Sirkus Barock Menyulam Semangat untuk Sulam
YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Sekolah Seni Alam “Sulam” Yogyakarta, sebuah ruang belajar interaktif yang menggunakan musik serta seni pertunjukan lainnya sebagai media pembelajaran, Selasa (24/9) malam menggelar pentas merayakan ulang tahunnya yang keenam.
Gelaran bertajuk “SATversary, rumah kami beratap langit ruang belajar kami bumi” dihelat di Gedung Societet Militair, Taman Budaya Yogyakarta.
Kepala sekolah Sulam Feri Ludiyanto menjelaskan bahwa SATversary merupakan kegiatan perayaan kebersyukuran musik dan silaturahmi generasi yang lebih muda, para penggerak pendidikan musik juga musisi. SATversary meniktikberatkan pada kegiatan perayaan syukur dan menjalin komunikasi yang lebih intim antar sesama musisi, penggerak pendidikan musik ataupun masyarakat yang terlibat. Untuk keperluan tersebut Feri menggandeng kelompok musik Sirkus Barock untuk tampil bersama murid Sulam dalam pementasan tersebut.
“Tahun ini kami mengusung tema “SATversary”. SATversary diambil dari hitungan keenam sebagai ulang tahun Sekolah Seni Alam “Sulam” Yogyakarta. Barangkali aktivitas ritus persaudaraan semacam ini agak redup dimakan "citra media digital" di serambi mata, sekalipun berkali-kali kebiasaan ini dilakoni untuk membunuh waktu di sepanjang pertemuan kita. Untuk menyapa yang lama tak bersua dan yang selalu berjumpa dengan rasa syukur,” jelas Feri kepada satuharapan.com saat persiapan pementasan SATversary, Selasa (17/9).
Sulam didirikan oleh Rize Roida Hais, violinis-pendidik dan musisi Kapricorn ‘Ucok’ Hutabarat pada 9 September 2013. Keingingan membentuk Sulam didadasarkan pada kegelisahan kedua seniman musik tersebut yang melihat realitas dunia pendidikan dimana ilmu pengetahuan dijajakan seperti barang dagangan tanpa nilai-nilai pengetahuan. Semakin banyak fasilitas dibangun, semakin tinggi pula biaya yang harus dibayar. Pendidikan seni (musik-pertunjukan) pun terjebak dalam praktik-praktif komoditif. Generasi seni dididik untuk menjadi pemenang perlombaan dan mengesampingkan proses, dan tidak diajarkan untuk menerima kekalahan sebagai bagian perlombaan.
“Melupakan proses alias instanisasi dalam dunia pendidikan seni dilakukan untuk mencetak imajinasi-imajinasi kaku dalam kepala penuntut ilmu. Sulam tidak untuk mencetak artis/seniman, namun memberikan ruang seluas-luasnya kepada anak-anak dan remaja untuk bermain dalam dunianya. Musik hanya salah satu sarana untuk itu (bermain dan belajar bersama),” jelas Ucok kepada satuharapan.com, Selasa (24/9) malam.
Perhelatan SATversary menampilkan seluruh kelas musik yang ada di Sulam saat ini yakni kelas perkusi, kelas ansambel gesek biola, dan kelas instrumen tiup. Seluruh kelas musik ditampilkan pada sore hari dalam format mini orkestra ansambel biola.
Setelah jeda sejenak, malam harinya perhelatan dilanjutkan dengan pementasan kolaborasi ansambel biola dengan kelompok musik Angin Timur, Bulan Jingga, Semendelic, NOS Indonesia. Dalam setiap penampilan kolaborasi seorang murid Sulam mempresentasikan satu komposisi yang dibuatnya sendiri. Di akhir pementasan seluruh murid Sulam berkolaborasi dengan kelompok musik Sirkus Barock membawakan dua lagu “Anak-anak Pelangi” dan “Lingkaran Aku Cinta Padamu”.
