Siswa Perlu Dukungan Orangtua dan Pendidik dalam Mengatasi Rintangan Belajar
SATUHARAPAN.COM-Ada tren penurunan partisipasi siswa dalam aktivitas belajar selama pembelajaran jarak jauh yang terjadi di seluruh jenjang pendidikan, dari Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sampai Perguruan Tinggi. Ini salah satu hasil dari penelitian yang dilakukan Meilani Rohinsa, yang menunjukkan bahwa lebih banyak siswa yang menunjukkan rendahnya keterikatan (engagement) dalam pembelajaran, ketimbang yang tinggi.
Doktor psikologi dan seorang psikolog di Universitas Kristen Maranatha, Bandung, ini mengungkapkan hal itu dalam orasi ilmiah pada Dies Natalis ke-56 kampus itu, hari Rabu (15/9). Temuannya itu dari penelitian yang dilakukan oleh Research on Improving System of Education (RICE) dan Kemendikbud Ristek tahun 2021. Namun disebutkan bahwa hal itu bukan saja terjadi pada saat pembelajaran jarak jauh, teramati pula oleh guru saat pembelajaran luring.Dalam orasinya berjudul “Dukungan Orangtua dan Pendidik Dalam Meningkatkan Kemampuan Mengatasi Rintangan Akademik dan Membentuk Siswa Yang Aktif, Kreatif dan Mandiri Dalam Belajar (Memiliki Academic Buoyancy dan Engagement), diungkapkan bahwa sebanyak 112 pendidik (guru dan dosen) menyatakan bahwa pada umumnya siswa menunjukkan sikap yang cenderung pasif dan kurang kreatif. Sementara, capaian pembelajaran di Kurikulum 2013 untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah dan Kurikulum KKNI untuk jenjang pendidikan tinggi, serta situasi pembelajaran saat ini, menuntut siswa bukan sekadar “menerima” apa yang disampaikan oleh pendidiknya.
Sebaliknya, siswa diharapkan lebih aktif berpartisipasi saat belajar, mandiri atau berinisiatif mencari berbagai sumber untuk menyelesaikan tugas, dan kreatif dalam usaha memahami pelajaran. Hal ini merujuk pada konsep psikologi, yaitu keterikatan siswa terhadap aktivitas belajarnya di kelas (engagement). Siswa menunjukkan partisipasi aktif dalam aktivitas belajar yang disertai dengan emosi yang positif.
Engagement Rendah
Data hasil penelitian terhadap 1.352 siswa kota Bandung menunjukkan bahwa lebih banyak siswa yang menunjukkan engagement yang rendah (53.49%) dibandingkan engagement yang tinggi (46,51%). Hal ini terutama disebabkan siswa mengalami tuntutan akademik yang berat pada jenjang pendidikan yang sedang ditempuhnya. Beratnya beban siswa saat menjalankan kegiatan belajar juga tergambar dari survey KPAI yang menunjukkan dari 1.700 siswa di Indonesia 79,9% menghayati bahwa mereka mengalami tekanan saat menjalankan pembelajaran jarak jauh. Demikian pula hasil penelitian Rohinsa yang menunjukkan dari 1.352 siswa di kota Bandung 98,5% di antara mereka mengalami rintangan akademik saat belajar.
Rintangan akademik adalah masalah-masalah yang sifatnya ringan namun rutin mereka hadapi atau yang dapat diistilahkan dengan daily hassles, misalnya tugas yang banyak dan waktu mengerjakan yang terbatas, sulit memahami pelajaran, bosan dalam belajar.
Meskipun rintangan akademik ini ringan dan sifatnya berupa masalah sehari-hari, siswa tetap harus mampu mengatasinya agar tidak berkembang menjadi masalah akademik yang besar. Oleh karena itu siswa perlu memiliki kemampuan untuk mengatasi rintangan akademik atau yang diistilahkan dengan academic buoyancy.
Academic Buoyancy
Ternyata hasil penelitian Rohinsa menunjukkan hanya 58,843% siswa yang memiliki kemampuan mengatasi rintangan akademik atau academic buoyancy yang tinggi dan sisanya sebanyak 41,57% siswa memiliki kemampuan mengatasi rintangan akademik yang rendah. Padahal kemampuan ini merupakan faktor yang sangat penting untuk membentuk keterikatan siswa terhadap aktivitas belajar.
