuriyah Wahid: Perempuan Kelompok Minoritas, Rentan
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Istri mantan Presiden KH Abdurrahman Wahid, Sinta Nuriyah mengatakan perempuan menjadi rentan terhadap kekerasan fisik ketika terjadi penyerangan terhadap kelompok minoritas, terutama dilempari dan didorong-dorong.
“Sering perempuan dan anak-anak dibawa ke kantor polisi dengan alasan supaya mendapatkan perlindungan dan pengawasan, tapi tidak diberi makan dan dibiarkan telantar,” kata Sinta saat menjadi narasumber dalam peluncuran ‘Laporan Komisi Nasional (Komnas) Perempuan tentang Kekerasan dan Diskriminasi terhadap Perempuan dalam Konteks Pelanggaran Hak Konstitusional dan Kebebasan Beragama’ di Bidakara, Jakarta Selatan, Senin (22/12).
Dalam laporan ini, kasus utama yang diangkat antara lain kasus Ahmadiyah, Syiah, Baha’i, komunitas Islam lainnya yang kesulitan mendirikan masjid (misal di wilayah Nusa Tenggara Timur), GKI Yasmin, HKBP Cikeuting, HKBP Filadelfia, sampai kasus penutupan gereja dan vihara.
Dikatakan Ketua Pelapor Khusus Kebebasan Beragama Komisi Nasional Perempuan ini pemerintah daerah dinilai sebagai aktor pelanggar kebebasan beragama misalnya lewat cara Satpol PP menertibkan, maupun lewat camat dan bupatinya. Kantor Urusan Agama (KUA) juga menjadi agen pelanggaran dan diskriminasi hak konstitusional dengan menolak pencatatan sipil pasangan Ahmadiyah dan Syiah, meskipun ada juga beberapa yang mau mencatatkannya.
Dalam hal pelanggaran ini, kepolisian justru lebih sering membiarkan pelanggaran dengan dalih keterbatasan sumber daya dan lebih cenderung menjadikan minoritas yang menjadi korban, dengan rekayasa justru dijadikan pelaku.
Selain kekerasan fisik yang dialami seluruh perempuan komunitas agama minoritas, pendokumentasian ini juga merekam bahwa perempuan rentan mengalami kekerasan psikologis, ekonomi, sampai seksual. Perempuan mengalami pemerasan, penjarahan, dan perampasan sumber penghidupan, misalnya yang terjadi pada perempuan pengungsi jemaah Ahmadiyah dan Syiah harus kehilangan akses terhadap hak milik dan seluruh aset di kampung halaman mereka.
Perempuan Ahmadiyah dan Baha’i tidak memperoleh hak mendapatkan KTP yang berdampak pada kesulitan mengakses layanan kesehatan terutama untuk kesehatan reproduksi mereka. Bahkan, anak-anak mereka juga tidak memiliki akses untuk mendapatkan pendidikan dan pencatatan akta kelahiran, dan di lingkungan sosialnya, anak mereka menjadi korban bully. Para perempuan minoritas ini juga masih harus mendapatkan stigma ‘tidak bermoral’ dalam masyarakat.
Dalam situasi ini, Pelapor Komnas Perempuan setidaknya menemukan 30 hak konstitusional yang dilanggar. Laporan ini merujuk pada hasil pemantauan tim Pelapor Khusus Komnas Perempuan di 40 kota/kabupaten dan di 12 provinsi sejak 2012 sampai 2013, dan baru bisa diluncurkan pada 2014 ini.
Sikap negara yang berpihak kepada intoleran ditunjukkan dengan menyuruh korban pengungsi yang apabila ingin kembali ke kampung halamannya, harus mengubah kepercayaan sebagai syaratnya.
Komnas Perempuan juga mencatat, akibat pengalaman kekerasan dan diskriminasi dalam konteks intoleransi antarumat beragama, perempuan menjadi kehilangan rasa aman dan khawatir akan masa depan anak-anaknya dan kelanjutan hidup keluarganya.
Namun keluarga korban tersebut, menurut catatan Komnas Perempuan, bukan berarti menyerah begitu saja terhadap keadaan. Perempuan korban terus menunjukkan sikap proaktif dalam bentuk membekali anak-anaknya dalam menghadapi situasi darurat, serta membangun ruang dengan mengupayakan pertemuan lintas iman.
Editor : Bayu Probo
Prasasti Batu Tertua Bertuliskan Sepuluh Perintah Tuhan Terj...
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Prasasti batu tertua yang diketahui yang bertuliskan Sepuluh Perintah Tuha...