Tidak penting apakah penampilan anak-anak Sulam menyajikan pementasan yang memanjakan mata-telinga pengunjung, karena SATversary menjadi ruang presentasi mereka menghadirkan hasil proses belajarnya selama ini. Kesalahan adalah bagian dari pertunjukan itu sendiri. Dengan begitu SATversary sekaligus menjadi ruang ekspresi-apresiasi dimana anak-anak Sulam bisa tampil dengan bebas tanpa dibebani hal-hal yang berat dalam bermusik.
Hasilnya justru diluar dugaan. Dalam bimbingan guru-gurunya Ursula, Raga Aprilia, Keiza, Kenisha, dan Celico masing-masing mencoba membuat satu komposisi lagu yang merupakan pembacaan mereka atas perasaan, realitas, dan hal-hal sederhana lainnya dalam usianya. Di titik ini Sulam cukup berhasil memberikan ruang bagi anak-anak dalam sebuah proses yang runtut ketika dalam sebuah permainan ansambel orkestra mereka harus berbagi ruang dalam irama yang padu. Dalam kehidupan nyata itulah seharusnya yang terjadi: bergandengan tangan.
Permainan ansambel biola dalam mini orkestra kolaborasi Sulam secara keseluruhan cukup bagus terlebih ketika kelima kelompok musik membawakan lagu-lagu yang bertemakan persahabatan, cinta kasih, dan persaudaraan. Penguasaan teknik anak-anak Sulam di panggung menjadi gambaran bagaimana proses belajar yang dijalani secara bertahap. Bagaimanapun lima kelompok musik tersebut telah memiliki jam terbang yang tinggi dengan beragam warna musik. Beberapa komposisi lagu dimainkan dengan iringan teknik pizzicato biola anak-anak Sulam. Pada komposisi lain saat beat-nya meningkat mereka pun mengiringinya dengan gesekan pada senar biola secara cepat dan dengan nada yang cukup presisi untuk anak seusianya.
Sebuah komposisi lagu dari Bulan Jingga berjudul “Halimun” dimainkan secara kolaboratif dengan apik. Di akhir repertoar “Halimun” ansambel biola dimainkan dengan menurunkan volume suara ansambel biola secara rapi sehingga terdengar seolah-olah turunnya volume suara permainan ansambel berasal dari sound control. Dan itu dihasilkan langsung dari suara permainan ansambel biola. Sebuah sajian yang indah.
Aktivitas belajar Sulam saat ini berada di Rumah Budaya Siliran dan sekitarnya di Jalan Siliran Lor No.26, Kelurahan Panembahan Kecamatan Kraton, Panembahan, Yogyakarta setiap hari Minggu. Selain aktivitas belajar bersama, Feri Ludiyanto menjelaskan ada dua program yang digunakan untuk ruang presentasi-apresiasi yakni Sowan Panggon dan Sowan Panggung.
Dalam proses pembelajaran bersama diajarkan metode penyampaian teori musik, anatomi instrumen, ritmis, gestur, etika, pengetahuan umum musik, komunikasi masa, performance, teknik pentas, penghayatan lagu, story telling dan lain-lain diadaptasi dengan cara Sekolah Seni Alam (Sulam). Metode tersebut dilakukan dengan pendekatan game atau aktivitas menyenangkan dalam belajar. Memasuki tahun keempat, Sulam mulai menciptakan karya repertoar sekaligus menyajikannya.
Sowan Panggon, adalah sebuah resital yang dilakukan dengan semangat anjangsana, berkunjung dan silaturahmi di tempat baru dengan target sahabat Sulam memahami konsep-konsep etika masyarakat dan keruangan atau empan-papan. Sementara Sowan Panggung, adalah sebuah resital yang dilakukan dengan semangat perayaan hasil proses, di tempat pentas dengan target sahabat Sulam memahami konsep-konsep etika pentas, mentas, kesadaran pentas dan kejujurannya.
Secara sederhana Sulam melakukan dua hal yang tidak sederhana dalam bermusik bagi murid-muridnya: proses penciptaan karya seni secara bersama-sama sekaligus menyajikannya secara riang gembira kepada masyarakat.
Selamat ulang tahun yang keenam, Sulam. Teruslah merajut semangat persahabatan-persaudaraan dan menyulamnya dalam kehidupan nyata yang indah bagi anak-anak Indonesia.
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...