Dapat dikatakan siswa perlu memiliki academic buoyancy agar dapat menunjukkan perilaku yang aktif, kreatif dan mandiri. Hal ini juga terkonfirmasi dari penelitiannya sebelumnya yang menunjukkan bahwa kemampuan mengatasi rintangan akademik memiliki pengaruh yang signifikan terhadap keterikatan (engagement).
Rohinsa menggunakan self-determination theory, di mana semua orang dapat berfungsi optimal dalam area kehidupannya, asalkan kebutuhan psikologis dasarnya terpenuhi. Artinya, siswa juga dapat berfungsi optimal dalam belajarnya, yaitu menunjukkan perilaku yang aktif, kreatif dan mandiri, apabila kebutuhan psikologis dasar dalam dirinya terpenuhi. Menurut teori ini, hanya lingkunganlah yang dapat memenuhi kebutuhan psikologis dasar dalam diri sesorang. Tidak seorangpun dapat memenuhi kebutuhan psikologis dasarnya sendiri.
Semua orang memiliki tiga kebutuhan psikologis dasar yaitu: 1. kebutuhan merasa dirinya mampu atau need of competence, 2. kebutuhan merasa dirinya tidak terpaksa dalam melakukan sesuatu atau need of autonomy, dan 3. kebutuhan diterima oleh lingkungannya atau need of relatedness. Ketiga kebutuhan psikologis dasar ini dapat dipenuhi apabila lingkungan memberikan: 1. kepercayaan dan kesempatan atau autonomy support, 2. panduan dan arahan atau structure, dan 3. perhatian atau empati atau involvement. Apabila lingkungan memberikan ketiga bentuk dukungan itu secara selaras dan konsisten, siswa akan memiliki pandangan bahwa: 1. dia mampu atau sense of competence, 2. dia tidak terpaksa atau sense of autonomy dan 3. dirinya diterima atau dihargai atau sense of relatedness.
Data yang diperoleh mengenai penghayatan siswa terhadap dukungan orangtua, diperoleh gambaran bahwa sebagian besar siswa menghayati bahwa orangtua menekankan pada pemberian dukungan materi dan batasan aturan, panduan (structure) tinggi dan menekankan pada bantuan dan perhatian (involvement) tinggi, namun kurang memberikan kepercayaan dan kesempatan kepada anaknya (autonomy support) rendah.
Temuan itu menunjukkan sebagian besar siswa menghayati bahwa pendidik menekankan aturan saat berinteraksi dengan siswanya (structure tinggi), membantu siswa dalam memahami materi (involvement tinggi), namun kurang memberikan kesempatan kepada siswa untuk memilih cara belajar yang diminati siswa dan cara mengajar guru juga kurang menarik (autonomy support rendah).
Dalam dukungan yang diberikan oleh orangtua, temuannya menunjukkan bahwa sebagian besar siswa memiliki pandangan bahwa mereka memiliki kedekatan dengan orangtua dan gurunya (sense of relatedness tinggi), namun mereka memiliki pandangan bahwa dirinya kurang memiliki kemampuan untuk menyelesaikan tugas (sense of competence rendah) dan terpaksa dalam belajar (sense of autonomy rendah).
Data ini menggambarkan masih belum idealnya dukungan yang diberikan oleh orangtua dan pendidik, di mana guru, dosen dan orangtua masih lebih menekankan pada structure dan involvement namun belum memberikan autonomy support atau kepercayaan dan kesempatan kepada siswa.
Sebagai dampaknya, sebagian besar siswa merasa memilik kedekatan dengan orangtua dan pendidiknya (sense of involvement) namun mereka merasa kurang memiliki kemampuan dalam menyelesaikan tugas (sense of competence) dan terpaksa dalam belajar (sense of autonomy). Sebagai dampaknya siswa yang menghadapi rintangan akademik akan kurang percaya diri dan terbiasa untuk dibantu oleh orangtua maupun pendidiknya. Inilah yang membuat siswa menjadi kurang aktif, kreatif dan mandiri.
