Sinta Nuriyah Wahid: Tidak Ada Pola Umum Kekerasan Pada Perempuan
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Menurut Sinta Nuriyah Wahid, hampir tidak ada pola umum tindak kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan fisik biasanya muncul secara spontan ketika emosional memuncak saat terjadi konflik, sehingga ia kehilangan kendali.
"Sementara kekerasan nonfisik justru timbul di luar kesadaran pelaku kekerasan, sehingga bisa terjadi dalam waktu yang lama," kata Sinta Nuriyah Wahid pada acara Dengar Kesaksian bersama Koalisi Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran (KKPK) di Perpustakaan Nasional RI, Salemba, Jakarta Pusat, pada Senin (25/11).
KKPK, sebuah aliansi masyarakat sipil di Indonesia yang mengadvokasi berbagai pelanggaran HAM di masa lalu mencoba menjawab pertanyaan para korban kekerasan dengan menyelenggarakan acara yang mengusung tema “Bicara Kebenaran, Memutus Lingkar Kekerasan” ini.
Kekerasan terhadap perempuan bisa terjadi pada siapa saja, dengan latar belakang sosial dan pendidikan apapun, dan dengan penyebab yang beragam, mulai dari alasan ekonomi, sampai perselingkuhan, dan lain sebagainya berdasarkan pemikiran Sinta Nuriyah Wahid.
Siklus kekerasan jenis ini akan naik ketika emosi naik dan akan turun ketika emosi turun, namun kekerasan psikis akan tetap terjadi jika konflik tidak diselesaikan.
Memberikan Perlindungan Terhadap Aktivis
"Kita bisa memberikan perlindungan terhadap pembela demokrasi dan HAM melalui tiga cara," kata Sinta. Pertama perlindungan hukum dengan memberikan advokasi hukum terhadap mereka. Kedua perlindungan fisik dari berbagai ancaman dan tekanan, ini pernah dilakukan Gus Dur terhadap beberapa aktivis yang mengalami ancaman fisik, mereka dititipkan di rumah Kyai dikawal anggota Panser dan Pagar Nusa.
Kemudian yang ketiga, lanjut Sinta, perlindungan kultural dan teologis dengan cara membangun logika yang bisa dijadikan pijakan dan legitimasi para pejuang demokrasi dan HAM, sehingga perjuangan mereka diterima.
Gus Dur juga pernah melakukan hal ini, ketika banyak aktivis yang diburu dan dicap sebagai kaum liberal. Gus Dur justru memasukkan mereka sebagai bagian dari keluarga besr NU (Nahdlatul Ulama), dengan cara ini bukan hanya membuat mereka merasa nyaman, tetapi juga membuat kelompok lain merasa jengah untuk terus memburu para aktivis demokrasi dan HAM.
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Gereja-gereja di Ukraina: Perdamaian Dapat Dibangun Hanya At...
WARSAWA, SATUHARAPAN.COM-Pada Konsultasi Eropa tentang perdamaian yang adil di Warsawa, para ahli da...