Autonomy Support
Agar siswa memiliki keterikatan dalam belajar, sangat diperlukan keselarasan dan kekonsistenan dukungan orangtua dan guru. Orangtua dan guru harus memberikan dukungan berupa kepercayaan dan kesempatan atau autonomy support, panduan dan arahan atau structure, dan perhatian atau empati atau involvement secara konsisten. Keselarasan dan kekonsistenan dukungan orangtua dan guru terbukti dapat memperkuat persepsi diri siswa bahwa dirinya mampu atau memiliki sense of competence, tidak terpaksa atau memiliki sense of autonomy dan dihargai atau memiliki sense of relatedness.
Dengan memiliki sense of competence maka, ketika menghadapi rintangan akademik, para siswa tetap memiliki perasaan bahwa dirinya memiliki kemampuan untuk mengatasinya, atau siswa yakin dapat mengatasinya. Dan dengan memiliki sense of autonomy atau perasaan tidak terpaksa akan membuat siswa lebih bertanggung jawab dan berusaha mencari cara yang terbaik pada saat mereka dihadapkan pada rintangan akademik.
Selain itu, dengan memiliki sense of relatedness atau perasaan diterima oleh lingkungannya siswa akan memiliki perasaan aman, mereka lebih percaya diri untuk mengekplorasi berbagai cara yang tepat untuk mengatasi rintangan akademik yang dihadapinya. Ketiga pandangan diri ini akan sangat mendukung siswa saat menghadapi rintangan akademik, sehingga akan meningkatkan kemampuan siwa dalam mengatasi rintangan akademik atau academic buoyancy-nya. Dengan teratasinya rintangan akademik yang dihadapi, siswa lebih merasa nyaman, senang dalam belajar sehingga terdorong untuk menunjukkan perilaku yang aktif, kreatif dan mandiri.
Hasil penelitian itu menunjukkan bahwa kebutuhan siswa akan dukungan dari orangtua dan pendidiknya akan berbeda di setiap jenjang pendidikannya. Semakin meningkat usia siswa dan semakin tinggi tingkat pendidikan siswa, maka akan semakin meningkat kebutuhan mereka akan kepercayaan dan kesempatan dari orangtua dan gurunya (autonomy support) dan semakin berkurang kebutuhan mereka akan panduan dan arahan (structure) dan bantuan dan perhatian (involvement) dari orangua dan pendidiknya.
Hasil pernelitian itu sejalan dengan falsafah pendidikan Indonesia yang diungkapkan oleh bapak pendidikan Ki Hajar Dewantara, yaitu “Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani.”
Ing ngarso sung tuladha artinya sebagai pendidik, baik guru, dosen, maupun orangtua, harus berada di depan siswa memberikan teladan. Tentunya dengan memberikan contoh, arahan, panduan, batasan, dan aturan agar siswa tidak salah melangkah, di mana hal ini merupakan bentuk nyata dari structure yang dapat diberikan oleh pendidik dan orangtua.
Seiring dengan bertambahnya usia anak atau siswa, dan bertambah tinggi tingkat pendidikan mereka, maka pendidik harus mundur sedikit mengambil posisi di tengah-tengah anak maupun siswa dengan membangun semangat, memberikannya kepercayaan dan kesempatan untuk mengembangkan dirinya. Ini yang disebut dengan Ing Madya Mangun Karsa dan sekaligus juga merupakan bentuk nyata dari autonomy support yang dapat diberikan oleh pendidik dan orangtua.
Tetapi juga lupa untuk tetap mendukung siswa dari belakang atau Tut Wuri Handayani, dengan memberikan dorongan semangat, perhatian, empati, support emosional, di mana hal ini merupakan bentuk nyata involvement yang dapat diberikan oleh pendidik dan orangtua.
Oleh karena itu, pendidik dan orangtua, perlu bergandengan tangan untuk memberikan autonomy support, structure dan involvement secara konsisten, sebagai wujud dari falsafah pendidikan di Indonesia. Guna membentuk siswa di Indonesia yang tangguh menghadapi rintangan akademik dan menujukkan perilaku yang aktif, kreatif dan mandiri dalam belajar.
Editor : Sabar Subekti
AS Laporkan Kasus Flu Burung Parah Pertama pada Manusia
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Seorang pria di Louisiana, Amerika Serikat, menderita penyakit parah perta...